Oleh : Dudi Noer
Abstrak
Pernyataan Prabowo Subianto pada Mei 2025 yang menyatakan bahwa “Indonesia akan mengakui Israel sebagai negara jika Palestina merdeka” mengandung problem filosofis yang mendalam. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan terhadap a-historisme dalam narasi tersebut dan kecenderungan untuk mereduksi makna kemerdekaan dalam kerangka kompromi politik global. Dengan menggunakan pendekatan filsafat politik anti-kolonial, tulisan ini menunjukkan bahwa pengakuan terhadap Israel pasca “kemerdekaan” Palestina justru berpotensi melanggengkan kejahatan kolonial, menyamarkan struktur apartheid, dan mengaburkan prinsip universal anti-penjajahan. Makna kemerdekaan tidak dapat diletakkan dalam ruang kompromi yang menyamarkan kekerasan struktural, tetapi harus berpijak pada keadilan historis yang menuntut pembongkaran total terhadap struktur kolonial.
Pendahuluan
Dalam diskursus hubungan internasional dan geopolitik Timur Tengah, posisi Indonesia terhadap isu Palestina dan Israel telah lama menjadi cerminan sikap prinsipil terhadap penjajahan. Namun, pernyataan Prabowo di hadapan Presiden Prancis bahwa Indonesia akan mengakui Israel apabila Palestina merdeka, menimbulkan persoalan mendasar: kemerdekaan seperti apa yang dimaksud? Dan apakah pengakuan terhadap Israel setelah “kemerdekaan” Palestina merupakan bentuk keadilan atau justru pembekuan terhadap ketidakadilan historis?
Makalah ini hendak menyoroti persoalan tersebut dari sudut filsafat politik, khususnya dalam kerangka pemikiran anti-kolonial dan post-kolonial, dengan bertumpu pada gagasan-gagasan Frantz Fanon, Edward Said, dan tokoh Muslim kontemporer seperti Ali Shariati. Tulisan ini menolak pendekatan normatif yang menempatkan penjajahan dalam narasi kompromistik, dan mengusulkan pembacaan ulang terhadap makna kemerdekaan yang sejati.
Kerangka Teoretik: Filsafat Anti-Kolonial dan Normalisasi Kekuasaan
Fanon dalam The Wretched of the Earth menyatakan bahwa kolonialisme bukan hanya perampasan wilayah, melainkan juga penghancuran kesadaran historis rakyat yang dijajah. Ia memperingatkan bahwa kolonialisme modern sering bertransformasi menjadi bentuk kekuasaan yang menyamar sebagai diplomasi dan pembangunan.[^1]
Sementara itu, Edward Said menunjukkan bagaimana narasi tentang Palestina sering dikonstruksi ulang oleh kekuasaan Barat sebagai persoalan “konflik dua negara”, bukan penjajahan satu atas yang lain. Dengan cara ini, proyek kolonial Zionisme dicuci tangannya dari tanggung jawab historisnya dan dimasukkan dalam diplomasi normalisasi.[^2]
Gagasan Shariati tentang “agama yang dijajah” juga relevan dalam konteks ini: ia mengkritik ideologi kompromi sebagai bentuk keimanan palsu yang melanggengkan dominasi dan mematikan semangat pembebasan sejati.[^3]
Analisis: A-Historisisme Pernyataan Prabowo
Pernyataan Prabowo menempatkan syarat pengakuan terhadap Israel pada saat Palestina telah merdeka. Namun, secara implisit ia:
1. Mengabaikan akar sejarah pembentukan Israel yang dilakukan melalui pembersihan etnis dan pengusiran rakyat Palestina pada 1948 (Nakba).
2. Mengasumsikan bahwa Israel adalah entitas yang setara secara moral dan legal dengan Palestina, padahal secara fakta, ia adalah produk kolonialisme pemukim (settler colonialism).
3. Menempatkan Palestina sebagai pihak yang masih harus memenuhi prasyarat tertentu untuk diakui penderitaannya, sementara penjajah tidak dikenai tuntutan pembongkaran struktur penindasannya.
