Oleh : Dudi Noer
Mesir, negeri yang pernah dipimpin oleh para Firaun dengan keagungan dan kekuasaan yang menggetarkan dunia, kini menampilkan wajah yang mengecewakan di panggung internasional. Kebijakan penutupan perbatasan Rafah dengan Gaza yang terus dilakukan oleh pemerintah Mesir adalah cerminan sikap pengecut yang mengkhianati solidaritas Arab dan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar.
Perbatasan Rafah, satu-satunya akses darat Gaza ke dunia luar yang tidak dikontrol Israel, seharusnya menjadi napas kehidupan bagi 2,3 juta penduduk Gaza yang terkepung. Namun realitanya, Mesir berulang kali menutup perbatasan ini dengan berbagai dalih yang tidak berdasar. Mulai dari alasan keamanan hingga tekanan politik internasional, semua dijadikan kambing hitam untuk menutupi sikap pengecut rezim yang lebih mengutamakan keselamatan kursi kekuasaan daripada nyawa saudara sebangsa.
Tindakan ini adalah pengkhianatan nyata terhadap rakyat Palestina yang tengah menderita. Mesir, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela rakyat Arab tertindas, justru memilih jalan yang aman bagi rezimnya sendiri. Sikap ini tidak berbeda dengan para Firaun di masa lalu yang lebih mengutamakan kekuasaan pribadi daripada keadilan untuk rakyatnya.
Pemerintah Mesir kerap berdalih bahwa penutupan perbatasan dilakukan demi menjaga stabilitas keamanan nasional. Mereka mengklaim khawatir dengan infiltrasi kelompok militan atau penyelundupan senjata. Namun dalih ini sangat lemah dan tidak proporsional dengan penderitaan yang dialami warga Gaza. Mesir memiliki kapasitas militer dan intelijen yang lebih dari cukup untuk mengamankan perbatasan tanpa harus menutup total akses kemanusiaan. Teknologi modern memungkinkan pemeriksaan yang ketat namun tetap memfasilitasi pergerakan sipil yang sah. Penutupan total hanya menunjukkan ketidakmampuan atau yang lebih buruk lagi, ketidakmauan untuk mencari solusi yang beradab.
Sebagai negara Arab terbesar dan paling berpengaruh, Mesir memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk memimpin solidaritas Arab. Namun kebijakan perbatasan Gaza justru membuktikan bahwa Mesir lebih memilih mengutamakan hubungan diplomatik dengan kekuatan besar daripada membela darah dagingnya sendiri. Sikap munafik ini sangat kontras dengan retorika anti-Israel yang sering dilontarkan dalam forum-forum internasional. Mesir pandai berbicara tentang dukungan terhadap Palestina di hadapan kamera dan mikrofon, namun dalam praktiknya justru mempersulit kehidupan rakyat Gaza melalui kebijakan perbatasan yang kejam.
Dampak dari kebijakan pengecut ini sungguh mengerikan. Penutupan perbatasan Rafah telah menciptakan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan dan semakin memburuk. Warga Gaza kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar, pendidikan berkualitas, dan peluang ekonomi yang layak. Ribuan pasien yang membutuhkan perawatan medis mendesak di luar Gaza tidak dapat keluar dan terpaksa menderita, bahkan meninggal dunia karena terlambat mendapat penanganan. Mahasiswa berprestasi yang ingin melanjutkan pendidikan terpaksa menunda impian mereka, sementara para pedagang kehilangan mata pencaharian karena tidak dapat mengakses pasar yang lebih luas.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah dampak psikologis dari perasaan terkurung yang berkepanjangan. Generasi muda Gaza tumbuh dengan perasaan putus asa, kemarahan, dan kebencian yang dapat memicu radikalisasi. Mesir, dengan kebijakan perbatasan kerasnya, turut bertanggung jawab penuh atas situasi tragis ini. Mereka ikut menciptakan monster yang suatu hari nanti bisa berbalik menyerang semua pihak.
