Subscribe Us

ksk logo.jpg

Sejarah Pecahnya India dan Pakistan: Antara Imperialisme, Nasionalisme, dan Agama (Tulisan I dari 4 Tulisan)

Oleh : Dudi Noer


Mahatma Gandhi: Perlawanan Tanpa Kekerasan 

Gandhi memimpin gerakan kemerdekaan India dengan filosofi ahimsa (tanpa kekerasan) dan satyagraha (kekuatan kebenaran).  Beberapa kutipan terkenalnya antara lain: 

“Saya tidak menginginkan kemerdekaan India jika itu berarti kehancuran Inggris atau lenyapnya orang Inggris.”  

“India yang terbangun dan merdeka memiliki pesan damai dan niat baik untuk dunia yang menderita.”  

“Kita tidak boleh menganggap bahwa kekuasaan Inggris itu tak tergantikan; mengatakan demikian hampir sama dengan menyangkal keilahian.”  

Tapi yang tidak kalah penting bagi kedua Negara ada tokoh yang justru sebagai idiolog bagi berderinya Pakistan sebagai sebuah entitas, yakin. 

Peran Sir Muhammad Iqbal dari Lahore sangatlah penting dan fundamental sebagai embrio intelektual dan ideologis berdirinya Negara Pakistan. Ia dikenal bukan hanya sebagai seorang penyair dan filsuf, tetapi juga sebagai “Bapak Spiritual Pakistan” (Spiritual Father of Pakistan). Berikut adalah penjelasan panjang mengenai kontribusi dan peran sentralnya: 

Iqbal: Filsuf Muslim Modern dan Intelektual Visioner 

Sir Muhammad Iqbal (1877–1938) adalah seorang penyair, filsuf, dan politikus Muslim dari India Britania, yang mengembangkan filosofi kebangkitan Islam dan solidaritas Muslim. Iqbal menulis dalam bahasa Urdu dan Persia, dan dikenal luas lewat karya-karyanya seperti Bang-e-Dra, Asrar-i-Khudi, dan Reconstruction of Religious Thought in Islam. 

Dalam karya-karyanya, Iqbal mendorong umat Islam untuk: 

* Menyadari jati dirinya (konsep Khudi atau “Diri”),

* Melepaskan diri dari kolonialisme Barat,
* Membangun peradaban Islam modern yang dinamis dan mandiri. 

Pidato Iqbal Lahore 1930: Awal Gagasan Negara Muslim Terpisah 

Pidato yang disampaikan Iqbal dalam sesi tahunan Liga Muslim di Lahore, Desember 1930, merupakan momen kunci yang dianggap sebagai permulaan ide pembentukan Pakistan. Dalam pidato ini, Iqbal menyatakan: 

I would like to see the Punjab, North-West Frontier Province, Sind and Baluchistan amalgamated into a single state. Self-government within the British Empire or without the British Empire, the formation of a consolidated North-West Indian Muslim state appears to me to be the final destiny of the Muslims, at least of North-West India.”

(Pidato Presiden Liga Muslim, 1930) 

Maknanya: 

Iqbal bukan hanya menyerukan otonomi bagi umat Islam, tetapi mengusulkan terbentuknya negara Muslim tersendiri di wilayah barat laut India, sebagai solusi permanen untuk keberlangsungan peradaban dan identitas Islam. 


Gagasan Iqbal Tentang Negara Islam Modern 

Iqbal tidak membayangkan Pakistan sebagai negara teokratis, tetapi sebagai: 

Sebuah negara modern yang berakar pada etika dan spiritualitas Islam. Tempat di mana umat Islam bisa mengembangkan peradaban, ekonomi, dan sistem politik sendiri. Laboratorium sosial bagi eksperimen filsafat Islam tentang keadilan, solidaritas, dan martabat manusia. 

Ia menulis: “Islam is not merely a matter of private belief. It is a social and political system too.” 

Hubungan Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah 

Iqbal adalah penggerak utama yang mendekati dan membujuk Muhammad Ali Jinnah untuk kembali ke politik aktif setelah sempat mengundurkan diri. Dalam korespondensinya kepada Jinnah (1936–1937), Iqbal menekankan pentingnya:

Kepemimpinan Muslim sejati, Persatuan umat Islam yang tercerai-berai, Kemandirian politik umat Islam India. 

