Subscribe Us

ksk logo.jpg

Perspektif Mulla Sadra terhadap Keburukan: Antara Ketiadaan dan Kesempurnaan

Ustadz Mohammad Adlany, Ph.D

Masalah keburukan dan kejahatan (al-sharr) merupakan salah satu tantangan besar dalam teologi dan filsafat. Pertanyaan seperti, “Jika Tuhan itu Mahabaik, mengapa ada keburukan?” menjadi topik klasik yang terus dibahas hingga kini. Mulla Sadra, seorang filsuf besar Islam dari abad ke-17, menawarkan jawaban filosofis dan metafisik yang khas, berdasarkan kerangka hikmah muta‘aliyah (filsafat transenden)-nya.

Keburukan sebagai Ketiadaan, Bukan Entitas

Bagi Mulla Sadra, keburukan bukanlah realitas independen atau ciptaan Tuhan yang berdiri sendiri. Ia menegaskan bahwa:

"Segala yang wujud secara hakiki adalah kebaikan. Adapun keburukan tidak memiliki wujud yang mandiri, melainkan hanya merupakan ketiadaan suatu kesempurnaan atau kekurangan pada wujud."[^1]

Dengan demikian, keburukan adalah ketiadaan (ʿadam), bukan sesuatu yang berdiri sebagai entitas positif. Misalnya, kebutaan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi ketiadaan penglihatan pada makhluk yang seharusnya bisa melihat.

Tingkat Wujud dan Relativitas Keburukan

Dalam kerangka filsafat wujud yang ia kembangkan, Mulla Sadra memandang wujud memiliki tingkatan (tashkik al-wujud). Artinya, segala sesuatu ada pada gradasi wujud dan kesempurnaan yang berbeda-beda. Dalam pandangan ini: 

Keburukan muncul dalam tingkat wujud yang lebih rendah, karena di sana kesempurnaan semakin berkurang.”[^2]

Jadi, keburukan bersifat relatif: sesuatu bisa tampak buruk dari sudut pandang satu makhluk, tetapi jika dilihat dari sistem keseluruhan alam semesta, ia bisa jadi bagian dari kesempurnaan total. Misalnya, kematian terlihat buruk bagi manusia, tetapi dalam tatanan alam, ia adalah bagian dari kelangsungan hidup dan regenerasi.

Keburukan sebagai Sarana Kesempurnaan

Mulla Sadra bahkan menyatakan bahwa sebagian bentuk keburukan dibutuhkan sebagai jalan menuju kesempurnaan. Ia berkata:

"Banyak kebaikan tertinggi tidak akan terwujud tanpa perantara keburukan. Maka, keberadaan sebagian keburukan adalah syarat bagi munculnya kebaikan yang lebih tinggi."[^3]

Sebagai contoh, rasa sakit saat belajar atau berjuang mungkin menyakitkan, tapi menjadi jembatan bagi kemajuan dan penyempurnaan diri.

Tuhan dan Keburukan

Lalu, bagaimana posisi Tuhan dalam keberadaan keburukan? Mulla Sadra menjawab dengan prinsip bahwa:

"Tuhan tidak menciptakan keburukan secara langsung, tetapi menciptakan sistem wujud yang di dalamnya keburukan muncul sebagai konsekuensi dari kesempurnaan dan pilihan."[^4]

Dengan kata lain, Tuhan menciptakan sistem yang sempurna secara total, namun dalam sebagian elemennya, terdapat unsur kekurangan sebagai bagian dari struktur itu sendiri. Ini sekaligus menolak pandangan dualisme (adanya dua sumber: Tuhan dan setan).

Kesimpulan

Mulla Sadra memandang keburukan sebagai ketiadaan, bukan entitas nyata. Ia bukan hasil langsung dari ciptaan Tuhan, tetapi muncul sebagai bagian dari sistem wujud yang bertingkat dan saling terkait. Dalam sistem ini, keburukan menjadi sarana yang memungkinkan kebaikan dan kesempurnaan tercapai. Dengan pendekatan metafisis ini, Mulla Sadra menghadirkan sintesis antara iman, akal, dan spiritualitas dalam memahami realitas keburukan.


Catatan Kaki

[^1]: Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, jilid 7, Qom: Mu'assasah al-Nashr al-Islami, 1981, hlm. 88.
[^2]: Ibid., jilid 6, hlm. 219.
[^3]: Ibid., jilid 7, hlm. 90.
[^4]: Ibid., jilid 6, hlm. 223.


gambar : https://perengbiru.blogspot.com/2011


Posting Komentar

0 Komentar