Mesir sering menyalahkan tekanan internasional, khususnya dari Israel dan Amerika Serikat, sebagai dalang di balik kebijakan perbatasan mereka. Namun ini hanya menunjukkan ketergantungan yang memalukan pada bantuan ekonomi dan dukungan politik dari negara-negara yang justru menjadi musuh ideologis mereka. Sebuah negara yang benar-benar berdaulat dan bermartabat seharusnya dapat mengambil keputusan independen yang sejalan dengan nilai-nilai dan kepentingan nasionalnya, bukan tunduk seperti budak pada tekanan eksternal yang bertentangan dengan kemanusiaan dan harga diri bangsa.
Padahal terdapat berbagai alternatif solusi yang sangat mungkin diterapkan Mesir tanpa harus menutup total perbatasan Gaza seperti yang dilakukan saat ini. Sistem visa dan pemeriksaan yang ketat dapat diterapkan tanpa menghilangkan akses sama sekali. Kerja sama dengan organisasi internasional untuk monitoring dan pengawasan juga dapat menjadi jalan tengah yang konstruktif. Mesir sebenarnya dapat mengambil peran mulia sebagai mediator yang adil dalam konflik Palestina-Israel, bukan sebagai pihak yang malah memperburuk situasi dengan kebijakan perbatasan yang represif dan tidak berperikemanusiaan.
Mesir memiliki sejarah panjang dan gemilang sebagai pemimpin natural dunia Arab dan pembela gigih hak-hak rakyat tertindas. Namun kebijakan perbatasan Gaza yang berlangsung hingga hari ini menunjukkan degradasi moral yang sangat mengkhawatirkan. Sikap pengecut ini tidak hanya merugikan rakyat Gaza yang tidak berdosa, tetapi juga secara sistematis merusak kredibilitas dan kehormatan Mesir di mata seluruh dunia Arab dan komunitas internasional.
Sudah saatnya Mesir kembali kepada jati dirinya sebagai negara yang berani, berprinsip, dan bermartabat. Membuka perbatasan Gaza bukan hanya soal kemanusiaan belaka, tetapi juga tentang martabat, kehormatan, dan harga diri bangsa Arab secara keseluruhan. Mesir harus segera memilih dengan tegas: menjadi bagian dari solusi yang mulia atau terus menjadi bagian dari masalah yang memperburuk penderitaan saudara sebangsa.
Sejarah akan mencatat dengan tinta emas atau hitam bagaimana Mesir bersikap di saat-saat kritis seperti ini. Apakah akan dikenang sebagai negara yang gagah berani membela keadilan dan kemanusiaan, atau sebagai negara pengecut yang mengkhianati solidaritas Arab demi kepentingan sesaat yang hina. Pilihan masih ada di tangan pemimpin dan rakyat Mesir. Semoga mereka memilih jalan yang benar sebelum terlambat.
gambar : https://international.sindonews.com/, https://www.kompas.com/
Biodata Penulis:
2. Tempat & Tgl. Lahir : Sorowako, 01.02.1969
3. Riwayat Singkat Pendidikan :
* Pendidikam terakhir. Magister Managemen (S2) Unhas. 2007
4. Pengalaman Kerja :
* Manager CV. Pontada Transport. 2000
* Direktur Utama PT. Pontada Indonesia 1992 - Sekarang
* Staf Proyek Pengembangan Masyarakat Agrobisnis (PPMA). 1988. Maros
5. Pengalaman Organisasi :
* Bendahara Umum HMI 1992-1993
* Ketua Bidang Kekaryaan HMI MPO 1992-1993
* Ketua Bidang Kader 1993-1994 HMI MPO Cab. Makassar
* Ketua Bidang intelektual & Budaya 1994-1995 HMI MPO
* Ketua Umum HMI MPO Cabang Makassar 1996-1997
Pengalaman Politik
* Partai Umat Islam 1997
* Partai Demokrat 2004
* Partai Golongan Karya (Golkar). 2022
7. Pengalaman Ormas :
* Lembaga Adat To Taipa
* Lembaga Adat kemokolean Nuha
8. Karya : Penulis Buku
* Ziarah Cinta. Puisi
* Editor buku : Manusia Sempurna, Ibnu Arabi. Penulis Syamsunar Phd.
0 Komentar