Ustadz Mohammad Adlany,Ph.D.
Saat kita mendengar kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, banyak dari kita langsung membayangkan adegan dramatis seorang ayah yang rela menyembelih anaknya karena perintah Tuhan. Tapi, kalau kita gali lebih dalam, kurban bukan hanya soal mengorbankan hewan atau bahkan anak—ini soal mengorbankan diri sendiri. Tepatnya, rasa "ego" yang begitu melekat dalam hidup kita.
Dalam kisah ini, Ismail bukan sekadar anak kandung. Ia adalah simbol dari segala hal yang paling kita cintai dan tak rela lepaskan: ambisi, ego, nafsu, bahkan citra diri yang kita bangun mati-matian. Maka, ujian terbesar Ibrahim bukan di pisau yang hendak menebas leher Ismail, tapi di keberaniannya melepaskan keterikatan yang paling dalam—rasa kepemilikan dan kebanggaan atas sesuatu yang ia cintai.
Rumi, sang penyair sufi besar, bilang bahwa hidup yang sejati baru dimulai ketika "ego" yang penuh kesombongan dan kelekatan duniawi itu disembelih. Rasa "ego" ini yang bikin kita selalu ingin di atas, selalu merasa paling benar, dan sulit menyerah pada sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Selama rasa "ego" ini masih hidup, kita belum benar-benar bebas.
Maka, kurban sejatinya adalah ajakan untuk membebaskan diri dari jerat ego. Ia bukan sekadar upacara tahunan, tapi proses menyakitkan—namun perlu—untuk meruntuhkan tembok keakuan dan membuka jalan bagi lahirnya diri yang lebih rendah hati, lebih pasrah, dan lebih terhubung dengan kebenaran yang hakiki.
Jadi, saat kita berkurban, mungkin yang paling perlu kita sembelih bukan kambing atau sapi, tapi rasa "ego" yang selama ini diam-diam jadi penghalang terbesar menuju kedamaian dan kebahagiaan sejati.
gambar : https://parstoday.ir/id/radio/
0 Komentar