Ustadz Mohammad Adlany,Ph.D.
Apa tujuan hidup manusia menurut para filsuf Muslim? Jawaban mereka tidak sekadar soal keberhasilan duniawi, tapi pencapaian kesempurnaan spiritual—yakni, menjadi manusia yang sepenuhnya sadar akan hakikat dirinya dan hubungannya dengan Tuhan.
Tiga filsuf besar Islam, yakni Alfarabi, Ibn Sina, dan Mulla Sadra, menyumbangkan pandangan yang mendalam mengenai bagaimana manusia dapat meraih kesempurnaan sejati.
1. Alfarabi: Kesempurnaan sebagai Kebijaksanaan Sosial dan Spiritualitas Akal
Bagi Alfarabi (872–950 M), manusia mencapai kesempurnaan spiritual saat ia mengaktualkan akalnya hingga menyatu dengan Akal Aktif—yakni entitas metafisis yang berperan sebagai perantara antara manusia dan Tuhan. Dalam tradisi Islam, Akal Aktif kerap dikaitkan dengan malaikat Jibril.¹
Bagaimana cara mencapainya?
Melalui pendidikan, filsafat, serta pengembangan kebajikan moral dan intelektual. Jiwa manusia harus menyeimbangkan tiga aspeknya: dorongan nafsu (ammarah), kesadaran moral (lawwamah), dan ketenangan spiritual (mutma’innah). Tujuan akhirnya adalah sa‘adah, kebahagiaan tertinggi yang lahir dari pengetahuan intuitif tentang Tuhan.
Bagi Alfarabi, manusia sempurna tidak hanya tercerahkan secara individu, tetapi juga menjadi pemimpin ideal (filsuf-raja) yang membimbing masyarakat menuju kebahagiaan kolektif.²
2. Ibn Sina: Kesempurnaan sebagai Kembali kepada Asal Ilahi
Ibn Sina (980–1037 M), dikenal di Barat sebagai Avicenna, memandang kehidupan spiritual sebagai perjalanan jiwa kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan. Jiwa adalah entitas non-materi yang "turun" ke dunia, dan harus kembali dalam keadaan bersih dan sempurna.³
Apa syaratnya?
Pertama, jiwa harus dibersihkan dari nafsu dan hasrat rendah. Kedua, jiwa harus mengembangkan akalnya, baik secara praktis maupun teoritis, hingga mencapai pengetahuan tentang Tuhan sebagai wujud niscaya (wajib al-wujud).
Puncaknya adalah saat jiwa menyatu dengan Akal Aktif, dan memperoleh pengetahuan langsung (ilmu hudhuri) tentang hakikat realitas.
Menurut Ibn Sina, jiwa sempurna adalah yang terbebas dari materi dan siap menjalani kehidupan abadi di alam akhirat.⁴
3. Mulla Sadra: Kesempurnaan sebagai Transformasi Eksistensial
Berbeda dengan dua pendahulunya, Mulla Sadra (1571–1640 M) menawarkan pendekatan yang lebih metafisis dan dinamis. Dalam filsafat transendentalnya (al-hikmah al-muta‘aliyah), ia menyatakan bahwa kesempurnaan spiritual adalah perjalanan eksistensial jiwa menuju Tuhan.⁵
Sadra percaya bahwa eksistensi adalah dasar segalanya (ashalah al-wujud), dan jiwa manusia mengalami perubahan substansial (al-harakat al-jawhariyyah). Artinya, jiwa tidak hanya belajar dan berkembang, tapi menjadi lebih eksisten secara bertahap hingga mencapai bentuk tertingginya.
Melalui penyucian diri, pengendalian hawa nafsu, dan kontemplasi spiritual, manusia mencapai pengetahuan langsung tentang Tuhan. Di tahap akhir, ia mengalami fana’ fillah—yakni lenyapnya keakuan dalam kehadiran Ilahi.
Dalam pandangan Sadra, jiwa tidak pernah selesai berkembang, bahkan setelah kematian pun ia terus mendekat kepada Tuhan.⁶
Kesimpulan: Filsafat Islam Menyatukan Akal dan Ruh
Ketiga pemikir besar ini sepakat bahwa kesempurnaan spiritual adalah puncak tujuan manusia. Namun pendekatannya berbeda:
- Ibn Sina melihat jiwa sebagai musafir yang kembali ke Tuhan.
- Mulla Sadra menyoroti transformasi eksistensial jiwa secara berkesinambungan.
Yang menarik, pandangan-pandangan ini menunjukkan bahwa dalam tradisi filsafat Islam, spiritualitas dan rasionalitas tidak berseberangan, melainkan saling memperkuat. Jiwa sempurna bukan hanya yang banyak beribadah, tapi yang menggunakan akalnya secara maksimal untuk mengenal dan mendekat kepada Tuhan.
Catatan Kaki (Footnote)
2. Alfarabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, trans. Richard Walzer, The Ideal State, Oxford University Press, 1985.
3. Ibn Sina, Al-Shifa’, bagian Ilahiyyat, ed. Ibrahim Madkour, Cairo, 1952.
4. Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, ed. Sulayman Dunya, Cairo: Dar al-Ma'arif, 1960.
5. Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, vol. 6–9.
6. Mulla Sadra, Sharh Usul al-Kafi, Qum: Dar al-Hikmah, cet. ke-2, 1416 H.
0 Komentar