Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.
Karbala—karbala—karbala
desis sunyi mengiris bumi
di malam kedua bulan Muharram
bumi tak lagi berputar
ia menunduk—ia menggigil—ia menahan napas
Langit biru patah tulang
matahari menggulung sayap
angin tak berani menyebut nama
Husain… Husain… Husain
nama itu terbakar di tenggorokan sejarah
bumi jadi sajadah darah
gurun jadi kitab luka
padang jadi pusara nubuwah
para nabi melemparkan tasbihnya
Ibrahim menangis—Nuh gemetar—Yahya bisu
dan Furat menahan airnya karena tahu
darah akan lebih jernih dari sungai
kenapa kau datang wahai kekasih langit?
kau tahu tak ada selamat
kau tahu Kufah penuh janji palsu
kau tahu Ka’bah tak bisa menampung syahadahmu
tapi kau tetap datang
kau bawa anak-anak
kau bawa perempuan
kau bawa ruh Rasulullah dalam pelukanmu
bukan untuk perang
bukan untuk kekuasaan
tapi untuk satu kalimat
satu sabda
satu dzikir:
“Aku keluar untuk memperbaiki umat kakekku”
tapi umat telah buta
umat telah tuli
umat telah dipasung oleh dinar dan kekuasaan
umat tidak kenal siapa engkau
wahai darah Muhammad
wahai cahaya Ali
wahai tangis Zahra
dan ketika kakimu menyentuh tanah Karbala
tanah pun menahan napas
daun tak berani gugur
malam tak berani turun
bumi tahu:
esok
tinta sejarah akan berubah jadi darah
Karbala—karbala—karbala
bukan nama
tapi luka
bukan tempat
tapi takdir
bukan padang
tapi lorong langit yang menanti
tangisan yang tak akan pernah kering
wahai tanah yang memeluk darah suci
wahai waktu yang tercekik di jam dua Muharram
saksikanlah
sejarah bukan lagi milik para pemenang
tapi milik
mereka yang memilih dibantai demi cinta
dan bumi pun
sampai kini
masih
menahan
napasnya.
Malam kedua Muharram menyimpan getaran suci yang tak bisa dijelaskan oleh sejarah sekadar sebagai kronologi. Ia adalah bagian dari skenario agung yang telah dinubuatkan jauh sebelum manusia mengetahui nama Karbala. Ketika Imam Husain dan kafilah ruhaniahnya tiba di tanah yang kelak menjadi lautan darah dan langit pilu, itu bukanlah kebetulan, bukan pula langkah politik pragmatis, tetapi bagian dari janji nubuwah yang telah diisyaratkan oleh para nabi terdahulu.
Nabi Ibrahim melihat pembantaian di tanah itu sesaat setelah menerima mandat Imamah. Tempat itu sebagai tempat kesyahidan seorang cucu Rasul terakhir. Nabi Nuh, saat melewati sungai Furat dalam bahtera agungnya, menangis tanpa tahu bahwa air itu kelak akan menyaksikan darah keluarga Muhammad tumpah. Nabi Yahya bantuan Jibril yang juga dibunuh karena menyuarakan kebenaran, seakan mewariskan ruh syahadahnya kepada Imam Husain.
Tetapi nubuwah bukan satu-satunya alasan. Secara sosiologis, tidak ada tempat lain yang membuka pintu bagi Husain kecuali Kufah. Orang-orang Kufah—setidaknya dalam surat dan janji mereka—menawarkan baiat, perlindungan, dan semangat untuk melanjutkan perjuangan kenabian. Maka ketika Imam meninggalkan Mekkah, ia bukan hanya sedang mencari suaka dari ancaman Yazid, tetapi sedang mengejar kemungkinan tipis bahwa umat ini masih bisa diperbaiki. Di Mekkah, tanah suci itu, darah tak boleh ditumpahkan. Imam tahu para pembunuhnya sudah memburunya, dan beliau tidak ingin menjadikan Ka’bah sebagai medan darah. Maka ia bergerak, bukan untuk memulai perang, tetapi untuk menghindari profanasi rumah Allah oleh tangan-tangan zalim. Karbala, tanah yang kering dan sunyi, justru menjadi tempat yang pantas untuk sebuah kesyahidan suci.
Bahkan ketika ia belum menerima kabar pasti dari Muslim bin Aqil, Imam tetap melanjutkan perjalanan, karena ia tahu: ancaman pembunuhan di Mekkah bukan sekadar rumor. Tapi lebih dari itu, Imam membawa serta anak-anak dan perempuan bukan karena ketergesaan, melainkan karena misi ini bukan misi pedang, tapi misi ruh. Ia ingin menunjukkan bahwa ia datang membawa damai, bukan dendam. “Aku tidak keluar untuk membuat kerusakan atau kezaliman, melainkan untuk memperbaiki umat kakekku Muhammad ﷺ,” demikian sabda Imam yang terkenal dan abadi.
Namun Karbala juga menunjukkan sisi kelam umat yang telah kehilangan jiwanya. Sebagian besar umat saat itu tidak lagi mengenal siapa Ahlul Bait, siapa pewaris sah agama ini. Sebagian membangkang karena kekuasaan telah memabukkan, sebagian lainnya lalai karena iman telah tergantikan oleh ketakutan. Lebih menyedihkan, sebagian besar bahkan tidak tahu siapa Husain bin Ali—padahal di dadanya mengalir darah Rasulullah, dan di langkahnya bersemayam cahaya kebenaran.
Maka Karbala adalah elegi tentang umat yang menolak cinta, tentang manusia yang membunuh nur Ilahi dalam diri manusia suci. Ketika Imam Husain menjejakkan kaki di Karbala pada 2 Muharram, sesungguhnya bumi pun diam menahan napas. Ia tahu, tanah itu akan menjadi saksi bagi tragedi terbesar yang pernah ada—bukan karena jumlah korban, tapi karena kemuliaan ruh yang dibantai. Sejak malam itu, Karbala bukan lagi nama geografis. Ia menjadi takdir. Takdir cinta yang terluka, takdir cahaya yang ditebas, takdir Tuhan yang sedang menulis sejarah dengan tinta darah seorang kekasih-Nya.
gambar : https://www.deviantart.com/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar