Abstrak:
Keyakinan akan kemunculan Imam Mahdi Ajalallāhu Farajahu Syarif (AFS) merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam, baik dalam tradisi Sunni maupun Syiah. Namun, lebih dari sekadar doktrin eskatologis, kemunculan Imam Mahdi menuntut kesiapan aktif dari umat Islam secara spiritual, intelektual, dan sosial. Artikel ini mengeksplorasi pentingnya membangun kesadaran kolektif dan strategi praktis dalam menyambut era keadilan Mahdawi.
Pendahuluan
Dalam berbagai sumber klasik Islam, disebutkan bahwa di akhir zaman akan muncul seorang pemimpin suci dari keturunan Nabi Muhammad saw. yang akan mengisi dunia dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi oleh kezaliman. Sosok ini dikenal sebagai Imam Mahdi AFS. Meski waktu kemunculannya tetap menjadi misteri Ilahi, namun kewajiban untuk mempersiapkan diri menyambutnya adalah nyata dan mendesak.
Fenomena ini bukan semata bagian dari narasi apokaliptik, melainkan sebuah proyek peradaban yang memerlukan keterlibatan umat secara menyeluruh. Kemunculan Imam Mahdi adalah simbol tegaknya tatanan ilahiah dan keadilan universal, dan karena itu harus disambut dengan kesiapan individu dan kolektif.
Dalam sejarah umat manusia, selalu ada titik balik besar yang menandai berakhirnya satu fase peradaban dan dimulainya fase yang baru. Dalam perspektif keimanan, khususnya dalam tradisi Islam, kemunculan Imam Mahdi Ajalallāhu Farajah Syarif (AFS) adalah salah satu momentum agung yang diyakini akan menjadi penentu arah peradaban akhir zaman. Namun pertanyaannya, sudahkah kita sebagai umat mempersiapkan diri?
Kemunculan Imam Mahdi bukan sekadar sebuah episode eskatologis yang penuh keajaiban dan pertolongan Ilahi. Ia adalah panggilan akan kesiapan spiritual, sosial, dan intelektual. Banyak hadis menegaskan bahwa beliau akan datang saat dunia dipenuhi kezaliman dan penindasan—dan akan menegakkannya kembali dengan keadilan dan cahaya. Maka, kesiapan menyambut Imam Mahdi bukan hanya menunggu secara pasif, tapi aktif membangun dunia yang layak untuk kepemimpinan ilahiah.
Dimensi Persiapan dalam Menyambut Imam Mahdi
1. Pembersihan Jiwa dan Moralitas serta relevansi terhadap Persiapan Kemunculan Imam Mahdi AFS.
Imam Ali a.s. pernah berkata bahwa "Orang yang tidak memperbaiki dirinya, tidak akan mampu memperbaiki masyarakatnya." Maka, kesiapan paling awal adalah tazkiyatun nafs—pembersihan jiwa dari sifat rakus, dengki, munafik, dan egois. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa sahabat Imam Mahdi adalah orang-orang pilihan yang bersih dari kezaliman hati.
Pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) dan pembangunan moralitas adalah fondasi utama dalam persiapan menyambut kemunculan Imam Mahdi Ajalallāhu Farajah Syarif (AFS). Ini bukan sekadar aspek spiritual personal, melainkan syarat esensial agar individu dan masyarakat layak menjadi bagian dari pasukan kebenaran yang akan menegakkan keadilan global. Dalam kerangka ini, kita harus meninjau relevansi pembersihan jiwa secara teologis, moral, dan strategis, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, hadis Nabi Muhammad saw., dan ajaran para Imam suci Ahlulbait a.s.
masjid Jamkaran,Iran
Dasar Teologis dalam Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” QS. Asy-Syams: 9–10)
Ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan (kemenangan) hakiki hanya diberikan kepada orang yang membersihkan jiwanya dari dosa, syahwat, dan egoisme. Dalam konteks kehadiran Imam Mahdi, kemenangan global yang dijanjikan Allah hanya akan tercapai melalui tangan hamba-hamba-Nya yang suci jiwanya—yakni mereka yang telah menapaki jalan tazkiyah.