Surat Iqbal kepada Jinnah berbunyi: 

“Only a Muslim Indian with purity, honesty, and devotion to Islam and Muslims like you can lead the Muslims.” 

Warisan Iqbal dalam Lahirnya Pakistan 

Setelah kematiannya pada 1938, gagasan-gagasannya semakin mengkristal dan menginspirasi gerakan Pakistan Resolution 1940 di Lahore, yang secara resmi menuntut pembentukan negara Muslim terpisah—Pakistan. Gagasan Iqbal menjadi fondasi ideologis dari: 

1. Identitas Pakistan sebagai negara Muslim.
2. Sistem politik berbasis keadilan dan solidaritas Islam.
3. Pandangan geopolitik Pakistan sebagai penjaga kepentingan umat Islam Asia Selatan. 

Sir Muhammad Iqbal adalah penyemaian benih ideologis Pakistan: 

* Ia bukan pendiri dalam arti politik, tapi arsitek spiritual dan intelektual.
* Ia menanamkan visi bahwa umat Islam India tidak akan selamat tanpa identitas politik yang independen.
* Ia membuka jalan bagi para pemimpin seperti Jinnah untuk mewujudkan gagasan negara Muslim modern yang kemudian menjadi Pakistan (1947). 

Sejak abad ke-18, wilayah India berada di bawah kekuasaan British East India Company, yang kemudian digantikan oleh pemerintahan langsung dari Kerajaan Inggris setelah Pemberontakan Sipoy 1857. Sejak saat itu, India dikenal sebagai “the jewel in the crown” dari kekaisaran Inggris karena kekayaan alam dan jumlah penduduknya yang besar. 

Selama lebih dari satu abad, berbagai kelompok etnis, agama, dan bahasa hidup berdampingan di bawah penjajahan Inggris. Namun, tekanan ekonomi, eksploitasi, dan kesenjangan sosial akibat kolonialisme memunculkan gelombang perlawanan yang menuntut kemerdekaan. 

Di awal abad ke-20, semangat nasionalisme mulai tumbuh. Indian National Congress (INC) didirikan pada 1885 dan menjadi wadah utama bagi gerakan kemerdekaan India. Tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan Subhas Chandra Bose menjadi simbol perjuangan rakyat India melawan Inggris. 

Gandhi mempopulerkan gerakan non-kekerasan (non-violence/satyagraha) dan menyatukan berbagai komunitas melalui prinsip solidaritas nasional. Namun, pendekatan ini tidak selalu diterima secara bulat, terutama oleh komunitas Muslim yang mulai merasa termarginalisasi di tengah dominasi Hindu dalam INC. 

Pada tahun 1906, All India Muslim League dibentuk sebagai respons terhadap dominasi Hindu dalam politik nasionalis. Tokohnya yang paling terkenal, Muhammad Ali Jinnah, awalnya percaya pada persatuan Hindu-Muslim dalam kerangka negara India bersatu. Namun seiring waktu, Liga Muslim merasa bahwa kepentingan umat Islam tidak akan terjamin dalam negara India yang mayoritas Hindu. 

Ketegangan ini memuncak pada "Two-Nation Theory" yang dikemukakan oleh Jinnah dan para pemimpin Liga Muslim. Menurut teori ini, umat Hindu dan Muslim merupakan dua bangsa berbeda dengan agama, budaya, dan sistem hukum yang berbeda, sehingga tidak bisa hidup berdampingan dalam satu negara. 

Selama Perang Dunia II, Inggris merekrut tentara dari India tanpa berkonsultasi dengan pemimpin India. Hal ini menimbulkan kekecewaan besar. Pada saat bersamaan, Inggris yang kelelahan akibat perang mulai membuka pintu negosiasi menuju kemerdekaan India. 

Rencana Cripps dan Gerakan Keluar dari India (Quit India Movement) yang dipimpin Gandhi pada 1942 menandai titik balik perjuangan India. Namun ketegangan antara Hindu dan Muslim semakin memburuk. Kerusuhan sektarian meletus di Bengal dan Punjab, memakan banyak korban. 

Pada tahun 1947, di bawah tekanan politik dan konflik yang kian meruncing, Inggris memutuskan untuk segera mengakhiri kekuasaannya. Lord Louis Mountbatten, Wakil Raja Inggris terakhir di India, mengajukan rencana Partisi India. 

India dibagi menjadi dua negara yakni ; 

1. India: Negara sekuler dengan dominasi Hindu.
2. Pakistan: Negara untuk umat Islam, terdiri dari dua wilayah terpisah secara geografis (Pakistan Barat dan Pakistan Timur/Bangladesh sekarang). 

Pada 14 Agustus 1947, Pakistan diproklamasikan, diikuti India pada 15 Agustus 1947. 

Partisi India-Pakistan menjadi salah satu migrasi massal paling brutal dalam sejarah manusia. Sekitar 10–15 juta orang pindah tempat tinggal berdasarkan identitas agama: Muslim ke Pakistan, Hindu dan Sikh ke India. 

Lebih dari 1 juta orang tewas dalam kekerasan sektarian di Punjab, Bengal, dan Delhi. Ribuan perempuan diperkosa, diculik, dan dipaksa menikah lintas agama. Kereta api penuh mayat menjadi pemandangan umum. Keluarga tercerai-berai, desa-desa dibakar, dan luka sejarah ini membekas hingga kini. 

Salah satu akibat terbesar dari partisi adalah persoalan Kashmir. Wilayah ini mayoritas Muslim, tapi pemimpinnya, Maharaja Hari Singh, seorang Hindu, memutuskan bergabung dengan India. Pakistan menolak keputusan ini, dan terjadilah Perang India-Pakistan pertama (1947–1948). 

Konflik ini menghasilkan Garis Kontrol (LoC) yang membagi Kashmir menjadi dua bagian: satu dikuasai India, satu dikuasai Pakistan. Namun sengketa ini belum pernah diselesaikan secara permanen, dan menjadi sumber utama perang serta ketegangan militer hingga saat ini. 

Setelah partisi, India memilih menjadi negara sekuler, walaupun mayoritas penduduknya Hindu. Konstitusinya menjamin kebebasan beragama dan pemerintahan demokratis. 

Pakistan, di sisi lain, mendefinisikan dirinya sebagai negara Islam, dan mengalami serangkaian krisis politik, militer, serta ideologis sepanjang sejarahnya. Ketegangan internal, kudeta militer, dan ekstremisme agama tumbuh seiring waktu. Pakistan Timur pun akhirnya memisahkan diri menjadi Bangladesh pada tahun 1971 setelah perang saudara yang brutal. 

* Kashmir tetap disengketakan.
* Hubungan India–Pakistan selalu rapuh.
* Nasionalisme ekstrem di kedua negara kerap dimanfaatkan politisi untuk meraih dukungan.
* Minoritas agama sering menjadi korban politik identitas. 

Ketegangan nuklir, perlombaan senjata, dan konflik di perbatasan masih menjadi ancaman nyata. Di sisi lain, masyarakat sipil di kedua negara kerap menunjukkan solidaritas, terutama dalam seni, budaya, dan kemanusiaan. 

Pecahnya India dan Pakistan bukan sekadar pembentukan dua negara, melainkan pengalaman kolektif yang traumatik. Partisi 1947 adalah tragedi yang membawa penderitaan bagi jutaan manusia. Dan meskipun kemerdekaan telah tercapai, pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang identitas, kebangsaan, dan hidup berdampingan masih belum terjawab. 

Sejarah ini mengajarkan bahwa politik identitas, jika tidak diiringi dengan kebijaksanaan dan empati, bisa berubah menjadi tragedi. India dan Pakistan mungkin lahir dari peta yang terbelah, tapi masa depan mereka tetap terhubung—oleh sejarah, budaya, dan harapan akan perdamaian. 

gambar : https://economictimes.indiatimes.com/news, https://kuliahalislam.com

Posting Komentar

0 Komentar