Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Di tengah lautan manusia yang bertalbiah di bawah langit Makkah, Imam Ali Zainul Abidin berkata lirih:
كَمْ مِنْ تَلْبِيَةٍ فِي الْحَجِّ، وَمَا أَكْثَرَ الصَّوْتَ وَأَقَلَّ الْحَجَّ
Kam min talbiyyatin fi al-ḥajj, wa mā aktsara al-ṣawta wa aqalla al-ḥajj!
"Betapa banyak talbiah dalam ibadah haji, betapa keras suaranya, tetapi betapa sedikit yang benar-benar berhaji!"
Seorang pengikutnya yang turut dalam perjalanan suci itu tertegun. Ia menoleh kepada Imam dan bertanya, “Mengapa demikian, wahai cucu Rasulullah?”
Sang Imam hanya mengisyaratkan dengan kelembutan. Ia mengusap wajah pengikutnya—membuka tirai penglihatan batin—dan berkata, “Lihatlah.” Maka tatkala ia menatap kerumunan yang sedang bertawaf, ia gemetar. Sebab yang tampak bukan hanya manusia, tetapi juga makhluk-makhluk lain: berkepala anjing, babi, dan rupa binatang lainnya. Mereka juga mengelilingi Ka'bah. Mereka juga berteriak, “Labbaikallahumma labbaik...”
Tentu bukan berarti binatang benar-benar naik haji. Tapi wajah-wajah itulah simbol—simbol dari jiwa yang telah tertutupi nafsu. Mereka yang secara zahir berpakaian ihram, tapi secara batin membawa ego yang tak tersucikan, syahwat yang belum diredam, dan kebencian yang masih disimpan. Haji, yang mestinya menjadi jalan pelepasan diri dari dunia hewaniah menuju kedekatan ilahiah, justru menjadi parade keakuan yang diselubungi kemunafikan spiritual.
Maka Imam tidak sedang mengejek. Ia tidak sedang mencela orang-orang di sekelilingnya. Ia sedang mengajari kita semua tentang kejujuran batin. Tentang pentingnya mengenali wajah sejati diri kita sebelum berdiri di hadapan Ka’bah. Sebab Ka’bah bukan hanya batu hitam yang suci. Ia adalah cermin. Ia memantulkan siapa kita sebenarnya di hadapan Tuhan.
Betapa sering kita mendatangi rumah Tuhan, tapi tidak membawa hati. Kita bawa tubuh, kita bawa jadwal, kita bawa kamera dan oleh-oleh, tetapi tidak membawa rasa takut, harap, dan kerinduan. Kita menjadi jamaah haji yang sah secara syariat, tapi belum tentu hadir secara hakikat.
Dan di sinilah letak tragedi spiritual kita..
Agama perlahan menjadi formalitas. Ibadah menjadi prosesi. Syariat menjadi rutinitas, bukan transendensi. Dan karena itu, yang datang ke Ka'bah bukan ruh yang merindu, tetapi hawa nafsu yang menyamar. Maka wajarlah jika wajah anjing—simbol kerakusan—dan wajah babi—simbol syahwat tak terkendali—muncul di hadapan Imam yang bersih mata hatinya.
Sungguh, kisah ini bukan untuk menakut-nakuti. Ia adalah panggilan—panggilan lembut dari seorang Imam yang menginginkan kita kembali menjadi manusia. Bahwa tujuan ibadah, termasuk haji, bukanlah pencapaian administratif, melainkan transformasi eksistensial. Dari yang liar menjadi jinak. Dari yang rakus menjadi dermawan. Dari yang membenci menjadi pengasih.Imam Ali Zainul Abidin, dalam segala kehalusan jiwanya, sedang mengajari kita cara paling luhur untuk menjadi manusia: dengan mencintai Tuhan melalui kejujuran diri. Dan haji hanyalah salah satu caranya—jika dijalani dengan hati yang merunduk, bukan dada yang membusung.
Maka jangan heran jika ada yang bertalbiah dengan suara lantang, tapi Tuhan menjawabnya dengan diam. Karena Dia melihat bukan pakaian putih kita, tapi kegelapan atau cahaya yang menyertai niat kita.
Dan di antara mereka yang benar-benar naik haji, bisa jadi hanya sedikit yang kembali sebagai manusia. Sisanya, barangkali hanya tubuh-tubuh yang pernah berada di Makkah.
gambar: https://chatgpt.com/g/g-pmuQfob8d-image-generator/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar