Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Dalam sejarah Islam, terdapat dua kecenderungan umum yang sama-sama melahirkan kekeliruan konseptual terhadap generasi awal umat Islam. Kelompok pertama menempatkan seluruh sahabat Nabi sebagai sosok yang adil, infalibel, dan layak menjadi rujukan mutlak. Pandangan ini melahirkan semacam kultus masa lalu: sebuah keyakinan bahwa komunitas awal adalah utopia sosial-politik yang harus direkonstruksi dalam segala zaman. Namun sejarah membuktikan bahwa keyakinan ini hanya mitos. Bukankah di antara para sahabat itu sendiri ada yang mengangkat pedang terhadap sesama muslim, melawan khalifah sah yang sah secara spiritual dan historis seperti Imam Ali? Bukankah generasi itu pula yang membiarkan cucu Rasulullah, Hasan dan Husain, dibantai dalam peristiwa-peristiwa memilukan yang mencoreng akal sehat dan kemanusiaan?
Di sisi lain, ada pula pandangan yang tampak lebih kritis, namun tetap terjebak pada pola yang sama. Mereka mengakui ketidakadilan sebagian sahabat dan menyadari bahwa sejarah Islam bukan kisah tentang malaikat, melainkan manusia dengan segala intrik dan kepentingannya. Namun anehnya, mereka tetap menjadikan generasi itu sebagai cermin dalam menilai umat manusia sepanjang zaman. Mereka lupa bahwa Rasulullah ﷺ tidak hanya menyampaikan nostalgia terhadap generasi masa lalu, tetapi juga menanamkan kerinduan pada generasi yang akan datang—“ikhwāni,” saudara-saudaraku, begitu Nabi menyebut mereka, generasi yang belum pernah melihat beliau namun beriman dan berjuang demi kebenaran.
Kerinduan ini bukan sekadar ungkapan romantik, melainkan sebuah proyeksi profetik. Ia mengandung dimensi eskatologis, bahwa harapan justru digantungkan pada masa depan, bukan pada masa lalu. Harapan itu kemudian terformat secara nyata dalam pribadi-pribadi suci Ahlul Bait yang tidak sekadar menjadi penerus darah, tetapi pemikul amanah spiritual. Para imam yang maksum tidak hidup dengan strategi yang seragam. Setiap imam adalah respons atas zamannya: Hasan berdamai, Husain bangkit, Sajjad berdoa, Baqir mengajarkan, Shadiq membangun institusi. Hingga pada akhirnya, strategi ilahi mencapai klimaksnya: seorang Imam yang ghaib namun tetap hadir, seorang Mahdi yang membangun komunitas bukan di ruang politik empiris, tetapi dalam jaringan spiritual dan kesadaran kolektif.
Imam Zaman adalah representasi dari makar Ilahi yang paling subtil. Ia bukan hanya simbol harapan, tetapi juga penggerak keadilan yang tidak tunduk pada sistem kekuasaan yang lahir dari kompromi terhadap kebatilan. Ia adalah poros zaman yang menghubungkan langit dan bumi, sejarah dan harapan, perjuangan dan kemenangan. Dalam dunia yang dipenuhi kegelisahan atas ketidakadilan, Imam Mahdi bukan sekadar tokoh ghaib, tetapi struktur harapan yang dikristalkan dalam iman dan amal. Dialah jawaban atas kerinduan Rasulullah terhadap generasi yang belum lahir tapi sudah dicintai.
Maka, siapa yang menjadikan generasi awal sebagai patokan tunggal atas moralitas umat, telah memunggungi proyeksi Rasulullah sendiri. Islam bukan agama nostalgia, melainkan agama eskatologi dan harapan. Dan dalam harapan itu, kita menemukan jalan kembali menuju keadilan Ilahiah yang dijanjikan.
gambar : https://id.pngtree.com/, https://imam--us-org.translate.goog/islamic-awareness
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar