Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Anjuran untik mendawamkan shalawat seringkali dipahami sebagai laku ritus belaka. Oleh karenanya tidak jarang kita menyaksikan bahwa perhelatan shalawat hanya selesai di ruang majelis shalawat, tidak memunyai dampak sosial yang signifikan. Padahal shalawat bukan sekadar ratapan mistik di ujung sajadah. Ia adalah deklarasi posisi eksistensial, pilihan keberpihakan, dan manifestasi kehendak ilahi yang menuntut pengejawantahan sosial. Saat lisan kita mengucap:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ فَاطِمَةَ وَأَبِيهَا وَبَعْلِهَا وَبَنِيهَا وَالسِّرِّ الْمُسْتَوْدَعِ فِيهَا، بِعَدَدِ مَا أَحَاطَ بِهِ عِلْمُكَ
"Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Faṭimah, ayahnya, suaminya, anak-anaknya, dan rahasia yang Engkau titipkan di dalam dirinya, sebanyak yang dilingkupi oleh ilmu-Mu."
kita tidak hanya mengirim salam kepada tokoh-tokoh agung masa lalu. Kita sedang menandatangani sebuah kontrak perjuangan.
Ali Shariati menyebut Sayyidah Fatimah sebagai "teladan paling paripurna dari perempuan revolusioner Islam". Dia bukan hanya putri Rasul, tetapi ibu dari perlawanan, ibu dari syahadah, dan ibu dari gerakan revolusioner umat.
Ketika kita bershalawat kepada Fatimah dan ayahnya, kita sedang menyambungkan diri pada dua poros keteladanan:
Nabi Muhammad, sang revolusioner yang menghancurkan tatanan jahiliyah berbasis ras, kasta, dan kapital.
Fatimah, sang pewaris ruh kenabian dalam bentuk perempuan yang membela keadilan bahkan setelah wafat ayahnya—dengan khutbahnya, tangisnya, dan doanya yang menggugat.
Dalam bahasa Paulo Freire, Fatimah adalah perwujudan dari conscientização—kesadaran kritis terhadap struktur penindasan. Ia menyuarakan realitas yang dialami rakyat: hilangnya tanah, kekuasaan yang dikonsentrasikan, dan manipulasi agama oleh elit. Freire menyebut bahwa “mereka yang diajari diam tidak akan pernah mampu membebaskan dirinya.” Maka Fatimah tidak diam. Ia bersuara, dan suaranya adalah awal dari teologi pembebasan Islam.
Shalawat ini mengajak kita menolak kompromi terhadap ketidakadilan, sebagaimana Fatimah menolak kekuasaan yang merebut haknya.
Ketika kita bershalawat pada ba‘lihā (suaminya) dan banīhā (anak-anaknya), kita sedang menyatakan perlawanan terhadap depolitisasi agama. Ali bukan sekadar suami saleh, tapi imam keadilan yang berdiri melawan elitisme Umayyah.
Ali adalah manifestasi konkret Islam sebagai ideologi pembebasan yang hidup dan tidak tunduk pada istana. Kita tak bisa bershalawat kepada Ali sambil memelihara feodalisme agama yang menjadikan rakyat sebagai alat politisasi agama.
Hasan bukan sekadar putra yang saleh, tetapi pemelihara perdamaian demi sustainabilitas bara revolusi mahdawi. Husain bukan sekadar cucu Nabi, tetapi martir yang menolak kompromi dengan kebatilan. Para Imam dari keturunan Imam Husain bukan sekadar suluh ritual, tetapi mereka adalah obor sekaligus energi perlawanan sepanjang sejarah terhadap kekuasaan zalim. Mereka adalah Imam kaum tertindas.
Gustavo Gutiérrez menulis: "To be a Christian is to take sides with the poor, against the idols of power." Maka menjadi Muslim adalah berpihak pada jalan Husain dan para Imam keturunannya, bukan singgasana Yazid.
Shalawat ini bukan pujian, tapi penyikapan politik. Kita tidak bisa bershalawat kepada Fatimah dan keluarganya, sambil diam terhadap kapitalisme yang menindas buruh, penjajahan yang menghancurkan Palestina, atau feodalisme yang menjadikan agama sebagai stempel warisan kuasa yang menindas.
"Dan kepada rahasia yang dititipkan dalam dirinya..."
Inilah bagian paling radikal dari shalawat ini. Fatimah bukan hanya simbol kesucian, ia adalah rahim sejarah.
Dalam gaya Leonardo Boff, kita bisa menyebutnya sebagai “misteri pembebasan yang tertanam dalam tubuh tertindas”.
Rahasia itu adalah:
Nur al-Imamah, yang ditanam dalam keturunannya untuk menuntun umat keluar dari gelap tirani.
Fatimah mewakili seluruh ibu-ibu Palestina, ibu-ibu desaparecidos, ibu-ibu korban kapitalisme, ibu-ibu yang tanah adatnya dirampas, yang menyimpan di rahim mereka benih pembebasan. Shalawat ini mengajarkan bahwa rahim perempuan adalah tempat revolusi masa depan sedang tumbuh, dan siapa yang merendahkan perempuan telah menghina tempat suci Allah menitipkan rahasia-Nya.
Bagian terakhir shalawat ini menyebut:
"Sebanyak apa yang dilingkupi oleh ilmu-Mu."
Artinya: perlawanan terhadap kebatilan tidak mengenal batas.
Tak cukup sehari, tak cukup semusim. Ia harus terus berlangsung sampai struktur-struktur penindasan tumbang dan akar-akarnya tercerabut.
Bagi teolog pembebasan, ini berarti komitmen jangka panjang terhadap keadilan struktural, terhadap distribusi sumber daya, terhadap kemerdekaan penuh atas tubuh, bumi, dan martabat manusia.
Shalawat ini bukan ritual mati. Ia adalah manifesto hidup.
Jadilah Fatimah dalam keberanian melawan ketidakadilan.
Jadilah Ali dalam keadilan dan keilmuan.
Jadilah Hasan dalam kecerdasan politik.
Jadilah Husain dalam syahadah.
Jadilah rahim tempat Allah menitipkan revolusi-Nya.
Dan bila engkau benar-benar bershalawat dengan qalbu dan akal yang hidup, engkau akan berdiri bersama mereka yang tertindas. Engkau akan menangis bersama Karbala. Engkau akan menggugat bersama khutbah Fadakiyyah. Dan engkau akan bermimpi tentang pagi Mahdawi—ketika bumi tidak lagi dikuasai kaum zalim, tapi oleh pewaris rahasia yang pernah ditanam dalam diri seorang perempuan bernama Fatimah.
Agama yang tidak melahirkan perlawanan terhadap kezaliman adalah sekadar dekorasi kekuasaan. Tapi agama yang berpihak pada Fatimah, Muhammad, Ali, Hasan dan Husain, para Imam sirr dari keturunannya serta sirr al-mustawda‘—itulah yang menyelamatkan dunia.
Perbanyaklah shalawat Fatimah dalam seluruh gerak hidupmu
gambar : https://parstoday.ir/id/news/
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar