Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Dalam Al-Qur'an surat As-Saffat ayat 107, Allah berfirman:
"وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ"
“Dan Kami tebus dia dengan sembelihan yang agung.”
Konteks ayat ini merujuk pada peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim atas putranya yang disebut banyak mufassir sebagai Nabi Ismail. Ketika kesetiaan Ibrahim terbukti, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba. Namun, menariknya, Al-Qur’an tidak menyebut sembelihan itu sebagai “domba” biasa, melainkan dengan kata ذِبْحٍ عَظِيمٍ (dzibḥin ‘aẓīm) – “sembelihan yang agung”.
Kata ‘aẓīm di sini bukan sembarangan. Ini adalah kata yang sama yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk menggambarkan akhlak Nabi Muhammad:
"وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ"
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Ayat di atas adalah dalil yang tegas penolakan Allah SWT atas tuduhan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bermuka masam.
Lebih jauh lagi, ‘Aẓīm juga termasuk salah satu dari Asmaul Husna: "Al-‘Aẓīm", yang berarti Yang Maha Agung. Maka, penggunaan kata yang sama terhadap domba dalam QS. As-Saffat 107 tentu tidak bisa dipahami sekadar secara literal. Bagaimana mungkin seekor hewan bisa dikatakan “agung” dalam konteks keilahian, kecuali jika maknanya bersifat simbolik dan memiliki kedalaman spiritual?
Inilah pintu masuk tafsir batiniah yang diajarkan oleh Ahlul Bait.
Dalam tradisi Ahlul Bait, khususnya melalui riwayat dari Imam Ja’far ash-Shadiq (as), dijelaskan bahwa makna sejati dari dzibḥin ‘aẓīm bukan hanya domba yang disembelih, tetapi merujuk kepada Imam Husain (as) yang disembelih di Karbala:
قَالَ الصَّادِقُ (ع): "هُوَ الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، لِأَنَّهُ لَمَّا نُظِرَ إِلَى مَنْ يُذْبَحُ فِي كَرْبَلَاءَ لَمْ يُذْبَحْ أَحَدٌ مِثْلَهُ، فَكَانَ هُوَ الذِّبْحُ الْعَظِيمُ"
Imam Shadiq berkata: "Yang dimaksud dengan dzibḥin ‘aẓīm adalah Husain bin Ali. Karena ketika engkau melihat siapa yang disembelih di Karbala, tidak ada seorang pun yang disembelih seperti dia. Maka dialah dzibḥin ‘aẓīm.” (Tafsir al-Qummi, juga dalam Bihar)
Dengan demikian, kambing atau domba yang disembelih pada masa Nabi Ibrahim adalah penanda simbolik, sedangkan yang sesungguhnya menggantikan Nabi Ismail adalah Imam Husain – manusia suci dari keturunan Ibrahim, pelanjut nubuwah, dan pemilik pengorbanan tertinggi demi kemaslahatan umat.
Imam Husain sendiri dengan jelas menyatakan tujuan kepergiannya ke Karbala bukan untuk kekuasaan atau ambisi dunia, melainkan untuk melanjutkan risalah kakeknya, Rasulullah SAW.
"إني لم أخرج أشراً ولا بطراً، ولا مفسداً ولا ظالماً، وإنما خرجت لطلب الإصلاح في أمة جدي محمد، أريد أن آمر بالمعروف وأنهى عن المنكر وأسير بسيرة جدي وأبي علي بن أبي طالب."
“Aku tidak keluar (dari Madinah) karena kesombongan, keangkuhan, kerusakan, atau kezaliman. Aku keluar untuk memperbaiki umat kakekku Muhammad. Aku ingin memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan aku ingin berjalan di atas jalan kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib.”
Dua orang yang disebut oleh Imam Husain bukan suatu diksi yang sembarang. Itu adalah kode dari Imam Husain, bahwa dia hanya taat kepada Rasul SAW dan penggantinya, yaitu Ali bin Abu Thalib, karena pada waktu itu sudah ada polarisasi antara mereka yang taat kepada Muhammad SAW dan pelanjutnya yang sah (sebagaimana disebutkan dalam hadis Al Ghadir) yaitu Ali bin Abu Thalib dan mereka yang mengikuti jalan lain.
Sosok seperti Husain-lah yang pantas disebut sebagai pengganti Ismail, karena seperti Ismail, dia putra seorang Nabi, disiapkan untuk pengorbanan, dan menyerahkan segalanya untuk Tuhan. Sosok seperti Imam Husain disebut dalam al Quran sebagai Al Abrar. Dalam al Quran seorang ulul albab pun meminta digabungkan dalam golongan al abrar,
Surat Āli ‘Imrān (3): 193
"رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا ۚ رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ"
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang penyeru yang menyeru kepada iman: ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik (al-abrar).”
Imam Husain bukan hanya manusia biasa, melainkan bagian dari keluarga suci yang disebut Ahlul Bait dalam Al-Qur’an. Dalam QS. Al-Ahzab: 33, Allah menyatakan:
"إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا"
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.”
Kesucian Ahlul Bait menjadi prasyarat utama untuk jabatan spiritual tertinggi dalam Islam: Imamah. Bahkan dalam peristiwa Nabi Ibrahim, setelah lulus dari ujian penyembelihan, Allah mengangkatnya menjadi Imam dan meletakkan syarat:
"إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ"
“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku?” Allah berfirman, “Janji-Ku ini tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Baqarah: 124)
Ayat ini menegaskan bahwa imamah hanyalah bagi yang maksum — yang tidak pernah berbuat zalim, bahkan sebelum menerima amanat. Imam Husain adalah manifestasi dari janji ini, seorang keturunan Ibrahim yang suci, yang mewarisi jabatan imamah karena pengorbanannya di Karbala.
Last but not least, “dzibḥin ‘aẓīm” bukan sekadar binatang yang disembelih, melainkan simbol pengorbanan tertinggi dalam Islam: menyerahkan hidup demi kebenaran, membela yang tertindas, dan melawan kezaliman hingga darah titik penghabisan. Itulah Imam Husain.
Husain adalah perwujudan nilai tauhid, puncak dari ajaran Ibrahim, dan pelita jalan kenabian. Maka, ketika Al-Qur’an menyebut “sembelihan yang agung”, ia tidak sekadar menceritakan masa lalu, tetapi menunjuk kepada jalan masa depan — jalan para Imam maksum yang mewarisi cahaya kenabian dalam bentuk perjuangan dan cinta Ilahi yang mutlak.
Dalam Tafsir Al-Qummi disebutkan:
Imam Baqir (as) berkata:
Ketika Rasulullah (saw) membaca 'Inna Anzalnahu fi Lailatil Qadr', beliau menangis. Lalu ditanyakan kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis?'
Beliau bersabda, "Aku menangis karena apa yang akan terjadi pada keturunanku setelahku. Pada malam Al-Qadr, Allah menetapkan kesyahidan Al-Husain (as) dan para Imam dari keturunanku yang akan dizalimi oleh umatku."
gambar : https://shiahindonesia.com, https://ikmaltv.com/
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar