Ustadz Mohammad Adlany,Ph.D.
Manusia adalah makhluk unik yang memiliki dua dimensi keberadaan: jasmani (fisik) dan ruhani (spiritual). Keduanya saling terhubung layaknya dua sisi mata uang. Jika tubuh fisik rentan terhadap penyakit seperti demam atau infeksi, dimensi ruhani juga dapat "terinfeksi" oleh sesuatu yang disebut dosa. Dalam analogi spiritual, dosa ibarat virus, bakteri, atau kuman yang menggerogoti kesehatan jiwa. Jika tidak diobati, penyakit ruhani ini tidak hanya melahirkan penderitaan di dunia, tetapi juga mengancam kebahagiaan abadi di akhirat.
Dosa: Virus yang Menginfeksi Ruhani
Dosa sering dianggap sebagai pelanggaran moral, tetapi secara lebih mendalam, ia seperti patogen yang merusak keseimbangan spiritual. Layaknya virus yang menyerang sistem imun tubuh, dosa menggerus kesadaran manusia akan nilai kebenaran, kasih sayang, dan keadilan. Setiap kebohongan, keserakahan, atau kezaliman adalah "bakteri" yang memperparah infeksi ruhani. Akibatnya, manusia tidak hanya kehilangan kedamaian hati, tetapi juga rentan menebar penderitaan kepada sesama.
Penyakit Ruhani: Akar Penderitaan Manusia
Penyakit jasmani, seperti kanker atau diabetes, dapat dideteksi melalui gejala fisik. Sementara penyakit ruhani—seperti iri hati, sombong, atau putus asa—sering kali tak terlihat, namun dampaknya lebih dahsyat. Keduanya sama-sama melahirkan penderitaan. Bedanya, penyakit ruhani tidak hanya menyiksa di dunia, tetapi juga berpotensi menjadi sumber siksa abadi di akhirat. Misalnya, kebencian yang dipendam bisa merusak hubungan sosial, sementara keserakahan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kehancuran moral.
Segala Penyakit Ada Obatnya: Ampunan Tuhan sebagai Penawarnya
Dalam dunia medis, setiap penyakit memiliki obatnya. Demikian pula dengan penyakit ruhani. Ampunan Tuhan adalah "antibiotik" yang menyembuhkan luka spiritual. Proses penyembuhannya dimulai dengan kesadaran akan kesalahan, diikuti oleh penyesalan tulus (taubat), dan upaya memperbaiki diri. Tuhan, dalam konsep agama, digambarkan sebagai Maha Penyayang yang selalu membuka pintu pengampunan bagi hamba-Nya yang mau kembali. Dengan demikian, tidak ada dosa yang terlalu parah selama manusia masih mau berusaha membersihkan jiwanya.
Neraka: Penderitaan Akibat Penyakit Ruhani yang Tak Diobati
Jika penyakit jasmani yang dibiarkan bisa berakibat kematian, penyakit ruhani yang diabaikan akan berujung pada penderitaan di akhirat. Neraka, dalam konteks ini, bukan sekadar tempat siksa, melainkan konsekuensi logis dari akumulasi penyakit ruhani yang tak pernah diobati. Ia adalah "buatan" manusia sendiri, hasil dari sikap acuh terhadap racun-racun spiritual yang terus dipelihara. Misalnya, orang yang gemar menindas sesama mungkin akan merasakan "neraka" berupa keterasingan dan penyesalan abadi.
Lamanya Penderitaan: Refleksi dari Parahnya Penyakit Ruhani
Durasi dan intensitas penderitaan di akhirat digambarkan berbanding lurus dengan tingkat keparahan penyakit ruhani. Semakin dalam dosa berakar—misalnya, kebiasaan berbohong yang menjadi karakter—semakin lama proses "pemurnian" jiwa diperlukan. Ini mirip dengan infeksi kronis pada tubuh yang membutuhkan terapi panjang. Namun, selama nyawa masih ada, peluang untuk memperbaiki diri tetap terbuka.
Surga dan Neraka: Cerminan Perilaku Manusia
Konsep surga dan neraka sering dipahami sebagai hadiah atau hukuman dari Tuhan. Namun, secara filosofis, keduanya adalah cerminan dari pilihan hidup manusia. Surga adalah buah dari upaya membersihkan ruhani melalui kebajikan, sementara neraka adalah akumulasi penderitaan akibat dosa yang tak diakui. Dengan kata lain, manusia sendirilah yang menentukan nasib akhirnya melalui cara ia merawat kedua domain hidupnya: jasmani dan ruhani.
Penutup: Menjaga Kesehatan Holistik
Merawat tubuh fisik dengan olahraga dan nutrisi adalah keharusan, tetapi menjaga kebersihan ruhani jauh lebih krusial. Dosa-dosa yang dibiarkan akan menjadi penyakit abadi, sementara pengampunan Tuhan adalah obat yang selalu tersedia. Dengan menyadari dualitas diri—jasmani dan ruhani—manusia dapat hidup seimbang, menghindari "neraka" ciptaannya sendiri, dan meraih "surga" yang diidamkan. Sebab, pada akhirnya, surga dan neraka bukanlah tempat, melainkan kondisi jiwa yang lahir dari pilihan hidup setiap insan.
gambar : https://jatimtimes.com/baca, https://www.shutterstock.com/
0 Komentar