Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.
Rasul SAW bersabda:
إِنَّ لِقَتْلِ الْحُسَيْنِ حَرَارَةً فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لَا تَبْرُدُ أَبَدًا
"Sesungguhnya atas pembunuhan Husain terdapat bara api (semangat/pedih/cinta yang membara) dalam hati orang-orang beriman yang tidak akan pernah padam selama-lamanya "
(HR Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Al-Haythami, Majma‘ al-Zawa'id, Ibn Abi al-Dunya, Maqtal al-Husayn, al-Hakim al-Naisaburi dalam al-Mustadrak, yang menilainya sahih sanadnya menurut syarat Muslim).
Dunia modern, dengan segala kebisingan digitalnya, menyimpan paradoks besar: manusia ingin melupakan agar bisa hidup "normal," tapi lupa bahwa tanpa memori, kita bukan siapa-siapa. Seperti individu yang kehilangan ingatannya, masyarakat yang membuang masa lalunya adalah masyarakat yang bunuh diri secara kultural.
Dalam dunia semacam ini, memperingati syahadah Imam Husain bukan sekadar ritual tahunan, melainkan perlawanan terhadap amnesia kolektif yang diproduksi sistem kekuasaan. Asyura bukan dendam. Ia adalah bentuk paling luhur dari memori kolektif yang diwariskan oleh nubuwah untuk menyelamatkan martabat manusia dari pelupaan, penyesatan, dan penjajahan jasa di dan maknawi.
Imam Husain tidak sekadar gugur. Ia memilih untuk disembelih agar manusia tidak kehilangan arah. Dan ketika darahnya menyentuh bumi Karbala, saat itu pula sejarah terbelah: antara mereka yang ingat dan mereka yang lupa. Di sinilah pentingnya memori kolektif menurut Jan Assmann dan Michael Schudson—bukan hanya tentang mengingat, tapi tentang membentuk siapa kita, sebagai umat, sebagai korban, sebagai pewaris.
Syahadah Husain adalah rangkaian konstruksi memori nubuwah tempat identitas spiritual dan moral Islam Muhammadi dibangun. Rasul SAW bersabda :
حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ، أَحَبَّ اللَّهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا، حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ الْأَسْبَاطِ
“Husain adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husain. Allah mencintai orang yang mencintai Husain. Husain adalah salah satu dari para pemimpin keturunan (nabi-nabi).”
(Sunan al-Tirmidzi,Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sunan Ibn Mājah, Al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak, Al-Ṭabarānī, al-Muʿjam al-Kabīr).
Ia menjadi alasan mengapa kaum mukminin mengatakan: “Kami adalah pengikut jalan Husain,” atau “Kami adalah mereka yang tidak tunduk pada Yazid, kapan dan di mana pun ia menjelma.” Dalam setiap azadari (peringatan duka) di setiap majlis, dan setiap larik syair yang dibacakan di malam-malam Muharram, terbentuk rasa kebersamaan bahwa kita adalah satu tubuh yang pernah disayat sejarah.
Apa yang mempersatukan tubuh-tubuh tercerai umat jika bukan duka yang sama? Asyura adalah jantung emosional kaum mukminin dan umat pencinta keadilan. Durkheim benar: ritual menciptakan emosi bersama. Tapi Asyura bukan sekadar emosi. Ia adalah emosi yang dibimbing akal, dan akal yang digerakkan cinta pada kebenaran.
Setiap kekuasaan ingin menulis sejarahnya sendiri. Tapi Karbala adalah sejarah yang menulis dirinya sendiri dengan tinta darah yang berbalut cinta. Dalam dunia yang dibanjiri propaganda, memori Asyura menjaga kita dari manipulasi narasi. Ia memaksa kita bertanya ulang: siapa pahlawan sejati, siapa penindas sesungguhnya? Dan siapa yang hari ini memainkan peran Yazid baru dalam jasad demokrasi?
Tidak ada gerakan yang benar-benar revolusioner tanpa akar pada duka dan kemarahan yang tercerahkan. Asyura adalah titik tolak perlawanan terhadap semua bentuk tirani, baik yang datang dari pedang maupun dari pena penjilat.
Dari Lebanon hingga Nigeria, dari Iran hingga Indonesia, nama Husain dikumandangkan bukan untuk nostalgia, tetapi untuk menyalakan semangat melawan kezaliman kontemporer.
Di sinilah kita paham, bahwa peringatan asyura ditakuti oleh penguasa zalim dan anktek-anteknya. Acara peringatan asyura selalu dilarang di bumi yang masih menyisahkan penguasa zalim.
Syahadah Husain bukan hanya sejarah, tetapi pelajaran moral. Ia mengajarkan bahwa hidup bukan soal panjang umur, tetapi tentang keberanian memilih jalan benar meski sendiri. Paul Ricoeur menyebut ini sebagai bentuk etika lintas generasi. Maka setiap anak yang dibesarkan dalam tradisi azadari sedang mewarisi bukan hanya kisah, tetapi moralitas Islam sejati.
Kaum mukminin memperingati Asyura bukan karena dendam, tapi karena kesadaran bahwa tragedi Karbala bisa terjadi kapan saja. Ketika masyarakat melupakan darah suci yang pernah tumpah demi kebenaran, maka mereka sedang mempersiapkan panggung baru bagi Yazid zaman ini. Maka Asyura adalah pagar sejarah agar umat tidak lagi tertipu oleh klaim kebenaran palsu.
Karbala bukan hanya tempat geografis, tapi ruang suci dalam kesadaran kolektif. Setiap mata yang menangis mengingat Husain telah menjadikan dadanya sendiri sebagai miniatur Karbala. Seperti kata Pierre Nora, memori kolektif membutuhkan ruang. Dan Karbala telah menjadi ruang perlawanan batin dan simbol transenden umat.
Asyura adalah kritik terhadap sejarah resmi. Ia tidak mencari balas dendam, tapi kebenaran. Ia tidak mendewakan darah, tapi menjunjung makna pengorbanan. Negara dan institusi sering memanipulasi memori untuk melanggengkan kekuasaan, tapi memori Karbala melampaui negara. Ia menjadi narasi tandingan, narasi dari bawah, narasi dari darah suci yang berseru dalam setiap zaman: Hal min nasirin yansurni (Adakah penolong yang akan menolongku?
Maka peringatan Asyura bukan bentuk trauma yang dipelihara, melainkan bentuk kesadaran yang dijaga. Ia adalah alarm ruhani agar umat tidak tertidur dalam buaian kekuasaan. Ia adalah etika sejarah yang hidup, memelihara luka sebagai cahaya penunjuk arah. Dan dalam dunia yang kering maknawi, Husain tidak hanya hidup dalam sejarah, tetapi menjelma dalam setiap dada yang mencintai kebenaran.
Karena memori kolektif Asyura adalah warisan nubuwah. Ia bukan dendam masa lalu, tetapi cinta suci yang menjaga masa depan umat manusia.
"Husain adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husain. Allah mencintai orang yang mencintai Husain. Husain adalah salah satu dari para pemimpin keturunan (nabi-nabi).”
gambar : https://khazanah.republika.co.id/, https://parstoday.ir/id/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar