Herman Kajang
Di era ketika Gaza terbakar dan anak-anak mati dalam reruntuhan, sebagian orang memilih menjadi pelipur lara. Bukan dengan membawa bantuan atau doa, tapi dengan membawa tudingan. Di antara mereka, berdirilah sosok dai yang kini menjelma menjadi penyambung lidah kolonialisme spiritual: Felix Siauw.
Ya, Felix. Kini menjadi penceramah favorit bagi algoritma media sosial yang lebih suka perdebatan tentang warna celana isbal daripada nasib bangsa tertindas. Ia kini memeluk narasi yang dahulu ia hina: narasi Zionis.
Tapi bukan karena ia menjadi agen rahasia. Tidak. Ia cuma terlalu rajin membaca sejarah versi Google dan terlalu malas menatap peta penderitaan. Ia membaca dengan satu mata, dan yang ia lihat hanyalah perbedaan mazhab. Lalu ia berkata: “Iran bukan bagian dari umat.” Begitu saja. Seolah ada sidang tahunan yang ia ikut di dalamnya memutuskan siapa sah menjadi umat dan siapa hanya figuran sejarah.
Felix, dalam kebijaksanaan setengah matang khas pendakwah Instagram, menyamakan Iran hari ini dengan zaman Cyrus Agung. Alasannya? Cyrus pernah memberi izin pembangunan Bait Suci Yahudi. Lalu, Iran masa kini dituduh anak kandung Zionis. Logika yang, jika digunakan di ruang sidang, akan membuat hakim memanggil ambulans.
Cyrus, wahai Felix, bukan Syiah. Bahkan belum ada Islam. Ia tidak mendirikan masjid, tidak ikut tadarus, tidak menyelipkan doa di ujung sidang kerajaan. Ia menjalankan politik kolonial: stabilitas dulu, spiritualitas belakangan. Tapi Felix menganggap semua itu sama. Mungkin karena baginya, sejarah adalah rangkaian status yang bisa dicopas dengan caption renyah.
Iran 1979 bukan Persia 500 SM. Ia adalah hasil revolusi anti-Syah, anti-Amerika, anti-Israel. Tapi Felix tidak melihat periodesasi sejarah itu. Ia terlalu sibuk dengan lensa hitam-putih: kalau bukan Sunni, maka musuh. Jika Syiah, maka otomatis sesat. Tak peduli mereka melawan penjajahan atau menolong Palestina. Pokoknya: "bukan kami."
Revolusi Iran mengusir kedutaan Israel dan membuka kantor Palestina di bekas kedutaan Israel menurut Felix, itu hanya "taktik." Kalau ada negara yang membakar bendera Israel tiap Jumat terakhir Ramadhan, itu bukan karena cinta Palestina, tapi “gimmick sektarian.” Ya, karena menurut Felix, keikhlasan hanya bisa datang dari Sunni.
Felix berkata Iran menyerang karena diserang. Bukan karena Palestina. Ia menafikan Hari Al-Quds, menafikan Hizbullah, menafikan drone-drone murah yang dirakit di Gaza hasil pelatihan dari Teheran. Ia menafikan fakta karena fakta tak cocok dengan narasinya. Maka yang terjadi adalah penyesuaian realitas agar sesuai dengan isi ceramahnya.
Lucunya, narasi Felix mirip dengan pidato Netanyahu. Sama-sama menyebut Iran sebagai ancaman regional. Sama-sama berharap revolusi Iran gagal. Ia menggunakan logika daur ulang Zionis. Perbedaannya, Netanyahu mengatakannya dalam bahasa Ibrani, Felix dengan tagar “Islam Kaffah.”
Felix tidak bicara tentang normalisasi Saudi dengan Israel. Ia tidak mengecam UEA atau Bahrain yang kini mengadakan pesta dagang bersama penjajah. Tapi ia marah besar kepada Iran, hanya karena Iran berbeda mazhab. Ini seperti membenci pemadam kebakaran hanya karena ia datang dari pos berbeda, meski rumah kita sama-sama terbakar.
Sementara Saudi mencetak visa untuk investor Israel, Iran mengirim rudal. Saat negara-negara Sunni menandatangani kontrak hotel dan stadion, Iran membangun jalur logistik bawah tanah ke Gaza. Tapi menurut Felix, yang layak dipuji adalah yang mengutuk sambil dagang, bukan yang mengorbankan ekonomi demi membela.
Felix menyebut Teheran bukan Islam, tapi tak pernah menyebut Tel Aviv sebagai penjajah. Ia sebut Syiah musuh umat, tapi tak pernah menyebut bahwa umat yang dia maksud kini dipeluk oleh normalisasi Israel.
Ia lebih terganggu oleh ayatollah yang mengirim rudal, daripada oleh pangeran Arab yang menyambut Menlu Israel bagai seorang hamba menyambut tuannya..
Dan ketika serangan Iran ke Israel pada 2024 terjadi—lebih dari 300 rudal dan drone melintasi langit untuk pertama kali dalam sejarah modern—Felix tidak menyebut itu sebagai bentuk perlawanan. Ia menyebutnya aksi Syiah yang ingin dominasi. Padahal itu adalah tanda bahwa dunia Islam masih punya nyali.
Felix telah menjadi karikatur keberanian: berani mengkritik Iran, tapi tak berani menyentuh Saudi. Berani menyesatkan sesama Muslim, tapi takut menyebut penjajah dengan nama yang sebenarnya. Ia lebih suka menghitung perbedaan fiqih daripada menghitung jumlah anak yang mati di Gaza.
Baginya, Islam adalah formalisme. Bukan perlawanan. Ia lebih gelisah melihat syal bergambar Khomeini daripada melihat rudal Zionis menghancurkan masjid. Ia lebih senang membahas bid’ah dalam doa qunut daripada menelusuri peta penjajahan.
Dan Sejarah Akan Menulis bahwa pernah ada dai yang lebih percaya pada siasat Zionis ketimbang air mata Gaza. Bahwa pernah ada seorang ustaz yang menjadikan bendera sebagai dalil, dan menjadikan mazhab sebagai garis pembatas kemanusiaan.
Felix kini adalah influencer spiritual yang kebetulan suka sejarah tapi benci membaca bab perjuangan. Ia lebih ingat perbedaan warna surban daripada perbedaan antara penjajah dan pejuang. Lebih suka menertawakan syiah daripada menertawakan konferensi damai yang disponsori negara penjual peluru ke Israel.
Ia akan dikenang bukan karena dakwahnya, tapi karena keberaniannya menyerang kawan di tengah derita umat. Bukan karena ilmunya, tapi karena kepandaiannya memelintir fakta agar muat dalam satu video TikTok berdurasi 60 detik.
Sementara itu, Iran terus bergerak dengan konsistensi yang membuat penjajah terpaksa memasang pelindung rudal. Gaza tak butuh bicara. Ia butuh roket. Ia butuh bantuan. Ia butuh solidaritas. Dan selama Iran masih mengirimkannya—meski dihina, diboikot, disesatkan—maka Iran, dalam sejarah umat, tetap di barisan terdepan. Bukan karena sempurna, tapi karena ia hadir.
gambar : https://chatgpt.com/g/g-pmuQfob8d-image-generator, https://web.telegram.org/k/#@PalestinaPost
Penulis adalah Ketua KOPEL (Komite Pemantau Legislatif) Indonesia sekaligus Ketua Komunitas Sungai Kenabian (KSK) Makassar
1 Komentar
maknyus ini ketua
BalasHapus