Oleh : Dudi Noer
Di tanah yang mewarisi jejak para nabi, badai kembali menyapa langit. Asap dan api bersahut dari Jalur Gaza menuju jantung Tel Aviv, menandai sebuah babak baru dalam sejarah perlawanan. Tapi hari ini, saya ingin mengajak Anda menengok lebih dalam — menyeberangi batas geografis dan waktu, menelusuri makna yang lebih dalam dari ledakan-ledakan itu. Sebab sesungguhnya, ada ruh Al-Ghadir yang berhembus dalam setiap rudal yang menghantam kiblat kekerasan dunia: Israel.
Ghadir Khumm: Janji yang Diingkari Dunia. Hari itu, 18 Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriyah, matahari menengadah di Ghadir Khumm. Rasulullah, dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’, menghentikan ribuan orang hanya untuk mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib dan berkata dengan lantang: "Man kuntu mawlahu fa haza Aliyyun mawlahu." Siapa yang menjadikanku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya.
Banyak yang kemudian menafsirkan itu hanya sebagai pujian, sebagian yang lain menolaknya sama sekali. Tapi bagi sebagian besar pencinta kebenaran, hari itu adalah hari pengangkatan. Sebuah deklarasi cinta yang juga mengandung amanat kekuasaan. Ghadir adalah janji. Tapi dunia, seperti biasa, lebih sering melupakan janji ketimbang menunaikannya.
Yang menarik, janji itu tak pernah padam dalam dada orang-orang tertindas. Ia menjadi ruh dalam lorong sunyi perjuangan, menjadi kekuatan bagi yang tak punya senjata, dan menjadi cahaya bagi yang dihantui gelap penjajahan. Al-Ghadir bukan sekadar momen sejarah. Ia adalah pusat gravitasi cinta dan keadilan yang tak bisa dimusnahkan dengan fitnah, peluru, atau propaganda.
Dan di zaman ini, ruh Ghadir seakan menyatu dengan api perlawanan dari Gaza hingga Lebanon, dari Yaman hingga Irak, dari Damaskus hingga Teheran, bahkan di hati anak-anak kecil yang bermain di puing-puing rumah yang dibom.
Badai Rudal Itu Bukan Sekadar Peluru. Hari-hari belakangan ini, dunia menyaksikan hal yang tak biasa. Israel, yang selama ini seperti tak tersentuh, untuk pertama kalinya dihujani ratusan bahkan ribuan rudal dari berbagai arah. Iron Dome kelelahan. Gedung-gedung runtuh. Warga sipil bersembunyi di bunker. Ketakutan yang dulu hanya dirasakan warga Gaza kini berpindah ke jantung Zionis.Orang-orang bertanya: apakah ini balasan? Apakah ini akhir dari dominasi Israel? Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah: apa makna di balik badai ini?
Bagi seorang pencinta Al-Ghadir, rudal-rudal itu bukan sekadar senjata. Ia adalah simbol keadilan yang menuntut ditegakkan. Ia adalah jerit dari generasi yang lelah dipermainkan diplomasi palsu dan janji kosong dunia internasional. Ia adalah lidah dari mereka yang tubuhnya dibungkam, rumahnya diratakan, dan sejarahnya ingin dihapuskan.
Bagi mereka yang masih hidup dengan mata batin, rudal itu adalah suara Ali — sang pintu ilmu dan pedang keadilan — yang kembali bergema, bukan untuk membalas dendam, tapi untuk mengingatkan: bahwa kezaliman, seberapapun panjang umur dan kuat temboknya, tetap akan ditumbangkan oleh tangan kebenaran.
Ghadir, Palestina, dan Jalan Takdir. Bukan kebetulan jika para pejuang yang kini menentang Israel bukan sekadar kelompok militer. Mereka adalah anak-anak dari ideologi. Mereka bukan sekadar organisasi perlawanan; mereka adalah madrasah ruhaniah yang diwarisi dari Karbala dan disinari oleh Ghadir. Hasan Nasrallah, Ismail Haniyah, Yahya Sinwar, dan para syuhada di Gaza — semuanya memiliki titik temu dalam satu hal: mereka berjalan dalam jalan yang pernah dibuka oleh Ali.
Ali adalah simbol keadilan dan kesetiaan kepada janji Tuhan. Ia adalah yang pertama shalat di belakang Rasul. Ia yang tidur di ranjang Nabi saat malam hijrah. Ia yang tak pernah meninggalkan Rasul, bahkan saat semua orang melarikan diri di Uhud dan Hunain.
Ali adalah lambang keberanian yang dibungkus kerendahan hati. Maka mereka yang menjadikan Ali sebagai mawla — bukan hanya dalam kalimat, tapi dalam laku hidup — akan tumbuh menjadi pasukan yang tak gentar menghadapi kekuatan manapun. Mereka bukan hanya para prajurit. Mereka adalah penjaga mimpi-mimpi yang dilukai oleh imperialisme.
Badai Rudal sebagai Sabda Takdir. Ketika rudal-rudal itu ditembakkan, sebagian dunia menjerit. Barat menyebutnya terorisme. Pers menganggapnya serangan provokatif. Tapi rakyat Gaza melihatnya sebagai napas yang kembali. Mereka tak sedang mencari kemenangan instan. Mereka hanya sedang memberi tahu dunia bahwa mereka masih ada — dan mereka tak menyerah.
