Subscribe Us

ksk logo.jpg

01 Muharram (Tauhid & Kesetiaan kepada Allah: Pelajaran Abadi dari Karbala)

Ustadz Mohammad Adlany,Ph.D.

Peristiwa Karbala bukan sekadar tragedi sejarah; ia adalah manifestasi puncak dari ajaran tauhid yang hidup dalam tindakan. Di padang tandus Karbala, Imam Husain bin Ali as dan para pengikutnya menunjukkan bahwa kesetiaan kepada Allah lebih utama daripada keselamatan diri, kekuasaan, atau kompromi dengan kebatilan. Melalui tragedi itu, umat manusia diwarisi sebuah pelajaran yang tak lekang oleh zaman: bahwa tauhid sejati menuntut pengorbanan, keberanian, dan keteguhan hati dalam membela kebenaran.

Tauhid bukan hanya konsep teologis; ia adalah prinsip hidup. Imam Husain as tidak bangkit demi kekuasaan atau sekadar membalas dendam, melainkan untuk menghidupkan kembali ajaran tauhid yang telah dikaburkan oleh kekuasaan tiran Dinasti Umayyah. Beliau menyatakan dalam wasiatnya:

إنما خرجت لطلب الإصلاح في أمة جدي. أريد أن آمر بالمعروف وأنهى عن المنكر.

“Sesungguhnya aku bangkit untuk melakukan perbaikan dalam umat kakekku. Aku ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.” (Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 329)

Ini adalah bentuk praktis tauhid: membela kehendak Allah di atas segala bentuk pengabdian kepada tirani atau dunia.

Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan ciri hamba-hamba-Nya yang mulia:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ...

Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya…

(QS. al-An‘am: 162–163)

Imam Husain as dan para pengikutnya adalah perwujudan nyata dari ayat ini. Mereka rela mengorbankan hidup, anak-anak, bahkan bayi seperti Ali Asghar demi kesetiaan kepada satu-satunya Tuhan yang layak disembah.

Dalam Ziarah ‘Asyura, disebutkan:

أشهد أنك قد أقمت الصلاة وآتيت الزكاة وأمرت بالمعروف ونهيت عن المنكر وأطعت الله حتى أتاك اليقين.

“Aku bersaksi bahwa engkau telah menegakkan salat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan taat kepada Allah hingga datang kepadamu keyakinan (kematian).”

Ini adalah deskripsi manusia yang menjadikan tauhid sebagai pusat kehidupannya, bukan hanya dalam ucapan, melainkan dalam seluruh tindakan hingga akhir hayat.

Kesetiaan kepada Allah tampak bukan hanya dalam pribadi Imam Husain as, tetapi juga dalam para sahabatnya. Misalnya, Hurr bin Yazid yang awalnya berada di pihak musuh, tapi setelah tersentuh oleh keteguhan Imam, ia berbalik arah, lalu berkata:

“Aku lebih memilih neraka bersama Husain daripada surga bersama Yazid.”

Atau Muslim bin ‘Aqil, yang tetap teguh walau sendirian di Kufah, berkata saat akan dieksekusi:

“Jika kalian ingin membunuhku, biarkan aku salat dua rakaat terlebih dahulu.” (Tarikh al-Tabari, jil. 5)

Ini adalah ekspresi kesetiaan kepada Allah dalam bentuk paling jernih: mendahulukan kehendak-Nya daripada kepentingan pribadi.

Tauhid yang sejati, bukan hanya pengakuan intelektual, tapi harus membentuk karakter dan laku hidup—dan inilah yang dipraktekkan Imam Husain as di Karbala.

Dari Karbala, kita belajar bahwa tauhid bukan sekadar kalimat syahadat, tetapi pilihan hidup yang membawa risiko, perjuangan, dan pengorbanan.

Umat Islam diajak untuk menolak tunduk kepada kekuasaan zalim, menjaga kemurnian ibadah dari riya dan syirik tersembunyi, mengutamakan perintah Allah daripada selera publik dan tekanan sosial.

Karbala adalah medan tempat tauhid hidup dan bernapas. Imam Husain as adalah pewaris tauhid Ibrahim dan Muhammad saw, yang mengajarkan bahwa kemuliaan manusia hanya terletak dalam kesetiaan total kepada Allah. Di dunia yang semakin kompromistis, pelajaran Karbala kembali menyeru: Jadilah manusia yang tidak menyembah apa pun kecuali Tuhan Yang Maha Esa, walau harus kehilangan segalanya.

gambar : http://www.hajij.com/id/ahlulbayt, https://kampoengsufi.wordpress.com/

Posting Komentar

0 Komentar