Subscribe Us

ksk logo.jpg

Transfigurasi Materi Menjadi Barzakh, Jalan Husaini dalam Pembelaan kepada Palestina


Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.

Dalam filsafat Islam, khususnya pada madrasah hikmah transenden yang digagas oleh Mulla Ṣadrā, dunia materi bukanlah kenyataan tertinggi, melainkan bayangan dari realitas wujūd yang lebih tinggi dan lebih halus. Materi, dalam tafsir Ṣadrā, adalah batas paling rendah dari keberadaan. Tetapi karena wujud itu bertingkat (tasykīk al-wujūd), maka materi pun dapat menjadi kendaraan menuju bentuk eksistensi yang lebih agung: barzakhiyyah, eksistensi pertengahan antara ruh dan jasad—antara kefanaan dan keabadian.

Dalam konteks ini, tindakan manusia yang lahir dari niat suci, ketulusan ruhani, dan keberpihakan kepada kebenaran, mampu menembus dinding ketubuhan dan mengendap sebagai bentuk ṣurah barzakhiyyah. Ia menjadi amal yang tidak hanya terhenti pada dunia lahiriah, tetapi juga menciptakan bentuk eksistensial yang abadi, hidup dalam cahaya barzakh, dan tercatat dalam neraca ilahiah sebagai wujud yang hakiki.

Membela Palestina, dalam kerangka inilah, bukan sekadar aksi politis, bukan pula sebentuk solidaritas kemanusiaan yang lahir dari empati psikologis. Ia adalah transfigurasi materi menjadi makna, tubuh menjadi cahaya, darah menjadi ruh. Ketika seseorang mengorbankan waktu, tenaga, pemikiran, dan bahkan dirinya demi membela kaum yang dizalimi, maka ia sedang menyucikan elemen-elemen material dari egonya dan mentransformasikannya menjadi bentuk barzakhiyyah yang bercahaya.

Inilah yang dipraktikkan secara paripurna oleh Sayyid al-Syuhadā, Imam Ḥusain bin ‘Ali ‘alayhimas-salām. Dalam sabda Rasulullah Ṣallā Allāhu ‘alayhi wa Ālihi:

"Lau kāna al-karam shakhṣan lakāna al-Ḥusain" — “Sekiranya kedermawanan itu menjelma sebagai sosok manusia, maka Husainlah orangnya.”

Sabda ini tidak sekadar pujian terhadap karakter moral. Ia adalah pernyataan ontologis: bahwa Ḥusain adalah bentuk terjelma dari tajarrud total—ia telah melepas dunia, bukan dengan lari darinya, tetapi dengan menyerahkan seluruh potensinya di jalan kebenaran, lalu mengangkatnya ke maqām ilahiah.

Imam Ḥusain tidak hanya mengorbankan jasad dan jiwa tetapi juga keluarganya, anaknya, bahkan bayi dalam pelukannya. Ia tidak hanya menyerahkan darahnya, tetapi juga keturunan dan kemuliaannya di hadapan dunia. Semua itu bukan bentuk kehancuran, melainkan lompatan eksistensial. Ia menjadikan tubuhnya sebagai jembatan antara dunia dan langit. Ia adalah manusia yang mengubah daging menjadi barzakh, darah menjadi cahaya, dan tangisan menjadi zikir.

Di Karbalā, Imam Ḥusain mewujudkan realitas filsafat transenden. Ia berdiri melampaui nalar historis, karena apa yang ia lakukan bukan ditujukan untuk kemenangan duniawi, tetapi demi menegakkan agama Muhammad yang murni—agama yang berakar pada kesucian, keadilan, dan tauhid. Agama yang hari ini diinjak-injak oleh mereka yang mengaku beriman, namun bersekongkol dengan penguasa zalim untuk membungkam perlawanan Palestina.

Maka, pembelaan terhadap Palestina hari ini bukanlah nostalgia romantik atau kewajiban diplomatik. Ia adalah partisipasi dalam keberlangsungan jalur tajarrud Husaini. Di sana, tubuh-tubuh anak-anak Gaza yang hancur menjadi saksi bahwa spirit Husaini belum mati. Di sana, para pemuda yang mengangkat batu melawan rudal menjadi manifestasi dari keberanian eksistensial. Dan kita, yang hidup dengan pena, mimbar, dan doa, ditantang untuk meniru jejak wujud mereka.


Kita tidak diminta untuk mati di Karbalā, tetapi kita dituntut untuk menjadikan dunia ini Karbalā. Dunia, dalam kerangka ini, bukan tujuan, melainkan medium untuk mentransformasikan keberadaan kita. Menjadi manusia berarti menjadi barzakh; menjadi penghubung antara yang kasat dan yang gaib, antara tindakan dan makna.

Sebagaimana Imam Ḥusain, yang mewariskan darahnya sebagai energi eksistensial bagi kebangkitan ruhani umat, demikian pula para pembela Palestina sejati telah menjadikan tubuh mereka bukan sekadar korban, tetapi bentuk barzakhiyyah yang menghidupkan nurani dan ruhani dunia. Mereka adalah argumentasi hidup bagi realitas Mulla Ṣadrā: bahwa tubuh yang didekonstruksi dalam tajarrud akan dibangun ulang dalam cahaya.

Kita hidup dalam zaman yang membingungkan, ketika suara kebenaran dihitung dengan algoritma, dan kebaikan diukur dengan jumlah likes. Tapi filsafat Ḥusain tidak bekerja dalam logika duniawi. Ia bekerja dalam logika wujūd, logika cahaya, logika tajarrud. Maka, jangan heran jika pembela Palestina tak dikenal oleh dunia, sebab yang mencatat mereka bukanlah kamera, melainkan lauh al-wujūd.

Tugas kita bukan menuliskan sejarah mereka, tapi mentajallikan cahaya mereka dalam amal kita. Setiap tulisan, seruan, zikir, dan kesediaan menanggung derita bersama mereka adalah upaya untuk mengangkat materi menjadi makna, menjadikan hidup ini barzakh antara bumi dan Tuhan.

Barang siapa ingin tahu makna hidup, lihatlah Ḥusain. Barang siapa ingin tahu bagaimana hidup dalam kematian, lihatlah Gaza. Di sana, tubuh-tubuh rubuh, tapi cahaya menyala. Di sana, dunia hancur, tapi eksistensi bangkit. Karena di sanalah, barzakh-barzakh terindah sedang dibangun—dari darah, dari air mata, dari doa-doa yang tak pernah putus.

Dan kita, jika masih memiliki wujud yang hidup, maka jadikanlah pembelaan kita sebagai amal tajarrud, agar ia tidak lenyap bersama waktu, tetapi menetap bersama cahaya. Sebab yang kekal bukanlah apa yang dipublikasikan, tetapi yang dikerjakan dalam rahasia antara manusia dan Tuhan. Seperti Husain, yang tetap hidup bukan karena sejarah, tapi karena wujūdnya telah menjadi cahaya yang tak pernah padam.

Sebagaimana yang tertulis di buku buku hadist Sunni dan Syiah Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya (peristiwa) terbunuhnya al-Ḥusain terdapat bara yang menyala di dalam qalbu orang-orang beriman, yang tidak akan pernah padam selamanya."

gambar : https://parstoday.ir/id/news/, https://www-aljazeera-com.translate.goog/news


Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 


Posting Komentar

0 Komentar