Seperti sabda Imam Ali: "Kebenaran tidak diukur dengan banyaknya pengikut, tetapi dengan hujjahnya." Maka badai rudal itu bukan untuk memuaskan nafsu balas dendam, melainkan sebagai bentuk iqamah hujjah. Mereka ingin menegakkan bukti bahwa ada perlawanan, ada suara, ada ruh, yang tidak bisa dibungkam bahkan dengan genosida.
Dan menariknya, badai itu terjadi di tengah perayaan hari-hari spiritual: Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan telah dilewati. Syawal masih hangat. Zulhijjah menampakkan wajahnya. Dan di tengahnya, Al-Ghadir hadir sebagai pelita. Sebagai penanda bahwa takdir tidak tunduk pada kekuatan militer, tetapi pada kehendak Yang Maha Menentukan.
Dunia Harus Memilih: Bersama Ghadir atau Bersama Fir’aun Baru
Hari ini, semua bangsa sedang diuji. Tak bisa lagi seseorang berdiri di tengah-tengah. Mereka harus memilih: bersama ruh Ghadir, atau bersama kekuatan penindas. Bersama Ali, atau bersama Yazid baru. Bersama para pejuang yang melindungi anak-anak, atau bersama para penjajah yang membunuhi mereka.
Israel, dalam segala kekuatannya, adalah warisan Fir’aun modern. Ia memiliki teknologi, dukungan internasional, bahkan legitimasi media. Tapi seperti Fir’aun, ia pun akan ditelan oleh laut kebenaran yang datang tiba-tiba.
Ghadir adalah janji bahwa yang bersama kebenaran tidak akan kalah, meski untuk sementara mereka tampak lemah. Maka jika hari ini kita melihat roket-roket sederhana menghantam pangkalan militer canggih Israel, itu bukan hanya kemenangan teknis. Itu adalah bukti bahwa ruh tak bisa dikalahkan oleh materi. Bahwa keberanian yang dilandasi cinta tak bisa ditumbangkan dengan bom.
Refleksi untuk Kita yang Jauh dari Gaza. Kita mungkin tak memegang senjata. Kita tak hidup di terowongan. Kita tak diburu drone setiap malam. Tapi kita punya satu hal: hati. Dan hati adalah medan pertempuran yang paling luas.
Apa yang kita pilih dalam hati kita hari ini akan menentukan di sisi mana kita berdiri. Apakah kita bersama ruh Ghadir yang menegakkan keadilan, atau kita menjadi pengamat yang pasif — yang menikmati keamanan hasil dari ketidakpedulian?
Maka saat langit Israel diguncang rudal dari Iran, Gaza dan Lebanon jangan hanya menontonnya sebagai berita. Tundukkan kepala. Bertanyalah dalam diri: sudahkah aku menjadi bagian dari ruh Ghadir? Sudahkah aku memihak kepada kebenaran dengan seluruh daya yang aku punya — dalam doa, dalam pena, dalam solidaritas?
Penutup: Ali, Iran, Lebanon dan Palestina Akan Menang
Palestina, Iran dan lebanon bukan sekadar nama. Ia adalah simbol penderitaan yang bertahan. Tapi ia juga adalah taman harapan yang terus disiram darah syuhada. Dan Ghadir adalah benihnya.
Jika hari ini langit-langit Israel berguncang, itu adalah gema dari sabda Rasulullah di Ghadir Khumm. Bahwa kepemimpinan yang suci akan selalu punya jalan untuk kembali — tak selalu lewat politik atau kursi kekuasaan, tetapi lewat keberanian, kesetiaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Dan dunia harus tahu: mereka yang berjalan dalam jejak Ali akan terus lahir. Dalam setiap zaman. Dalam setiap bumi tertindas. Dalam setiap anak yang berkata, "Ayahku dibunuh oleh tentara, tapi aku akan terus melawan."
Dalam badai rudal itu, kita tidak hanya melihat perang. Kita melihat sabda. Kita melihat janji. Kita melihat Al-Ghadir — yang datang bukan untuk membalas, tapi untuk menegakkan keadilan di atas puing dunia yang retak.
gambar : https://web.telegram.org/k/#@PalestinaPost
Biodata Penulis:
2. Tempat & Tgl. Lahir : Sorowako, 01.02.1969
3. Riwayat Singkat Pendidikan :
* Pendidikam terakhir. Magister Managemen (S2) Unhas. 2007
4. Pengalaman Kerja :
* Manager CV. Pontada Transport. 2000
* Direktur Utama PT. Pontada Indonesia 1992 - Sekarang
* Staf Proyek Pengembangan Masyarakat Agrobisnis (PPMA). 1988. Maros
5. Pengalaman Organisasi :
* Bendahara Umum HMI 1992-1993
* Ketua Bidang Kekaryaan HMI MPO 1992-1993
* Ketua Bidang Kader 1993-1994 HMI MPO Cab. Makassar
* Ketua Bidang intelektual & Budaya 1994-1995 HMI MPO
* Ketua Umum HMI MPO Cabang Makassar 1996-1997
Pengalaman Politik
* Partai Umat Islam 1997
* Partai Demokrat 2004
* Partai Golongan Karya (Golkar). 2022
7. Pengalaman Ormas :
* Lembaga Adat To Taipa
* Lembaga Adat kemokolean Nuha
8. Karya : Penulis Buku
* Ziarah Cinta. Puisi
* Editor buku : Manusia Sempurna, Ibnu Arabi. Penulis Syamsunar Phd.
0 Komentar