Dunia sedang bergetar. Tapi getaran itu bukan semata karena ledakan rudal atau denting logam senjata. Ia datang dari dasar nurani yang lelah melihat kekerasan tak berujung. Dari hati manusia yang tahu siapa yang menindas dan siapa yang terus ditindas. Di tengah segala hiruk-pikuk ini, satu frasa menggema dari poros timur perlawanan: "Kau yang memulai, Israel — Aku yang mengakhiri, Iran."
Kalimat itu bukan sekadar ancaman. Ia adalah pernyataan moral, refleksi sejarah, dan pengingat bahwa dunia tidak bisa terus hidup di bawah tirani yang menyamar sebagai pertahanan diri.
Israel, sejak awal kelahirannya pada 1948, berdiri di atas fondasi pengusiran. Jutaan warga Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka, dijadikan pengungsi di tanah sendiri. Tragedi demi tragedi, dari Sabra dan Shatila hingga Jenin dan Gaza, bukan kecelakaan sejarah. Itu pola yang terus diulang, atas nama keamanan nasional dan mitos tanah yang dijanjikan.
Dan dunia — sebagian besarnya — diam. Atau setengah bicara, lalu berbalik memberi Israel lebih banyak bom, lebih banyak veto, dan lebih banyak ruang untuk membunuh.
Tapi sejarah tak bisa terus menerus diulang oleh mereka yang paling kuat. Di Timur, sebuah bangsa bangkit bukan karena kekuatan ekonomi atau teknologi, melainkan karena keyakinan pada keadilan. Iran — negara yang bertahan dari revolusi, embargo, sabotase, dan perang delapan tahun — menatap dunia bukan dengan arogansi, tetapi dengan tekad. Bahwa yang tertindas tak akan selamanya diam. Dan bahwa diam terhadap kezaliman adalah bagian dari kezaliman itu sendiri.
Kita boleh tidak sepakat dengan semua kebijakan Iran. Tapi satu hal yang tak bisa dibantah adalah keberaniannya berkata tidak kepada sistem global yang timpang. Ketika banyak negara Muslim menjalin hubungan normalisasi dengan Israel, Iran justru mempertegas komitmennya terhadap Palestina — bukan sekadar sebagai isu politik, tapi sebagai amanat peradaban.
Iran tahu bahwa melawan Israel bukan hanya soal membela Gaza. Ini soal mempertahankan harga diri dunia yang diinjak-injak oleh kekuatan yang menyamakan kritik dengan antisemitisme, yang menyulap korban menjadi pelaku, dan pelaku menjadi mitra dagang.
Tentu, pertanyaannya bukan sekadar siapa yang pertama menembakkan peluru. Dunia sudah tahu jawabannya. Yang lebih penting hari ini adalah siapa yang punya keberanian untuk berkata cukup. Dan Iran, meskipun sering difitnah dan diisolasi, memilih mengambil posisi itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, serangan Israel ke Gaza mencapai titik brutal yang sulit dicerna akal sehat. Rumah sakit dibom, anak-anak dijadikan sasaran, dan bantuan kemanusiaan dihalangi. Dunia menyaksikan, tapi hanya sedikit yang bertindak.
Iran, dengan segala keterbatasannya, berdiri melawan. Lewat poros perlawanan — dari Hizbullah di Lebanon, milisi Hashd al-Shaabi di Irak, Ansarullah di Yaman, hingga faksi-faksi di Suriah dan Palestina — Iran mengirim pesan bahwa ketidakadilan ini tidak bisa dibiarkan.
Dan inilah yang membuat frasa itu menggema: Kau yang memulai, Israel — Aku yang mengakhiri, Iran.
Kalimat ini bukan glorifikasi kekerasan. Ini peringatan bahwa dalam dunia yang terus memproduksi penindasan, akan selalu ada kekuatan yang bersedia menghentikannya, meski dengan risiko besar. Iran bukan mencari perang, tetapi ia juga tidak akan tunduk pada logika damai yang dibangun di atas kuburan anak-anak.
Dalam dunia diplomasi, Iran dianggap pengganggu. Tapi sesungguhnya, yang mengganggu adalah kebenaran yang dibawanya. Kebenaran bahwa sistem internasional hari ini gagal melindungi yang lemah. Bahwa hukum internasional hanyalah hiasan ketika pelakunya adalah sekutu kuat.
Opini publik dunia kini mulai berubah. Di jalan-jalan kota besar dunia, dari London hingga Jakarta, dari New York hingga Cape Town, suara-suara yang dulu dianggap marjinal kini menjadi arus utama: hentikan genosida di Gaza. Boikot Israel. Hentikan impunitas.
Iran melihat ini bukan sebagai kemenangan politik, melainkan sebagai gelombang kesadaran global. Dan seperti gelombang lainnya dalam sejarah, ia dimulai dari keberanian segelintir pihak untuk berkata tidak.
Mungkin suatu hari nanti, sejarah akan menuliskan: ketika dunia kehilangan arah, bukan kekuatan ekonomi atau militer yang memimpin perubahan, melainkan tekad moral yang tak bisa dibeli. Ketika semua diam, ada satu bangsa yang berkata: "Jika tak ada yang berani mengakhiri, biar aku yang mengakhiri."
Dan itu bukanlah kesombongan. Itu adalah tanggung jawab yang lahir dari luka, dari cinta pada yang tertindas, dan dari iman pada janji bahwa setiap kezaliman pasti berakhir.
Israel yang memulai. Tapi dunia harus tahu, Israel tidak bisa memilih siapa yang akan mengakhirinya.
Dan ketika Iran berkata, aku yang mengakhiri, mungkin itulah satu-satunya cara agar dunia yang adil bisa benar-benar dimulai.
gambar : https://web.telegram.org/k/#@salutecommander, https://web.telegram.org/k/#@PalestinaPostBiodata Penulis:
2. Tempat & Tgl. Lahir : Sorowako, 01.02.1969
3. Riwayat Singkat Pendidikan :
* Pendidikam terakhir. Magister Managemen (S2) Unhas. 2007
4. Pengalaman Kerja :
* Manager CV. Pontada Transport. 2000
* Direktur Utama PT. Pontada Indonesia 1992 - Sekarang
* Staf Proyek Pengembangan Masyarakat Agrobisnis (PPMA). 1988. Maros
5. Pengalaman Organisasi :
* Bendahara Umum HMI 1992-1993
* Ketua Bidang Kekaryaan HMI MPO 1992-1993
* Ketua Bidang Kader 1993-1994 HMI MPO Cab. Makassar
* Ketua Bidang intelektual & Budaya 1994-1995 HMI MPO
* Ketua Umum HMI MPO Cabang Makassar 1996-1997
Pengalaman Politik
* Partai Umat Islam 1997
* Partai Demokrat 2004
* Partai Golongan Karya (Golkar). 2022
7. Pengalaman Ormas :
* Lembaga Adat To Taipa
* Lembaga Adat kemokolean Nuha
8. Karya : Penulis Buku
* Ziarah Cinta. Puisi
* Editor buku : Manusia Sempurna, Ibnu Arabi. Penulis Syamsunar Phd.
0 Komentar