Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Bayangkan sebuah pertandingan tinju yang diselenggarakan tanpa kehadiran wasit. Tidak ada peluit yang meniup, tidak ada pemisah saat satu pihak terdesak, tidak ada aturan yang dipantau, tidak ada teguran atas pelanggaran. Pertarungan semacam itu tidak hanya brutal, tapi mengandung ketidakadilan yang dilegalkan. Yang kuat akan terus menghajar, dan yang lemah akan babak belur tanpa pernah punya kesempatan bangkit.
Inilah wajah umat tanpa Imam. Banyak peristiwa sekarang ini yang terjadi di masyarakat bagai metafora tinjau tanpa wasit.
Sebuah masyarakat, apalagi umat beragama, tidak bisa hidup hanya dengan teks-teks tertulis. Mereka memerlukan kehadiran figur rujukan. Dalam ruang keagamaan, teks memang penting, tetapi tanpa penafsir suci yang hidup, teks akan dibaca oleh siapa saja dengan maksud dan kepentingan masing-masing. Persis seperti petinju yang saling pukul dengan dalih “menang” tanpa ada yang mengingatkan mereka soal etika pertandingan.
Tanpa Imam, masyarakat menjadi arena bebas bagi siapa saja yang paling keras teriakannya, paling canggih retorikanya, atau paling besar kuasanya. Di sinilah letak relevansi pernyataan Rasulullah Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa ālihi wasallam yang berbunyi:
«مَنْ ماتَ وَ لَمْ يَعْرِفْ إِمامَ زَمانِهِ، ماتَ ميتَةً جاهِلِيَّة»
Barang siapa mati tanpa mengenal Imam zamannya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah. (Muslim, Ahmad, dan lainnya)
Ini bukan sekadar pernyataan historis. Ini adalah keterangan ontologis: bahwa hidup tanpa Imam bukan hanya salah arah, tapi merupakan kematian dalam kebodohan. Sebab manusia tak hanya butuh nabi di masa lalu, tapi juga Imam yang meneruskan cahaya ilahi di masa kini.
Sosiolog Durkheim menulis bahwa masyarakat memerlukan institusi sakral sebagai penopang stabilitas moral. Jika agama hanya dipahami sebagai urusan pribadi tanpa struktur rujukan kolektif, maka yang muncul adalah “chaos terorganisir”—sebuah kontradiksi yang justru mencerminkan dunia kita hari ini.
"Barang siapa mati tanpa mengenal Imam zamannya,
maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.
(Hadis Muslim, Ahmad, dan lainnya)"
Rasulullah tidak meninggalkan umatnya tanpa wasiat. Di tengah sahabat, di Ghadir Khum, beliau bersabda:
«مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَهذا عَلِيٌّ مَوْلاهُ، اللّهُمَّ والِ مَنْ والاهُ، وَعادِ مَنْ عاداهُ»
Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. (Tirmidzi, Thabrani)
Kata mawla di sini bukan sekadar sahabat atau teman. Ia menunjuk pada otoritas spiritual. Tapi umat lebih memilih sistem politik buatan manusia ketimbang sistem petunjuk ilahi yang telah diwariskan.
Tanpa Imam, masyarakat seperti domba tanpa gembala. Nabi pernah bersabda:
«إِنَّما مَثَلُ الإمامِ مَثَلُ الكَعبَةِ، يُؤتَى وَلا يَأتي»
Sesungguhnya perumpamaan Imam seperti Ka’bah: didatangi, bukan mendatangi. (al-Kafi, Juz 1)
Imam bukan sekadar pemimpin administratif, melainkan poros eksistensial. Tanpa Imam, Islam menjadi teks mati, dan umat menjadi kambing yang berjalan tanpa arah. Predator sosial, politik, dan ekonomi akan mengintai mereka dan menggiring mereka menuju kehancuran.
Ali bin Abi Thalib ‘alayhis-salām mengatakan:
«لا تَخْلُو الأَرْضُ مِنْ حُجَّةٍ للهِ عَلَى خَلْقِهِ، إمّا ظَاهِراً مَعْلُوماً، أو خَائِفاً مَغْمُوراً»
Bumi tidak pernah kosong dari hujjah Allah atas makhluk-Nya; entah ia tampak dan dikenal, atau tersembunyi dan tidak dikenal. (Nahjul Balaghah, khutbah 147)
Di sinilah kita melihat bahwa Imamah bukan sekadar peristiwa sejarah, tapi sistem keberlanjutan petunjuk. Sebagaimana kenabian adalah awal dari cahaya, maka Imamah adalah penjaganya. Dan penjaga tak bisa absen, sebagaimana wasit tak bisa tidak hadir dalam sebuah pertandingan.
Sayangnya, banyak umat memisahkan antara agama dan kepemimpinan. Mereka berkata: “Cukup Al-Qur’an dan hadis.” Tapi siapa yang memegang otoritas tafsir? Jika semua orang bisa menafsirkan semaunya, maka tidak ada yang bisa mencegah kekacauan makna.
Rasulullah sudah memperingatkan:
«إنّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتابَ اللهِ وَعِتْرَتي أَهْلَ بَيْتي، ما إِن تَمَسَّكْتُم بِهِما لَن تَضِلُّوا بَعْدِي»
Sesungguhnya aku tinggalkan dua hal berat pada kalian: Kitabullah dan Ahlul Baitku. Selama kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama aku tiada. (Muslim, Tirmidzi)
Tetapi umat hanya menggenggam satu. Maka tak heran mereka sering tersesat dalam sejarah yang berdarah, ideologi yang membingungkan, dan kekuasaan yang penuh tipu daya. Umat telah menjadikan pertandingan hidup ini sebagai tinju tanpa wasit. Dan mereka memujinya sebagai dinamika kebebasan.
Padahal kebebasan tanpa arah bukanlah kemerdekaan, melainkan kekacauan. Umat tanpa Imam bukan hanya kehilangan panduan, tapi kehilangan tujuan. Di sinilah letak pentingnya menjadikan Imamah sebagai bagian dari rukun iman, bukan sekadar pengetahuan sejarah. Ia harus diimani seperti kita mengimani malaikat atau hari akhir. Karena fungsinya menyambung antara langit dan bumi.
Allah tidak akan membiarkan umat-Nya tanpa penjaga. Karena rahmat-Nya terlalu luas untuk membiarkan manusia bertarung dalam arena sosial, politik, dan spiritual tanpa pengawasan. Maka kehadiran Imam adalah bukti kasih sayang-Nya. Bukan sebagai pesaing Nabi, tapi penerus warisannya yang paling setia.
Imam bukan mitos. Ia adalah fakta spiritual yang hidup. Dalam setiap zaman ada hujjah. Jika ia tidak dikenal, maka bukan berarti ia tidak ada. Justru kita yang buta. Seperti wasit yang berdiri di pinggir ring, namun semua penonton terlalu sibuk menikmati kekacauan.
Maka sudah waktunya kita mengembalikan Imamah ke jantung iman. Sebagai penjaga wahyu, penafsir kebenaran, dan pengarah umat. Sebab tanpa Imam, umat bukan hanya kehilangan gembala—mereka kehilangan cahaya.
Dan setiap umat yang berjalan dalam gelap, hanya akan saling menghantam. Seperti tinju tanpa wasit.
gambar : https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/
0 Komentar