Dengan demikian, narasi tersebut bukan netral, melainkan bagian dari logika depolitisisasi penjajahan, yang oleh Fanon disebut sebagai “strategi penguburan radikalitas kemerdekaan.”[^4]
Reformulasi Makna Kemerdekaan
Dalam kerangka anti-kolonial, kemerdekaan bukan sekadar entitas negara, tetapi:
2. Penghentian sistem apartheid, segregasi, dan blokade terhadap Gaza.
3. Pengakuan atas hak kembali (Right of Return) lebih dari 6 juta pengungsi Palestina.
Dengan demikian, Palestina tidak merdeka selama:
2. Pengungsi Palestina tidak bisa kembali ke rumah mereka.
3. Dunia internasional masih memberi legitimasi kepada negara hasil pembersihan etnis.
4. Bahaya Normalisasi: Dari Diplomasi ke Legitimasi Kekuasaan Penjajah
Pengakuan terhadap Israel pasca kemerdekaan terbatas Palestina akan menjadi semacam legitimasi retrospektif atas kolonialisme. Ia akan membuat Israel tampak seperti negara sah yang “berkonflik” dengan tetangganya, bukan penjajah yang mendirikan dirinya dengan cara-cara kriminal.
Inilah yang disebut oleh Ann Laura Stoler sebagai “imperial debris”—yaitu sisa-sisa kekuasaan kolonial yang tetap hidup dalam bahasa hukum dan diplomasi meskipun tampaknya sudah runtuh.[^5]
Kesimpulan
Pernyataan Prabowo—jika tidak dikritisi secara mendalam—berpotensi menjadi bagian dari narasi kolonial baru yang menjebak rakyat Palestina dalam ilusi kemerdekaan. Filsafat politik anti-kolonial menegaskan bahwa pengakuan terhadap penjajah, dalam bentuk apa pun, adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sejarah. Maka, tugas kita bukan sekadar menanti “kemerdekaan Palestina” dalam pengertian formal, melainkan memperjuangkan pembongkaran total terhadap struktur kolonial Israel dan mengembalikan makna kemerdekaan pada keadilan hakiki.
Catatan Kaki
[^1]: Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, terj. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2005). [^2]: Edward Said, The Question of Palestine (New York: Vintage Books, 1992). [^3]: Ali Shariati, Religion vs Religion, (Tehran: Institute for Research and Cultural Studies, 1980). [^4]: Fanon, Wretched of the Earth, h. 43. [^5]: Ann Laura Stoler, Imperial Debris: On Ruins and Ruination (Durham: Duke University Press, 2013).
Daftar Pustaka
2. Said, Edward. The Question of Palestine. New York: Vintage Books, 1992.
3. Shariati, Ali. Religion vs Religion. Tehran: Institute for Research and Cultural Studies, 1980.
4. Stoler, Ann Laura. Imperial Debris: On Ruins and Ruination. Durham: Duke University Press, 2013.
5. Pappé, Ilan. The Ethnic Cleansing of Palestine. London: Oneworld Publications, 2006.
gambar : https://chatgpt.com/, https://www.cnnindonesia.com/
Biodata Penulis:
2. Tempat & Tgl. Lahir : Sorowako, 01.02.1969
3. Riwayat Singkat Pendidikan :
* Pendidikam terakhir. Magister Managemen (S2) Unhas. 2007
4. Pengalaman Kerja :
* Manager CV. Pontada Transport. 2000
* Direktur Utama PT. Pontada Indonesia 1992 - Sekarang
* Staf Proyek Pengembangan Masyarakat Agrobisnis (PPMA). 1988. Maros
5. Pengalaman Organisasi :
* Bendahara Umum HMI 1992-1993
* Ketua Bidang Kekaryaan HMI MPO 1992-1993
* Ketua Bidang Kader 1993-1994 HMI MPO Cab. Makassar
* Ketua Bidang intelektual & Budaya 1994-1995 HMI MPO
* Ketua Umum HMI MPO Cabang Makassar 1996-1997
Pengalaman Politik
* Partai Umat Islam 1997
* Partai Demokrat 2004
* Partai Golongan Karya (Golkar). 2022
7. Pengalaman Ormas :
* Lembaga Adat To Taipa
* Lembaga Adat kemokolean Nuha
8. Karya : Penulis Buku
* Ziarah Cinta. Puisi
* Editor buku : Manusia Sempurna, Ibnu Arabi. Penulis Syamsunar Phd.
0 Komentar