Oleh: Dudi Noer
Amerika meminta gencatan senjata dengan Iran, terdengar seperti harapan. Tapi bila keluar dari mulut Amerika dan Israel serta sekutu Baratnya, maknanya bukan “berhenti menembak”, tapi “berhenti sejenak untuk mengisi ulang peluru.” Inilah wajah diplomasi modern: dibungkus janji damai, padahal isinya tipu muslihat.
Seperti pelawak buruk dalam panggung tragedi, mereka menawarkan perdamaian sambil menginjak-injak tengkorak anak-anak Gaza.
Mari kita akui satu hal: gencatan senjata adalah ide bagus—jika datang dari orang yang benar-benar ingin damai. Tapi di tangan Zionis dan kroni baratnya, gencatan hanyalah taktik. Mereka menyebutnya “jeda kemanusiaan”, padahal maksudnya: “beri kami waktu untuk mengganti baterai drone, kalibrasi ulang GPS rudal, dan memoles narasi pembantaian jadi ‘pembelaan diri’.”
Sungguh licin. Bahasa mereka seperti sabun licin di penjara: tidak boleh dijatuhkan, sebab bisa mengakibatkan bencana.
Israel selalu tampil sebagai korban padahal memegang kendali penuh atas perang. Mereka bilang “kami diserang”, tapi justru mereka yang punya senjata nuklir, rudal presisi, dan pasokan senjata dari Washington.
Setiap kali mereka merasa kehilangan kendali narasi global—ketika tayangan korban sipil mulai viral, ketika publik internasional mulai sadar bahwa ini bukan perang tapi pembantaian—mereka minta “gencatan”. Bukan karena ingin damai, tapi untuk merapikan strategi pemusnahan berikutnya.
Gencatan senjata versi Zionis bukan damai, tapi tombol pause. Begitu cukup waktu untuk logistik dan narasi, mereka tekan play lagi.
Pengkhianatan Arab dan Barat
Kini mari kita intip aktor pendukung di drama ini: negara-negara Arab yang diam seribu dinar, dan sekutu Barat yang mulutnya bergetar demi HAM, tapi hatinya kaku seperti beton Yerusalem yang dijajah.
Negara-negara Arab—sebagian besar—berubah menjadi pendiam, yaitu ahli kepura-puraan atau seperi bunglon. Lidah mereka berdzikir, tapi tangan mereka menjabat tangan penjajah. Dari Riyadh ke Abu Dhabi, dari Kairo ke Rabat, kita tidak lagi mendengar seruan jihad, hanya undangan investasi dan konferensi ekonomi bersama Tel Aviv.
Mereka tak lagi malu. Sebagian bahkan terang-terangan menjalin hubungan dagang dan militer dengan Israel. Gaza dibom, mereka justru menandatangani nota kesepahaman dagang. Anak-anak mati, mereka sibuk beli saham perusahaan senjata.
Di Barat, lebih tragis lagi. Washington menyuplai bom, lalu mengirim utusan PBB untuk menyerukan “de-eskalasi”. Uni Eropa menyesalkan jatuhnya korban sipil, lalu tetap kirim mesin perang atas nama stabilitas kawasan.
Jadi, siapakah yang waras hari ini?
Yang menyuarakan perlawanan malah dicap ekstremis. Sementara yang duduk manis di perjamuan pembantaian disebut “moderatis”. Dunia terbalik. Dan dalam dunia terbalik, kebenaran sering terlihat radikal.
Menyikapi Tipu Muslihat: Waspada pada Teh Manis Iblis
Di tengah tipu daya ini, umat tak boleh tertidur. Jangan tertipu oleh diplomasi beraroma damai. Ingat: Iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat cahaya. Maka ketika mereka menyodorkan “gencatan senjata”, itu bukan perdamaian, tapi teh manis beracun. Enak di awal, tapi membunuh pelan-pelan.
Ini bukan soal Palestina saja. Ini soal kejujuran peradaban. Apakah kita masih punya keberanian untuk berdiri bersama yang tertindas? Ataukah kita lebih memilih diam demi kenyamanan?
Hari ini, gencatan senjata hanya bisa dipercaya jika penjajah sudah benar-benar berhenti menindas. Jika tidak, itu hanyalah jeda untuk menjilati luka mereka agar bisa membunuh lebih rapi.
Kita harus waspada pada narasi-narasi manis. Kita harus mencurigai siapa pun yang menjual air di tengah hujan. Karena mereka bukan menolongmu, tapi sedang menjual kembali hakmu.
Di akhir zaman, kebenaran memang akan menjadi minoritas. Tapi sebagaimana kata pepatah lama: "Lebih baik sendirian dalam kebenaran daripada ramai-ramai dalam kebohongan."
Dan kepada para pemimpin yang masih punya nurani, izinkan saya menutup tulisan ini dengan semacam puisi jenaka reflektif:
Jangan percaya gencatan, Jika pelakunya masih menyimpan senapan. Jangan percaya senyum musuh, Jika bajunya masih basah oleh darah saudaraku.
gambar : https://chatgpt.com/g/g-pmuQfob8d-image-generator/, https://web.telegram.org/k/#@PalestinaPost
Biodata Penulis:
2. Tempat & Tgl. Lahir : Sorowako, 01.02.1969
3. Riwayat Singkat Pendidikan :
* Pendidikam terakhir. Magister Managemen (S2) Unhas. 2007
4. Pengalaman Kerja :
* Manager CV. Pontada Transport. 2000
* Direktur Utama PT. Pontada Indonesia 1992 - Sekarang
* Staf Proyek Pengembangan Masyarakat Agrobisnis (PPMA). 1988. Maros
5. Pengalaman Organisasi :
* Bendahara Umum HMI 1992-1993
* Ketua Bidang Kekaryaan HMI MPO 1992-1993
* Ketua Bidang Kader 1993-1994 HMI MPO Cab. Makassar
* Ketua Bidang intelektual & Budaya 1994-1995 HMI MPO
* Ketua Umum HMI MPO Cabang Makassar 1996-1997
Pengalaman Politik
* Partai Umat Islam 1997
* Partai Demokrat 2004
* Partai Golongan Karya (Golkar). 2022
7. Pengalaman Ormas :
* Lembaga Adat To Taipa
* Lembaga Adat kemokolean Nuha
8. Karya : Penulis Buku
* Ziarah Cinta. Puisi
* Editor buku : Manusia Sempurna, Ibnu Arabi. Penulis Syamsunar Phd.
0 Komentar