Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.
Malam 1 Muharram bukanlah malam biasa. Bagi kebanyakan orang, ia hanyalah awal tahun baru hijriah—pergantian kalender, perguliran waktu. Namun bagi para arif, malam ini adalah permulaan dari kisah cinta paling agung dalam sejarah manusia. Sebuah malam yang tak hanya menandai waktu, tetapi juga mengoyak batas antara dunia dan langit.
Di malam ini, Imam Husain ‘alayhis salam baru saja tiba di tanah Karbala, setelah rombongannya dicegat oleh Hurr ibn Yazid al-Riyahi, utusan dari penguasa Kufah, Ubaydillah ibn Ziyad. Perjalanan dari Mekah telah panjang dan melelahkan, bukan sekadar karena jarak, tapi karena beban ruhani yang mereka tanggung. Di malam ini, kaki-kaki para pecinta Ilahi berhenti di tanah yang gersang... tapi akan menjadi tanah suci karena darah yang akan mengalir di atasnya.
Bagi dunia, ini hanya malam biasa. Tapi bagi langit, ini adalah malam ketika wasi terakhir kenabian mulai mempersiapkan dirinya untuk menjadi lentera kebenaran dengan mengorbankan seluruh tubuh dan keluarganya. Imam Husain bukan hanya seorang pemimpin rombongan. Ia telah menjadi tajalli Ilahi—manifestasi cinta Tuhan dalam bentuk manusia. Ia adalah ruh al-Qur’an yang sedang mengambil wujud dalam darah dan air mata.
Malam itu, ia tidak menanti kemenangan dalam makna duniawi. Ia sedang menatap langit Karbala, mungkin berbicara lirih dengan Tuhannya:
"Ya Allah, jika agama ini tidak akan tegak kecuali dengan kematianku, maka ambillah aku..."
Imam Husain tahu betul bahwa takdir telah ditulis. Tapi ia tidak menolak takdir itu, tidak pula lari darinya. Ia justru memeluknya. Malam itu, ikhtiar dan qadar berdamai di dalam dirinya. Ia memilih jalan syahadah bukan karena ia kalah, tapi karena ia mencintai kebenaran lebih daripada hidup. Dan cinta sejati... selalu menuntut pengorbanan tertinggi.
Di tenda-tenda kecil yang baru didirikan, malam itu dilalui dalam keheningan. Tapi bukan keheningan yang hampa—melainkan keheningan yang sarat makna. Sayyidah Zainab, sang tiang kesabaran, menangis diam-diam. Ali Akbar, dengan dada muda yang bergetar, mulai memahami takdir ayahnya. Sayyidah Ruqayyah, si kecil yang polos, masih tertawa, belum menyadari bahwa tanah tempatnya bermain akan menjadi altar kesucian.
Secara filsafati, malam 1 Muharram adalah malam ketika:
Cinta mencapai puncak kesadarannya. Husain mencintai Tuhan bukan karena surga atau takut neraka. Ia mencintai Tuhan karena Tuhan layak dicintai. Dan karena itu, ia siap mempersembahkan segalanya.
Waktu meluruh dalam kekekalan. Malam ini bukan lagi bagian dari waktu kronologis (chronos), melainkan waktu sakral (kairos), saat langit dan bumi menyatu dalam satu ledakan cinta ilahi.
Nur kenabian diwariskan dengan darah. Jika risalah berakhir dengan Nabi Muhammad saw, maka penjagaannya diteruskan dengan darah Husain yang tumpah. Malam ini adalah malam ketika penjaga itu bersiap.
Rasul SAW bersabda:
حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ، أَحَبَّ اللَّهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا، حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ الأَسْبَاطِ
"Husain adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari Husain. Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husain. Husain adalah salah satu dari para pemimpin umat."
(HR: Tirmidzi, Ahmad dan Al Hakim)
Inilah malam alastu bi rabbikum yang kedua. Tuhan kembali bertanya, “Apakah engkau rela mati demi kebenaran?” Dan Husain menjawab:
“Balaa, Ya Rabb... dengan seluruh diriku.”
Malam itu bukan malam duka semata, tapi juga malam suka yang agung. Suka karena Tuhan telah memilih manusia terbaik untuk menjadi puncak manifestasi cinta dan pengorbanan. Duka, karena manusia harus menyaksikan keindahan itu dihancurkan oleh tangan-tangan tiran.
Malam 1 Muharram bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk direnungkan. Ia adalah cermin yang menghadap ke jiwa kita, bertanya:
“Apakah kau mencintai Tuhan hanya dengan lisan, atau kau siap kehilangan segalanya demi kebenaran-Nya?”
Asyura bukan hanya ditangisi, tapi dihidupi. Kita tidak hanya diajak mengenang darah yang tumpah, tapi juga meneladani keberanian, kesabaran, dan cinta yang melampaui batas duniawi. Dalam tangis kita atas Husain, seharusnya juga tumbuh tekad untuk melawan kebatilan dalam diri sendiri dan masyarakat.
Malam ketika langit turun mendekati bumi.
Malam ketika alam menyambut dengan takzim langkah-langkah sang cucu Nabi.
Malam ketika sejarah diam-diam mulai menulis babak paling agung dalam kitab kemanusiaan.
Dan bila hati kita masih hidup, kita akan merasakannya:
Ada getar halus dalam dada,
Ada kesunyian yang sakral,
Ada bisikan cinta dari tanah Karbala yang jauh,
Karena ruh Husain sedang mengetuk.
Salām ‘alaika yā Abā ‘Abdillah...
Engkau telah memilih malam yang gelap untuk menyalakan cahaya abadi.
Dan kami, meski tak sebanding denganmu,
berharap kelak bisa berjalan dalam jejak darahmu.
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar