Subscribe Us

ksk logo.jpg

Ali bin Abi Thalib sebagai Wazir Rasulullah (Terinspirasi dari Ceramah Ust. Abdillah Hamid Baabud pada Peringatan Hari Al Ghadir di Makassar)

Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc

Tulisan ini akan memberikan argumentasi bahwa Sayyidina Ali bin Abu Thalib dipilih Nabi Muhammad saw sebagai khalifah, pengganti dan penerus kepemimpinan ilahiyah Rasulullah saw dan para rasul yang lain, tidak sekadar termaktub dalam hadis tetapi juga secara gamblang ditegaskan oleh al Quran.  Sebagai contoh pertama berkaitan dengan kata wazir.

Secara bahasa, kata "wazīr" (وَزِير) berasal dari akar kata "wazara" (و-ز-ر) yang bermakna memikul beban berat di atas pundak. Dalam Lisān al-‘Arab karya Ibn Manẓūr, dijelaskan:

الْوَزِيرُ: الْمُعِينُ، الْمُتَحَمِّلُ أَعْبَاءَ الْمَلِكِ أَوِ السُّلْطَانِ.

"Al-wazīr adalah orang yang membantu, yang memikul beban kekuasaan raja atau penguasa."

Makna ini menemukan landasan konseptual dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam doa Nabi Musa ‘alaihis-salām:

وَاجْعَل لِّي وَزِيرًا مِّنْ أَهْلِي. هَارُونَ أَخِي. اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي. وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي.

Dan jadikanlah untukku seorang pembantu (wazir) dari keluargaku. (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia punggungku. Dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.”(QS. Ṭāhā [20]: 29–32).

Ayat ini bukan sekadar permintaan Musa akan bantuan, tetapi juga permohonan peneguhan struktural dalam pewahyuan dan kepemimpinan. Maka dari itu, konsep "wazir" dalam tradisi kenabian memuat dimensi spiritual dan administratif secara bersamaan.

Rasulullah Muhammad ﷺ mengaktualisasikan konsep ini melalui sabdanya yang terkenal dan mutawātir:

أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى، إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

Engkau (wahai Ali) dariku seperti kedudukan Harun terhadap Musa, kecuali tidak ada nabi sesudahku.”(HR. al-Bukhārī ; Muslim).

Hadis ini bukan sekadar analogi kekerabatan, tetapi penetapan formal atas kedudukan Sayyiduna Ali sebagai wazīr spiritual Rasulullah, dengan pengecualian kenabian. Penegasan ini diperkuat oleh riwayat lain yang diriwayatkan oleh al-Ḥākim dan Imam Aḥmad:

أَنْتَ وَزِيرِي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

Engkau adalah wazirku di dunia dan akhirat.”(HR. al-Ḥākim dalam al-Mustadrak dan Aḥmad bin Ḥanbal dalam Musnad-nya)

Kedudukan Ali sebagai wazir Rasulullah mencakup tiga dimensi penting:

1. Penopang fisik dan politik Rasulullah ﷺ dalam perjuangan dakwah sejak Makkah hingga Madinah, sebagaimana Harun menjadi mitra dakwah Musa.

2. Penerus otoritas keilmuan Nabi ﷺ, yang ditegaskan dalam sabdanya:

أَنَا مَدِينَةُ الْعِلْمِ وَعَلِيٌّ بَابُهَا

Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.”(HR. al-Tirmiżī)

3. Penjaga risalah setelah wafatnya Nabi ﷺ, yang memiliki legitimasi spiritual sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

Sesungguhnya wali (pemimpin) kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka ruku’.”(QS. al-Mā’idah [5]: 55).

Sebagian besar ahli tafsir, termasuk dari kalangan Ahlus Sunnah seperti Fakhruddin al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr, mengakui bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Ṭālib yang memberi zakat dalam keadaan ruku’.

Dalam struktur spiritual kenabian, sebagaimana Harun memiliki fungsi pelanjut syariat ketika Musa pergi bermunajat:

وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ

Musa berkata kepada saudaranya Harun, ‘Gantikanlah (jadi khalifah) aku di kalangan kaumku, dan perbaikilah, serta janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.’”(QS. al-A‘rāf [7]: 142).

Demikian pula posisi Ali bin Abi Ṭālib sebagai khalīfah ruhani, pelanjut risalah dalam makna yang bersih dari kekuasaan duniawi belaka. Maka, wazārah Ali tidak dapat disamakan dengan jabatan administratif dalam sistem sekuler, melainkan sebagai penjaga kontinuitas nubuwwah tanpa kenabian.

Dalam kerangka kontemporer, pemaknaan terhadap konsep wazīr Ali bin Abi Ṭālib membawa pesan bahwa kepemimpinan sejati dalam Islam bukan semata-mata dominasi kekuasaan, melainkan penyambung nilai-nilai Ilahi dan kelanjutan akhlak kenabian. Karena kepemimpinan diyatakan untuk Ali adalah kepemimpinan ilahiyah dalam meneruskan gerakan nubuwah maka kepemiminan itu tidak dipilih oleh manusia, tetapi ditetapkan oleh Allah swt. 

وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai imam (pemimpin) bagi manusia.’ (Ibrahim) berkata, ‘(Dan juga) dari keturunanku?’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku ini tidak berlaku bagi orang-orang zalim.’”(QS. Al-Baqarah [2]: 124).

Ali adalah cucu Nabi Ibrahim melalui Nabi Ismail dan figur pengemban amanah spiritual yang istimewa, sebagaimana Harun menjadi simbol kepercayaan ilahiah Musa dalam menjalankan risalah di tengah umat yang penuh ujian.

Kesimpulan

Hadis manzila yang menyebutkan  bahwa kedudukan Ali di sisi Muhammad saw seperti kedudukan Harun di sis Musa as, dibuktikan salah satunya oleh ayat al quran (Surat Thaha ayat 29-32)  bahwa Nabi Musa as meminta kepada Allah swt agar diberikan seorang wazir, yaitu Harun, yang merupakan keluarga nabi Musa, begitu juga Nabi Muhamamd memunyai wazir yang bernama Ali bin Abu Thalib yang merupakan keluarga Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadis.  Jadi, sangat menarik fakta tentang Imam Ali bin Abu Thalib, kedudukannya sebagai Imam pengganti Rasulullah saw tidak hanya dibuktikan oleh hadis yang valid, tetapi juga oleh ayat al Quran dan antara hadis dan ayat al quran saling menguatkan.  

Di saat matahari bersinar dengan terang benderang, jika ada orang yang mengingkari keberadaan matahari itu, maka ikuti nasihat Al Quran   (al furqan 63):   وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامً  jika ada orang-orang jahil berkata-kata mengingkari kebenaran yang terang benderang, qalu salamah (sampaikan selamat tinggal).   Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

gambar : https://www.en.imam-khomeini.ir//, https://www.rizqankareem.com/, https://www.tehrantimes.com/

Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 




Posting Komentar

0 Komentar