Subscribe Us

ksk logo.jpg

Ibadah Haji, Keuntungan Arab Saudi, dan Ironi Bantuan kepada Barat dan Israel


Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.

Setiap tahunnya, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia dengan harap dan linangan keikhlasan menuju Mekkah, tanah suci yang dijanjikan sebagai titik penyempurnaan rukun Islam. Di antara mereka, tak sedikit yang menabung bertahun-tahun, menjual tanah, bahkan meminjam uang, demi satu cita: berhaji. Namun, di balik lautan manusia yang bertalbiah, terdapat ironi besar yang tak banyak dibicarakan: haji yang sakral, kini juga menjadi mesin ekonomi yang mengalirkan triliunan rupiah ke kas kerajaan Saudi. Dan lebih menyakitkan lagi, sebagian dari dana itu—yang dihimpun dari peluh dan air mata umat Islam—justru mengalir ke kekuatan-kekuatan global yang menindas mereka sendiri.

Dalam kerangka Vision 2030, Arab Saudi menjadikan haji dan umrah sebagai salah satu pilar transformasi ekonominya. Sebelum pandemi, pemasukan dari sektor ini mencapai 12 hingga 20 miliar dolar AS per tahun, dan kini ditargetkan melonjak hingga 50 miliar dolar per tahun. Ini bukan lagi semata pelayanan ibadah, melainkan bisnis wisata religi skala raksasa. Dari Indonesia saja, dengan BPIH 2025 mencapai Rp 89 juta per jamaah reguler, dan lebih dari Rp 170 juta untuk haji plus, dengan kuota resmi 221.000 jamaah, maka tak kurang dari 800 juta dolar AS mengalir dari negeri ini ke Saudi setiap tahunnya. Jumlah itu bahkan belum termasuk belanja oleh-oleh, logistik, dan konsumsi selama berada di Tanah Suci.

Namun pertanyaan mendasarnya: ke mana semua uang ini diarahkan? Apakah seluruhnya untuk meningkatkan pelayanan jemaah? Ataukah ada sebagian yang justru mengalir ke Barat, menopang negara-negara yang berkali-kali menghancurkan dunia Islam? Data resmi menunjukkan bahwa Arab Saudi kini menjadi salah satu pemegang surat utang Amerika terbesar, senilai lebih dari 136 miliar dolar AS per Mei 2024—kenaikan signifikan dalam satu tahun. Ironisnya, uang dari umat Islam ini turut membiayai anggaran militer AS, yang sebagian senjatanya digunakan untuk membombardir Timur Tengah dan mendukung Israel.

Tak berhenti di situ. Tahun 2021, Dana Investasi Publik Saudi menggelontorkan dua miliar dolar ke Affinity Partners milik Jared Kushner, menantu Donald Trump. Perusahaan ini diketahui menanamkan modal ke berbagai sektor, termasuk perusahaan keamanan Israel. Maka dari Multazam—tempat jemaah memohon pengampunan—dana umat Islam mengalir ke Tel Aviv, memperkuat infrastruktur teknologi negara yang terus menginjak-injak hak rakyat Palestina. Ini bukan lagi sekadar strategi investasi. Ini pengkhianatan terhadap solidaritas Islam.

Dan di sinilah letak tragedi spiritual kita. Haji yang mestinya menjadi jalan pembebasan dari dunia hewaniah menuju kedekatan ilahiah, justru berubah menjadi parade kapital yang menafikan ruh. Imam Ali Zainul Abidin pernah berkata dalam bisikan lirih di tengah lautan jemaah:

"Kam min talbiyyatin fi al-ḥajj, wa mā aktsara al-ṣawta wa aqalla al-ḥajj!"

"Betapa banyak talbiah yang dilantunkan, tapi betapa sedikit yang benar-benar berhaji."

Ketika seorang murid bertanya, Imam tidak menjawab dengan kata-kata, tapi dengan penglihatan batin. Sang murid melihat: mereka yang tawaf bukan hanya manusia, tapi juga makhluk berkepala anjing dan babi. Simbol dari jiwa-jiwa yang terperangkap kerakusan dan syahwat, dari mereka yang berpakaian ihram secara lahiriah namun membawa ego dan kesombongan secara batiniah.

Mereka naik haji, tapi yang kembali bukanlah manusia, melainkan tubuh-tubuh yang pernah berada di Mekkah. Sebab haji, jika hanya dipahami sebagai kewajiban administratif dan bukan transformasi eksistensial, hanya melahirkan formalitas. Tubuh sujud, tapi hati masih menengadah kepada dunia. Smartphone dipenuhi foto, tapi ruh kosong dari cinta Ilahi. Maka wajarlah jika Ka'bah—sebagai cermin diri di hadapan Tuhan—memantulkan wajah-wajah yang tak lagi bercahaya.

Lebih menyakitkan lagi, di atas segala ironi spiritual itu, terdapat paradoks geopolitik yang membungkus tragedi umat. Saudi kini tengah mempersiapkan normalisasi dengan Israel, bahkan ketika darah anak-anak Gaza masih hangat mengalir. Di saat Al-Aqsa terus dinodai, Riyadh tengah merancang gedung kedutaan. Dalam logika politik kapital, ini disebut realisme. Tapi dalam timbangan keimanan, ini pengingkaran.

Indonesia sebagai negara dengan jemaah haji terbanyak di dunia, tidak bisa diam. Kita harus mendorong reformasi pengelolaan dana haji yang lebih etis, lebih transparan, dan lebih berpihak pada peradaban Islam. Sudah waktunya dibentuk forum multilateral antara negara-negara Muslim pengirim jemaah untuk memastikan bahwa dana besar ini tidak hanya memperkaya segelintir elite kerajaan, tetapi mengalir kembali dalam bentuk solidaritas, pendidikan, dan kemajuan teknologi umat.

Haji bukanlah festival keimanan semu. Ia adalah jalan hijrah batin, dari yang liar menjadi jinak, dari yang cinta dunia menjadi hamba sejati. Ia bukan hanya tentang “datang ke Mekkah,” tetapi juga “kembali sebagai manusia.” Dan di dunia yang semakin berhala kepada kapitalisme, haji adalah pengingat paling agung bahwa iman tak bisa dibeli—dan tak boleh diperjualbelikan.

Jika tidak, maka tak lama lagi, Ka’bah hanya akan dipenuhi jasad—sementara Tuhan sudah tak lagi menjawab seruan talbiah mereka.

gambar : https://chatgpt.com


Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 


Posting Komentar

0 Komentar