Subscribe Us

ksk logo.jpg

Syahadat Cinta Hexalogi, Protos Ekologi Transenden

 

Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc


Syahadat merupakan inti dari Islam. Ia adalah pengakuan, penyaksian, dan ikrar paling mendasar seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam Islam yang umum kita kenal, syahadat terdiri atas dua pilar: pengakuan terhadap keesaan Allah (asyhadu an la ilaha illa Allah) dan pengakuan terhadap kerasulan Muhammad (wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah). Keduanya menjadi fondasi agama, karena tauhid adalah asas dan risalah Nabi adalah pintu untuk memahami asas itu.

Namun, bila kita menelusuri lebih dalam lapisan spiritual Islam, kita akan menemukan bahwa penyaksian (syahadah) tidak berhenti pada dua kalimat tersebut. Ada dimensi lain dari syahadat yang terhubung dengan kesucian Ahlul Bait Nabi—Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain—yang kehadirannya menjadi poros kosmik dan titik keseimbangan jagat raya. Syahadat cinta ini, yang dapat disebut sebagai “syahadat hexalogi”, bukanlah tambahan baru yang mengubah pokok agama, melainkan perluasan ontologis dan ekologis dari makna syahadat itu sendiri. Ia adalah bentuk pengakuan bahwa alam semesta hanya berputar karena cinta kepada poros Ahlul Bait, sebagaimana ditegaskan dalam hadis kisa.

Berepa kelompok tasawuf dalam zikir bersamanya juga selain menyebut dua kalimat syahadat mereka tak segan menyaksikan (bersyahadat) bahwa guru-guru tarekat nya adalah wali Allah SWT, Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Ustman Al Ishaqi dan Syekh Asrori Al Ishaqi. Perlu ditekankan bahwa syahadat ke selain Nabi saw tidak menyebut mereka sebagai Nabi dan Rasul tetapi sebagai wali. 

Al-Qur’an memuat sejumlah doa para nabi ulul azmi yang mengandung permohonan untuk digabungkan bersama orang-orang saleh. Nabi Ibrahim berdoa: "رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ" – “Ya Tuhanku, berilah aku hikmah dan masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh” (QS. al-Syu‘ara [26]: 83). Nabi Yusuf berdoa: "تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ" – “Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku bersama orang-orang saleh” (QS. Yusuf [12]: 101). Nabi Sulaiman pun berdoa: "وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ" – “Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh” (QS. al-Naml [27]: 19).

Tiga doa ini menunjukkan satu hal yang sama: para nabi ulul azmi tidak hanya meminta keselamatan atau kejayaan, tetapi mereka memohon agar digabungkan dengan komunitas orang-orang saleh. Permintaan ini adalah lebih dari sekadar bentuk penyaksian—syahadah—bahwa orang-orang saleh itu memiliki derajat kosmik yang tinggi, bahkan menjadi pusat gravitasi spiritual yang ingin didekati para nabi.

Lalu siapa orang-orang saleh itu? Jawabannya ada pada al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 33: "إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا" – “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala noda dari kalian, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sesuci-sucinya.” Ayat ini, melalui riwayat sabab nuzul yang sahih, menunjuk kepada Ahlul Kisa: Nabi Muhammad, Imam Ali, Fathimah al-Zahra, Hasan, dan Husain. Mereka adalah “orang saleh” dalam pengertian paling murni, yang bahkan para nabi berdoa untuk bergabung bersama mereka.

Orang-orang saleh itu selain secara ontologis suci, seperti disebutkan dalam surat al Ahzab 33, mereka juga adalah orang yang mewarisi bumi seperti disebutkan dalam Al Quran surat Al Anbiya 105 dan dalam Mazmur atau Zabur 37:29 

al-Anbiyā’ [21]:105 :

"وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ"
Dan sungguh, telah Kami tuliskan dalam Zabur setelah (tertulis) dalam az-Zikr, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.”

Mazmur 37:29

צַדִּיקִים יִירְשׁוּ־אָרֶץ וְיִשְׁכְּנוּ לָעַד עָלֶיהָ

Tzaddiqim yirshu-aretz, veyishkenu la‘ad aleha.

Orang-orang benar (saleh) akan mewarisi bumi, dan akan tinggal di sana untuk selama-lamanya.”

Dua ayat dari kitab suci itu sangat menarik dengan ujaran yang hampir mirip, Al quran menyebut pewaris itu dengan shalihun (orang-orang Saleh) dan Mazmur menyebutnya dengan Tzaddiqim (Orang-orang benar).  Dua ayat di atas dapat kita gunakan untuk menafsirkan ujaran puitis Nabi Sulaiman dalam Shir Hashirim (kidung Agung, pasal 5 ayat:  16) yang berkaitan dengan kata Machmadim. Machmadim itu disebut oleh Nabi Sulaiman sebagai kekasih (Dodi) Pemimpin (Ra'i). 

חִכּוֹ מַמְתַקִּים וְכֻלּוֹ מַחֲמַדִּים זֶה דוֹדִי וְזֶה רֵעִי בְּנוֹת יְרוּשָׁלִָם

Hikko mamtaqqim, vekhulo machamadim; zeh dodi vezeh ra‘i, benot Yerushalayim.

Hadis kisa (selimut) yang diriwayatkan dari berbagai jalur menggambarkan peristiwa ketika Nabi Muhammad menyelimuti Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, lalu berdoa agar Allah menyucikan mereka.  Allah berfirman kepada para malaikat: “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sesungguhnya Aku tidak menciptakan langit yang ditegakkan, bumi yang dihamparkan, bulan yang bersinar, matahari yang bercahaya, planet yang berputar, laut yang mengalir, dan kapal yang berlayar kecuali karena cinta kepada mereka yang berada di bawah kisa ini.”

Penggalan hadis ini menegaskan bahwa seluruh kosmos beredar atas dasar cinta kepada Ahlul Bait. Alam semesta bukanlah entitas mekanistik yang netral, melainkan jaringan makhluk yang bergerak dalam orbit cinta. Jika cinta kepada Ahlul Bait hilang, poros kosmik itu akan runtuh, dan harmoni alam semesta akan terganggu.

Inilah titik temu antara kosmologi spiritual Islam dan etika ekologi kontemporer. Bila biosentrisme menekankan nilai intrinsik makhluk hidup, deep ecology mengajak manusia melampaui ego ekologis, dan ekologi transpersonal memperluas konsep diri ke seluruh jagat raya, maka syahadat cinta kepada Ahlul Bait adalah protos ekologi transenden. Ia menegaskan bahwa keberlanjutan alam bukan sekadar soal etika moral, melainkan berakar pada cinta kosmik yang berporos pada keluarga Nabi.

Syahadat hexalogi adalah penyaksian enam dimensi cinta: Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Rasul, dan Ali, Fathimah, Hasan, serta Husain sebagai wali Allah. Keenam syahadat ini membentuk satu kesatuan cinta yang menopang alam semesta.

Syahadat kepada Allah: fondasi ontologis, bahwa tidak ada tuhan selain Dia.

Syahadat kepada Muhammad: pintu risalah, bahwa kebenaran Ilahi diwujudkan melalui kenabian.

Syahadat kepada Ali: manifestasi kepemimpinan ilahiah setelah Nabi.

Syahadat kepada Fathimah: lambang kesucian, rahim kosmik yang menghubungkan kenabian dan imamah.

Syahadat kepada Hasan: simbol perdamaian yang berprinsip.

Syahadat kepada Husain: simbol pengorbanan dan perlawanan abadi terhadap kezaliman.

Enam syahadat ini bukan tambahan doktrinal, melainkan penyaksian kosmik. Ia menyatakan bahwa harmoni jagat raya hanya mungkin terjaga bila cinta kepada poros Ahlul Bait ditegakkan. Maka, syahadat hexalogi bukan sekadar ikrar iman, tetapi deklarasi ekologi transenden.

Dalam filsafat lingkungan, kita mengenal berbagai paradigma. Antroposentrisme dipandang gagal karena menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Biosentrisme mencoba mengakui nilai semua makhluk hidup. Ekosentrisme menekankan integritas komunitas ekologis. Deep ecology mengajak manusia melepaskan ego dangkal dan menyatu dengan seluruh wujud. Ekologi transpersonal mengembangkan kesadaran diri yang melebar ke luar tubuh.

Namun, semua pendekatan ini masih menyisakan ruang kosong: apa poros kosmos itu sendiri? Siapa yang menjadi titik gravitasi cinta sehingga alam semesta ini bergerak dalam harmoni? Syahadat hexalogi memberikan jawabannya. Ekologi transenden berangkat dari kesadaran bahwa alam semesta hanya seimbang bila beredar pada poros cinta kepada Ahlul Bait.

Dengan demikian, ekologi transenden adalah jembatan antara etika lingkungan modern dan kosmologi spiritual Islam. Ia mengajarkan bahwa menjaga alam bukan hanya kewajiban ekologis, melainkan ibadah kosmik yang selaras dengan cinta kepada Ahlul Bait.

Bila kita mengakui syahadat hexalogi, maka pengelolaan alam bukan sekadar urusan ekonomi atau politik, tetapi urusan spiritual. Eksploitasi alam yang serakah adalah bentuk pengkhianatan terhadap cinta kosmik. Sebaliknya, pemanfaatan yang lestari adalah bagian dari syahadat cinta itu sendiri.

Misalnya, ketika manusia menebang hutan secara membabi buta, ia tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengingkari poros cinta yang membuat pohon tumbuh. Ketika manusia mengotori laut dengan plastik, ia tidak hanya mencemari biota, tetapi juga mengkhianati cinta kosmik yang membuat samudera berombak. Maka, solusi ekologis tidak cukup dengan teknologi hijau, tetapi harus disertai dengan syahadat hexalogi: pengakuan bahwa harmoni semesta berakar pada cinta kepada Ahlul Bait.

Syahadat hexalogi adalah protos ekologi transenden. Ia memperluas makna syahadat dari sekadar pengakuan teologis menjadi penyaksian kosmik bahwa alam semesta beredar karena cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan Ahlul Bait. Doa para nabi untuk digabungkan dengan orang-orang saleh, ayat al-Ahzab 33 tentang kesucian Ahlul Bait, serta hadis kisa tentang poros cinta kosmos, semuanya menjadi landasan syahadat cinta ini.

Di tengah krisis ekologi global, syahadat hexalogi menawarkan paradigma baru: bahwa menjaga alam adalah bagian dari penyaksian iman, dan iman itu sendiri adalah ekologi transenden. Maka, marilah kita ikrarkan syahadat hexalogi bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan cinta yang menggerakkan tindakan ekologis sehari-hari. Sebab, hanya dengan cinta kosmik itulah bumi dan langit akan tetap beredar dalam harmoni.

gambar : https://id.wikishia.net/

Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.

Posting Komentar

0 Komentar