Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Di tengah gempuran pemahaman keagamaan yang kian mengeras dan menyempit, ada sebuah hadis Nabi Muhammad saw. yang kerap disalahpahami, bahkan dipelintir maknanya untuk menghapus budaya ziarah ke makam Rasulullah yang mulia. Hadis itu berbunyi:
لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا، وَصَلُوْا عَلَيَّ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
"Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai hari raya (yang dirayakan sesekali), dan bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada." (HR. Abu Dawud, No. 2042; Musnad Ahmad, No. 7354; al-Darimi dalam Muqaddimah)
Sayangnya, hadis ini sering dipakai oleh kalangan tertentu—khususnya yang berhaluan puritan—untuk melarang umat Islam mendatangi makam Nabi. Padahal, jika dicermati secara mendalam, larangan dalam hadis ini bukanlah larangan ziarah, melainkan larangan menjadikan ziarah sebagai perayaan tahunan seperti Idul Fitri atau Idul Adha, yang hanya terjadi dua atau tiga kali dalam setahun. Dengan kata lain, Nabi saw tidak ingin ziarah dilakukan secara terbatas dan seremonial, melainkan sebaliknya: ia harus dilakukan sesering mungkin dan dengan kekhusyukan.
Dalam bahasa Arab, kata 'id (عيد) mengandung makna sesuatu yang datang kembali secara berkala dan bersifat perayaan. Maka ungkapan "jangan jadikan kuburku sebagai 'id" adalah larangan untuk memperlakukan ziarah sebagai acara pesta, hura-hura, atau formalitas tahunan. Ini bukan larangan substansial terhadap aktivitas ziarah, tapi penegasan bahwa ziarah seharusnya tidak dangkal, tidak penuh riya, dan tidak dirayakan seperti hari raya duniawi.
Lebih jauh dari itu, hadis ini justru dapat dibaca sebagai ajakan untuk memperbanyak ziarah. Bukankah jika dilarang menjadikan ziarah hanya dua kali dalam setahun, itu artinya ziarah seharusnya dilakukan lebih sering? Seperti halnya shalawat yang terus-menerus, maka ziarah pun semestinya menjadi praktik ruhani yang ajeg, istiqamah, dan masif.
Ziarah bukan sekadar perjalanan jasmani menuju makam Nabi, melainkan perjalanan ruhani untuk menyambungkan diri kepada beliau. Sebagaimana shalawat menyambung lidah ruhani dan jasmani kita dengan Rasulullah, ziarah menyambung tubuh, jiwa, dan kesadaran kita kepada sosok mulia yang menjadi sumber cahaya peradaban Islam. Dalam ziarah, seseorang menundukkan ego, menapaki jejak sejarah suci, dan memperbarui bai'atnya kepada risalah yang dibawa sang Nabi.
Imam Syafi'i sendiri dikenal sebagai ulama besar yang menganjurkan ziarah ke makam Nabi. Dalam kitabnya "al-Umm", beliau menulis: "Aku menyukai bagi siapa pun yang mengunjungi makam Rasulullah saw. untuk memperbanyak doa dan shalawat atas Nabi." Bahkan para ulama empat mazhab tidak pernah melarang ziarah ke makam Nabi; justru mereka menyunahkan dan menjadikannya sebagai bagian dari etika spiritual.
Dari kalangan sahabat, terdapat riwayat bahwa Bilal bin Rabah, muazin kesayangan Nabi, setelah wafatnya Rasulullah, pergi meninggalkan Madinah karena kesedihannya. Namun dalam sebuah mimpi, Rasulullah memanggilnya: "Wahai Bilal, mengapa engkau tidak mengunjungiku?" Bilal pun menangis dan kembali ke Madinah, lalu menziarahi makam Rasulullah dan mengumandangkan adzan di sana, membuat penduduk Madinah menangis tersedu karena kerinduan mereka pada suara yang mengingatkan mereka pada sang Nabi.
Kisah ini menegaskan bahwa ziarah bukan sekadar aktivitas tubuh, tapi peristiwa batin yang mendalam. Ziarah adalah bahasa cinta, dan cinta tidak bisa dibatasi oleh jadwal tahunan. Nabi tidak melarang kita untuk datang ke makamnya, melainkan melarang kita menjadikannya seperti ritual duniawi yang penuh gemerlap, namun kosong makna.
Ziarah yang benar adalah ziarah yang tidak menunggu hari tertentu. Ia bisa terjadi kapan saja, karena cinta tidak menunggu momentum. Seperti shalawat yang diajarkan untuk selalu dibaca di setiap waktu, ziarah pun adalah bentuk shalawat jasmani—ia adalah gerak cinta menuju beliau yang telah mencintai umatnya bahkan sebelum mereka mengenalnya.
Dari khazanah filsafat Islam, pandangan Mulla Sadra (صدر المتألهین الشيرازي) sangat menarik untuk direnungkan. Dalam kerangka filsafat eksistensialnya, Mulla Sadra menekankan bahwa wujud manusia tidak statis, melainkan senantiasa dalam gerak menuju kesempurnaan (harakah jawhariyyah). Dalam konteks ini, ziarah kepada Nabi bukan hanya tindakan sejarah atau budaya, melainkan lompatan eksistensial—ia menyambungkan wujud manusia kepada pancaran wujud yang lebih tinggi, yakni Rasulullah sebagai manifestasi sempurna dari cahaya kenabian.
Mulla Sadra juga menekankan bahwa segala bentuk pendekatan kepada Allah melalui para wali-Nya, termasuk Rasulullah, adalah bentuk tawassul yang sah dan penting dalam menempuh jalan spiritual (suluk). Maka, ziarah ke makam Nabi adalah momen kontemplatif untuk menyadari posisi diri dalam kosmos spiritual Islam: bahwa kita adalah peziarah dalam dunia ini, dan Rasulullah adalah cahaya petunjuk yang menuntun kita kepada realitas mutlak.
Senada dengan itu, Sayyid Haydar Amuli, seorang sufi-filosof dan komentator besar dalam tradisi Syiah, menyatakan bahwa ziarah kepada para imam dan Nabi bukan hanya bentuk penghormatan sejarah, tapi pengakuan batin atas wilayah ruhani mereka. Dalam karya monumental beliau, "Jami' al-Asrar", Sayyid Haydar menekankan bahwa para Wali Allah tidak mati dalam makna eksistensial, melainkan terus hidup dalam tingkatan ruhani yang lebih tinggi. Maka ziarah adalah bentuk penyambungan ruh kepada sumber-sumber nur ilahi.
Demikian pula Syekh al-Mufid, tokoh besar dalam teologi dan fiqih Syiah, dalam kitabnya al-Mazār, menjabarkan bahwa ziarah kepada Rasulullah dan para Imam adalah ibadah yang bernilai tinggi. Ia menyebut bahwa ziarah mengandung makna taqarrub, memperdekat diri kepada Allah melalui cinta dan penghormatan kepada hamba-hamba-Nya yang paling dekat kepada-Nya. Menurut Syekh al-Mufid, meninggalkan ziarah secara sengaja tanpa udzur adalah bentuk kelalaian spiritual.
Dalam dunia yang penuh keterputusan dan kelupaan, ziarah adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan sumber rahmat. Ia bukan ritual kosong, tapi pertemuan batin. Dan bagi siapa pun yang ingin merasakan kehadiran Nabi dalam hidupnya, datangilah beliau—bukan hanya dalam doa, tapi juga dengan langkah kaki dan jiwa yang khusyuk.
Ziarah bukanlah bid'ah, tapi bukti cinta. Dan cinta sejati tak mengenal jarak, waktu, atau batasan perayaan tahunan. Maka jangan jadikan ziarah seperti hari raya. Jadikan ia seperti shalawat: terus-menerus, lembut, dan penuh cinta. Karena ziarah, sejatinya, adalah perpanjangan dari shalawat. Ia adalah kehadiran tubuh dalam kerinduan yang telah lama tinggal di hati.
gambar : https://www.madaninews.id/20115
0 Komentar