Hadis Nabi Muhammad saw. tentang Pasukan Mahdi
Rasulullah saw. bersabda:
طُوبَى لِمَنْ أَدْرَكَ القَائِمَ مِن أَهْلِ بَيْتِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ بِهِ فِي زَمَانِ غَيْبَتِهِ، قَبْلَ قِيَامِهِ، وَهُوَ مُتَوَلٍّ لَهُ وَلِأَوْلِيَائِهِ وَمُعَادٍ لِأَعْدَائِهِ. ذَاكَ مِن رُفَقَاءِ رَسُولِ اللهِ ص وَكَرَامَتِي عَلَيْهِمْ
“Beruntunglah orang yang menjumpai al-Qā’im dari Ahlulbaitku dan ia beriman kepadanya di masa ghaibnya, mencintainya dan mencintai para penolongnya, serta memusuhi musuh-musuhnya. Ia termasuk sahabat Rasulullah dan memperoleh kemuliaanku.” (Bihar al-Anwar, jilid 52, hal. 129)
Hadis ini mengaitkan kebahagiaan (keberuntungan spiritual) dengan keimanan sejati, loyalitas, dan keberpihakan moral yang bersih kepada Imam Mahdi dan misi sucinya. Ini semua hanya mungkin dicapai jika seseorang telah mendidik jiwanya untuk memiliki kesetiaan ilahiah, bukan hawa nafsu dan dunia.
Sabda Imam Ja’far ash-Shadiq a.s. tentang
Sahabat Mahdi
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُغِيبُ عَنْهُمْ إِمَامُهُمْ... فَطُوبَى لِلثَّابِتِينَ عَلَى أَمْرِنَا فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ، إِنَّ أَدْنَى مَا يَكُونُ لَهُم مَنَزِلَةً لَوْ رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ لَأَحَبَّهُمْ
“Akan datang masa di mana Imam mereka (Mahdi) ghaib dari mereka... Maka berbahagialah mereka yang teguh dalam ajaran kami di masa itu. Sesungguhnya derajat terendah dari mereka, jika Rasulullah melihatnya, niscaya beliau akan mencintainya.” (Kamaluddin, Syaikh Shaduq, bab 33)
Kokohnya iman dalam masa penuh fitnah hanya mungkin dicapai oleh orang yang telah memurnikan niat, membersihkan hatinya dari penyakit cinta dunia, dan menanamkan nilai moral suci.
Relevansi Strategis: Moralitas sebagai Fondasi Masyarakat Mahdawi
Imam Mahdi tidak akan membangun peradaban kebenaran di atas fondasi masyarakat yang rusak moralnya. Dalam sistem Ilahiah, keadilan hanya bisa ditegakkan oleh individu yang telah mengalahkan kezaliman dalam dirinya sendiri. Sebagaimana dikatakan Imam Ali a.s.:
> مَن نَصَبَ نَفْسَهُ لِلنَّاسِ إِمَاماً، فَلْيَبْدَأْ بِتَعْلِيمِ نَفْسِهِ قَبْلَ تَعْلِيمِ غَيْرِهِ
“Barang siapa menjadikan dirinya sebagai pemimpin bagi manusia, maka hendaklah ia memulai dengan mendidik dirinya sebelum mendidik orang lain.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 73)
Imam Ali a.s., Sang Amirul Mukminin, tidak sedang berbicara tentang kepemimpinan administratif atau kekuasaan zahir semata. Beliau sedang menyingkap hakikat spiritual tentang siapa yang layak menjadi cermin bagi umat manusia—yakni mereka yang telah menaklukkan bayang-bayang diri dan memurnikan cermin jiwanya dari karat hawa nafsu.
Dalam perspektif irfan, peradaban Ilahi bukanlah struktur luar semata, melainkan bangunan ruhani yang kokoh. Ia berdiri di atas jiwa-jiwa yang telah terbit fajar kebenaran dalam dirinya, dan yang telah menjadikan tazkiyah al-nafs (penyucian diri) sebagai fondasi gerakan sosial.
Imam Mahdi AFS, Sang Penegak Keadilan, bukanlah pembangun menara di atas pasir. Ia tidak akan menegakkan haqq di atas umat yang jiwanya masih dihuni oleh zulm, oleh kezaliman terhadap diri dan sesama. Ia menantikan umat yang telah “membersihkan rumah hati”, hingga cahaya kebenaran bisa turun dan bersemayam di dalamnya.
Berikut tiga tokoh utama dalam Irfan mengemukakan pandangan mereka :
* Allāmah Thabāṭabā’ī menafsirkan bahwa ayat-ayat keadilan dalam Al-Qur’an seperti “إن الله يأمر بالعدل” adalah seruan Ilahi kepada jiwa-jiwa yang telah muwāzanah (menyeimbangkan) dirinya sendiri. Dalam Tafsīr al-Mīzān, beliau menyebut bahwa tidak ada keadilan sosial tanpa ada keadilan eksistensial dalam diri manusia itu sendiri. “Keadilan lahir dari keseimbangan batin. Orang yang batinnya kacau tidak akan mampu menjadi wadah bagi penegakan kebenaran Ilahi.” (al-Mīzān, tafsir QS al-Nahl:90).
* Mulla Ṣadrā dalam al-Asfār al-Arba‘ah.
“Manusia kamil” yang telah melewati empat
perjalanan ruhani, dan baru setelah kembali dari
perjalanan keempat—yakni kembali kepada
masyarakat dengan nur Ilahi—ia layak
menuntun orang lain. “Seorang wali tidak
menuntun orang dengan kekuatannya, tetapi
dengan tajalli Allah yang telah bersemayam di
dalam dirinya.”
* Imam Khomeini, dalam Adabus Shalat, menegaskan bahwa revolusi spiritual adalah syarat utama bagi revolusi sosial. Bahwa wilayah Imam Mahdi hanya akan tegak oleh umat yang telah memulai revolusi dalam dirinya.
“Kalau engkau tidak bisa menegakkan kebenaran di hatimu, bagaimana engkau mengaku menantikan kebenaran turun dari langit?”
Puitika Hikmah:
Jangan kau tunggu cahaya turun
Sementara jiwamu masih memelihara gelap
Jangan kau pinta hadirnya sang penebus
Sementara engkau masih menjamu para penjajah yakni batinmu sendiri: amarah, dengki, kesombongan, cinta dunia.
Sebelum kau bangun rumah keadilan di bumi
Bangunlah dulu mihrab jiwamu. Jadikan dadamu sebagai tempat turunnya wahyu etika. Jadikan akhlakmu sebagai ayat yang dibaca manusia.
Sebab, Imam Mahdi tidak mencari pengikut yang ramai. Ia mencari Ahlul Basirah, orang-orang yang hatinya jernih, dan ruhnya lapang seperti langit.
Jika engkau ingin menjadi bagian dari pasukan Imam Zaman. Maka jadilah pemimpin atas dirimu sendiri. Sebelum kau berharap dipimpin oleh Sang Pemimpin para pemimpin.
Dengan demikian, tazkiyatun nafs bukanlah tuntutan personal semata, melainkan syarat lahirnya tatanan sosial yang siap dipimpin oleh Imam Mahdi. Tanpa masyarakat yang bersih jiwanya, keadilan Imam tidak akan berakar.
Konteks Kekinian: Dunia dalam Kezaliman, Jiwa dalam Kealpaan
Di zaman ini kita hidup yang penuh dengan fitnah, propaganda, dan eksploitasi jiwa. Maka, mesti ada upaya untuk mempersiapkan diri menyambut Imam Mahdi menuntut revolusi batin yang serius:
* Menahan diri dari korupsi dan ketidakadilan
* Menolak pengkhianatan dan kemunafikan
* Menjunjung amanah, kejujuran, dan kasih sayang
Semua ini adalah tanda kesiapan moral yang tidak bisa dibentuk secara instan saat Imam datang. Ia harus dibangun mulai sekarang.
Pembersihan jiwa dan pembangunan moralitas adalah dasar mutlak untuk menyambut kemunculan Imam Mahdi AFS. Tanpa jiwa yang suci dan akhlak yang agung, umat tidak akan mampu mengenali atau berdiri di sisi Imam saat ia muncul. Maka, siapa yang ingin menjadi bagian dari revolusi ilahiah di akhir zaman, hendaknya memulainya dari dalam dirinya sendiri—dengan jihad terbesar: jihadun nafs.
Sebagaimana firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
2. Dalam Cahaya Irfan dan Langit Penantian
Umat yang hanya beragama secara formal namun kosong secara makna tidak akan mampu menjadi penyokong kebenaran. Diperlukan kesadaran kritis, penguasaan ilmu, dan semangat mencari kebenaran dalam seluruh aspek kehidupan. Imam Mahdi tidak datang untuk menyesuaikan diri dengan kebodohan umat, tetapi justru untuk menggugah dan membimbing mereka menuju ketinggian pemahaman.
Agama yang terkurung dalam huruf, dalam ritual tanpa ruh, takkan pernah cukup untuk menyambut Imam yang membawa kebenaran dari langit.
Ia—al-Mahdi Ajalallāhu Farajahu Syarif—bukan datang untuk membenarkan kebodohan umat, melainkan mengguncang tidur panjang mereka.
Ia bukan cermin dari kebiasaan umat yang mati dalam gerak, tapi cahaya yang menyorot kegelapan agar ruh mereka bangkit dan mengenali dirinya.
Sebagaimana kata Sayyid Haidar Amuli:
"Imam adalah manifestasi kesempurnaan wujud, jalan menuju Tuhan yang paling sempurna."
Maka, untuk berjalan menuju Imam, manusia harus terlebih dahulu berjalan ke dalam dirinya.
Kesadaran intelektual dalam irfan bukan sekadar pengetahuan—tetapi adalah penyaksian (mushahadah), adalah cahaya dalam dada (nūr fī ṣudūr). Itulah cahaya yang disingkap oleh Allah dalam firman-Nya:
“Apakah orang yang hatinya dilapangkan oleh Allah untuk Islam, lalu ia berada dalam cahaya dari Tuhannya…?” (QS. Az-Zumar: 22)
Pencerahan sejati lahir dari luka pengembaraan makna. Umat yang hanya menjalani Islam sebagai adat, bukan sebagai jalan pencarian, akan menjadi beban bukan penolong.
Imam Mahdi tidak membutuhkan massa yang mengikut karena fanatisme; beliau mencari arifīn—jiwa-jiwa yang telah mencicip makna, merasakan luka cinta Ilahi, dan bersedia menjadi tanah di bawah tapak kebenaran.
Imam Ja‘far Shadiq pernah berkata:
“Barang siapa mengenal kami, maka mereka akan mengenal dirinya. Dan barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhannya.”
“Barang siapa mengenal kami, maka mereka akan mengenal dirinya. Dan barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhannya.”
(Imam Ja‘far aṣ-Ṣādiq a.s.)
Kalimat ini bukan sekadar petunjuk, melainkan pintu ke taman rahasia makrifat. Ia tidak dimaksudkan untuk dibaca di permukaan, melainkan diselami dalam diam, dengan hati yang tercerahkan dan jiwa yang telah dipangkas dari kesombongan.
"Barang siapa mengenal kami…". Kami di sini bukan sekadar sosok sejarah, bukan sekadar nama-nama mulia yang tertulis dalam silsilah suci. Kami adalah bābullah, pintu menuju Allah. Kami adalah cermin jernih yang memantulkan wajah sejati manusia. Mengenal para Imam bukan sekadar mengenal kisah hidup mereka, tapi menyelami hakikat keberadaan mereka yang tersambung erat pada Nurullah—cahaya Tuhan yang tidak pernah padam.
“…maka mereka akan mengenal dirinya.”
Karena ruh manusia yang sejati adalah ruh yang merindukan kebenaran, keadilan, dan kasih. Ruh yang diambil dari tanah tetapi ingin kembali ke langit. Dalam cahaya para Imam, manusia melihat refleksi tertingginya—fitrah yang tidak berkhianat, potensi ilahiah yang tak terkatakan. Maka siapa yang mengenal para pewaris Nur Muhammad, sesungguhnya tengah memulangkan jiwanya pada asalnya.
“Dan barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhannya.”
Ketika manusia mengenal dirinya, ia menyadari bahwa ia bukan sekadar jasad atau pikiran. Ia adalah rahasia Tuhan yang berjalan, ia adalah ayat-Nya yang tersembunyi. Maka dengan mengenal diri—melalui cermin para Imam—ia akan tahu bahwa semua jalan yang benar bermuara pada satu: Allah.
Sebagaimana dalam hadits qudsi: "Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, dan Aku mencintai untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku."
Imam Ja‘far mengajarkan bahwa tidak ada pengenalan Tuhan tanpa mengenal diri, dan tidak ada pengenalan diri tanpa mengenal para pewaris kebenaran. Mereka adalah mercusuar di tengah gelombang zaman. Dan kita—jika ingin sampai ke pantai makrifat—harus menambatkan hati pada cahaya mereka.
Maka, renungkanlah: Apakah kita sudah benar-benar mengenal para Imam? Atau kita hanya mencintai nama-nama mereka tanpa menelusuri jalan mereka?. Apakah kita sudah mengenal diri kita—dengan segala kekosongan, potensi, dan ketakutan terdalam?. Karena hanya dengan mengenal diri, kita akan tahu: Segala kegelisahan adalah isyarat dari Tuhan. Dan segala cinta sejati, selalu menuntun kita kembali kepada-Nya.
Pencerahan intelektual dalam jalan Mahdawi bukan hanya soal hafalan kitab, tetapi tentang pemurnian pandangan, kejernihan qalbu, dan keberanian berpikir melampaui kebekuan zaman.
Kesadaran sosial yang diinginkan bukan aktivisme yang kosong dari ruh, tapi kepekaan spiritual yang membangkitkan cinta, tanggung jawab, dan keberanian menegakkan keadilan dalam nama Allah.
Imam Mahdi tidak datang untuk umat yang pasif, tetapi untuk mereka yang hatinya bergetar oleh kebenaran, matanya haus akan keadilan, dan pikirannya menyala oleh cinta kepada Al-Haqq.
Dia akan memilih mereka yang bersedia belajar sepanjang hayat, bukan mereka yang merasa cukup.
Dia akan merangkul mereka yang berani menangis karena tak memahami, bukan yang angkuh karena gelar dan pujian dunia.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Khomeini:
“Tugas kita bukan hanya menanti dengan diam, tetapi membangun masyarakat yang layak bagi kemunculan Imam Mahdi. Masyarakat yang sadar, berani, dan tercerahkan.”
Allamah Thabathabai dalam "Tafsir al-Mizan" menegaskan: “Hanya jiwa yang telah tercerahkan oleh ilmu dan penghambaan sejati yang mampu mengenali Wali al-Amr dan memahami tujuannya.”
“Hanya jiwa yang telah tercerahkan oleh ilmu dan penghambaan sejati yang mampu mengenali Wali al-Amr dan memahami tujuannya.”
Ada mata yang melihat dunia, dan ada mata batin yang melihat cahaya di balik dunia. Wali al-Amr—Sang Pemegang Amanah Zaman—tidak bisa dikenal oleh mata yang tertutup debu ambisi, tidak bisa didekati oleh hati yang penuh hiruk-pikuk dunia. Ia hanya dikenali oleh jiwa-jiwa yang telah dimandikan dalam lautan ilmu dan ditundukkan oleh penghambaan sejati.
Ilmu, dalam makna tertingginya, bukan sekadar hafalan atau gelar, melainkan cahaya yang menembus hijab-hijab kejahilan dan membangkitkan kesadaran tentang hakikat segala sesuatu. Imam Shādiq pernah berkata: "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya itu tidak diberikan kecuali kepada hati yang tunduk."
Penghambaan, dalam makna paling dalam,bukan sekadar sujud dan rukuk, tetapi ketundukan total kepada al-Haqq, penyerahan diri tanpa syarat kepada kehendak-Nya, dan keikhlasan yang membersihkan segala noda ego dan keakuan.
Maka, jiwa yang tercerahkan adalah jiwa yang telah melewati malam-malam gelap pencarian,
jiwa yang remuk oleh kerinduan,
jiwa yang menyaksikan dirinya kecil di hadapan keagungan, namun mulia karena disinari oleh cahaya Tuhannya.
Barulah jiwa seperti itu mampu mengenali Wali al-Amr—bukan sekadar sebagai figur sejarah, tetapi sebagai jantung zaman, poros keadilan, dan tangan rahmat Allah di bumi.
Ia mengenal Imam Mahdi bukan hanya dengan nama dan nasab, tetapi dengan getar jiwanya, dengan kemiripan arah hidupnya, dan dengan cahaya yang menuntunnya ke tujuan yang sama: membangun dunia yang adil dan penuh cinta dalam bayang cahaya Ilahi.
Mulla Shadra berkata: "Makrifat tertinggi adalah makrifat terhadap Imam yang hadir, karena ia adalah manifestasi paling sempurna dari Tuhan dalam sejarah." Dan Allāmah Thabāṭabā’ī dalam Nihāyat al-Hikmah mengisyaratkan bahwa "pengetahuan sejati selalu berakhir pada kesadaran akan Wali Zaman."
Karena itu, ketahuilah: Menjadi pecinta Imam bukan hanya dengan lafaz, tapi dengan perjalanan ruhani. Menjadi penanti bukan hanya dengan lisan, tapi dengan menjadi cermin kecil dari cita-cita Imam itu sendiri.
Dan Mulla Sadra dalam "Asfar Arba‘ah" menyatakan:
“Kenyataan tertinggi tidak dapat diraih kecuali oleh ruh yang telah melalui perjalanan wujud secara vertikal—dari syahwat ke hikmah, dari hikmah ke ma‘rifah, dari ma‘rifah ke mahabbah.”
Dan kita—bila ingin menjadi bagian dari barisannya—harus menyalakan api pencarian itu dalam dada.
Kita harus membakar kabut kebodohan dengan ilmu, menyeka wajah jiwa dengan dzikir, dan menajamkan nurani agar sang Imam tak hanya datang dari langit, tapi juga muncul dalam ruang batin kita yang telah siap menjadi bait suci penyambutnya.
3. Jejak Mahdawi di Setiap Derita Manusia
Komitmen Keadilan dan Pembelaan Kaum Tertindas.
Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa Imam Mahdi akan “memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi kezaliman.” Artinya, siapa pun yang hari ini membela keadilan, melawan tirani, menolak penjajahan, dan memperjuangkan hak-hak kaum tertindas, sejatinya sedang menapaki jalan Mahdawi.
Dalam salah satu sabda Nabi Muhammad saw., dikisahkan bahwa Imam Mahdi akan:
"Memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kezaliman dan kebengisan." (Hadis Muttafaq)
Keadilan bukan sekadar wacana; ia adalah nyala api yang harus menghanguskan kebekuan hati dan kemunafikan sosial. Siapa pun yang hari ini menangis atas penderitaan rakyat tertindas, siapa pun yang bersuara melawan kezaliman, sesungguhnya ia tengah menapaki jejak Mahdawi—meski mungkin belum mengenal nama beliau.
Di bumi yang retak karena perang, di wajah anak-anak yang dibakar oleh ketidakadilan, di jerit ibu-ibu yang kehilangan tanah, di situlah ruh Mahdawi berhembus. Setiap tetes darah yang tumpah karena ketamakan adalah pengantar bagi keadilan yang akan ditegakkan oleh tangan suci Imam yang dinanti.
Imam Ali a.s. berkata:
"Keadilan adalah tiang tegaknya kehidupan manusia, penopang bagi langit dan bumi." (Nahjul Balaghah)
Maka, untuk menyambut Imam Mahdi, manusia harus terlebih dahulu mencintai keadilan, bukan sekadar mengaguminya. Ia harus belajar membela yang lemah, bukan memuja kekuasaan.
Ia harus melawan penindasan, meskipun yang tertindas itu tak bersuara.
Mulla Sadra menyatakan:
"Keadilan bukan hanya tatanan sosial, tetapi pantulan dari kesempurnaan Ilahi. Jiwa yang adil adalah jiwa yang telah menemukan keseimbangan antara nalar dan cinta, antara batin dan lahir."
Dalam pandangan para arif, keadilan bukan sekadar penegakan hukum, melainkan penyingkapan kebenaran dalam segala dimensi wujud. Sebagaimana Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizan menulis:
"Imam adalah manifestasi kebenaran Ilahi dalam sejarah. Maka, setiap gerakan menuju kebenaran adalah cermin dari gerakan Imam."
Imam Shadiq a.s. berkata:
"Barang siapa yang membela seorang tertindas, Allah akan menegakkannya pada hari kiamat di bawah panji Mahdi."
Dan Imam Khomeini menegaskan:
"Jika kamu ingin bersama Mahdi, maka berdirilah hari ini di sisi orang-orang yang diinjak oleh kezaliman. Jika kamu diam, kamu telah keluar dari barisan penantian."
Penantian bukanlah menunggu dalam diam, tapi bergerak bersama mereka yang lemah.
Karena setiap luka yang kita tolong sembuhkan, setiap hak yang kita perjuangkan, adalah anak tangga menuju dunia yang akan Imam Mahdi bangun.
Dunia di mana tidak ada lagi penjajahan, tidak ada lagi anak yatim karena bom, tidak ada lagi bumi yang terbelah karena kerakusan. Penantian yang sejati adalah berpihak. Penantian sejati adalah perjuangan. Penantian sejati adalah keadilan yang dibela bahkan ketika dunia membenci.
Karena Imam Mahdi tidak turun dari langit membawa keadilan seperti sihir. Ia menanamkannya dalam hati para penanti. Dan ketika hati-hati itu siap, maka dunia akan menjadi tanah subur bagi keadilan yang dijanjikan langit.
"Sesungguhnya bumi diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS. Al-Anbiya: 105)
Dan mereka yang saleh, adalah mereka yang memihak pada yang dilemahkan.
4. Pembangunan Peradaban dan Tata Sosial yang Adil.
Dalam pemikiran Syiah, kehadiran Imam Mahdi bukan sekadar spiritual, tetapi juga politik dan sosial. Maka umat Islam dituntut membangun sistem ekonomi yang adil, pendidikan yang membebaskan, serta tata kelola yang berpihak pada kemanusiaan. Inilah yang disebut sebagai “Masyarakat Intidzar”—masyarakat yang hidup dalam kesiagaan aktif dan konstruktif.
Dalam salah satu sabda Nabi Muhammad saw., dikisahkan bahwa Imam Mahdi akan:
"Memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kezaliman dan kebengisan." (Hadis Muttafaq)
Keadilan bukan sekadar wacana; ia adalah nyala api yang harus menghanguskan kebekuan hati dan kemunafikan sosial. Siapa pun yang hari ini menangis atas penderitaan rakyat tertindas, siapa pun yang bersuara melawan kezaliman, sesungguhnya ia tengah menapaki jejak Mahdawi—meski mungkin belum mengenal nama beliau.
Di bumi yang retak karena perang, di wajah anak-anak yang dibakar oleh ketidakadilan, di jerit ibu-ibu yang kehilangan tanah, di situlah ruh Mahdawi berhembus. Setiap tetes darah yang tumpah karena ketamakan adalah pengantar bagi keadilan yang akan ditegakkan oleh tangan suci Imam yang dinanti.
Imam Ali a.s. berkata:
"Keadilan adalah tiang tegaknya kehidupan manusia, penopang bagi langit dan bumi." (Nahjul Balaghah)
Maka, untuk menyambut Imam Mahdi, manusia harus terlebih dahulu mencintai keadilan, bukan sekadar mengaguminya. Ia harus belajar membela yang lemah, bukan memuja kekuasaan. Ia harus melawan penindasan, meskipun yang tertindas itu tak bersuara.
Mulla Sadra menyatakan:
"Keadilan bukan hanya tatanan sosial, tetapi pantulan dari kesempurnaan Ilahi. Jiwa yang adil adalah jiwa yang telah menemukan keseimbangan antara nalar dan cinta, antara batin dan lahir."
Dalam pandangan para arif, keadilan bukan sekadar penegakan hukum, melainkan penyingkapan kebenaran dalam segala dimensi wujud. Sebagaimana Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizan menulis:
"Imam adalah manifestasi kebenaran Ilahi dalam sejarah. Maka, setiap gerakan menuju kebenaran adalah cermin dari gerakan Imam."
Imam Shadiq a.s. berkata:
"Barang siapa yang membela seorang tertindas, Allah akan menegakkannya pada hari kiamat di bawah panji Mahdi."
Dan Imam Khomeini menegaskan:
"Jika kamu ingin bersama Mahdi, maka berdirilah hari ini di sisi orang-orang yang diinjak oleh kezaliman. Jika kamu diam, kamu telah keluar dari barisan penantian."
Penantian bukanlah menunggu dalam diam, tapi bergerak bersama mereka yang lemah.
Karena setiap luka yang kita tolong sembuhkan, setiap hak yang kita perjuangkan, adalah anak tangga menuju dunia yang akan Imam Mahdi bangun. Dunia di mana tidak ada lagi penjajahan, tidak ada lagi anak yatim karena bom, tidak ada lagi bumi yang terbelah karena kerakusan.
Penantian yang sejati adalah berpihak.
Penantian sejati adalah perjuangan. Penantian sejati adalah keadilan yang dibela bahkan ketika dunia membenci.
Karena Imam Mahdi tidak turun dari langit membawa keadilan seperti sihir. Ia menanamkannya dalam hati para penanti. Dan ketika hati-hati itu siap, maka dunia akan menjadi tanah subur bagi keadilan yang dijanjikan langit.
"Sesungguhnya bumi diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS. Al-Anbiya: 105)
Dan mereka yang saleh, adalah mereka yang memihak pada yang dilemahkan.
Menuju Masyarakat Intidzar: Kesiagaan Spiritual dan Revolusi Sosial
Dalam pemikiran Syiah, kehadiran Imam Mahdi a.s. bukan sekadar kejadian gaib yang menimpa dunia secara tiba-tiba, melainkan kelanjutan dari perjalanan sejarah yang penuh perjuangan.
Ia adalah puncak dari sebuah proses panjang: penyucian jiwa, penguatan akal, dan pendirian sistem yang adil. Maka, tugas umat bukan hanya menunggu, tetapi membangun.
Masyarakat penanti sejati bukanlah mereka yang sekadar berdoa dalam kegelapan, tetapi mereka yang menyalakan lilin—dalam bentuk sistem ekonomi yang adil, pendidikan yang membebaskan, dan pemerintahan yang berpihak pada manusia sebagai citra Ilahi.
Inilah konsep Masyarakat Intidzar: masyarakat yang tidak larut dalam nostalgia atau pasrah dalam doa, tapi berani mencipta dunia yang layak ditinggali Sang Imam.
Imam Ali a.s. berkata:
"Ketahuilah bahwa kebaikan bukan hanya dalam ibadah, tetapi dalam menegakkan kebenaran dan menolak kebatilan."
Imam Mahdi datang bukan untuk membentuk kerajaan magis di atas reruntuhan umat yang malas, tapi untuk menyempurnakan ikhtiar mereka yang telah menabur benih-benih keadilan dalam masyarakat.
Mulla Sadra menjelaskan dalam Asfar al-Arba’ah:
"Kesempurnaan manusia adalah perjalanannya menuju tatanan kosmik, di mana hukum-hukum keadilan Ilahiah terpantul dalam tatanan duniawi."
Maka, pembangunan peradaban Mahdawi dimulai dari transformasi batin, lalu memancar ke dalam bentuk institusi, tata kelola, dan undang-undang. Semua harus bernapas Ilahi: dari struktur pendidikan yang membangkitkan hikmah, hingga ekonomi yang tidak merampas tapi membagi.
Allamah Thabathabai menulis:
"Hakikat penantian bukan sekadar penantian terhadap datangnya seseorang, tetapi kesiapan seluruh dimensi sosial dan spiritual agar kehadirannya menjadi fajar bagi dunia."
Penantian dalam jalan irfan bukanlah duduk diam menunggu waktu bergulir, melainkan perjalanan batin yang tak henti mencari cahaya. Ia bukan sekadar harapan akan datangnya sosok penyelamat, melainkan persiapan diri menjadi pantulan dari nur-nya. Menurut para arif, menanti Imam Mahdi AFS adalah syuhud—kehadiran batin yang terus-menerus terhubung pada janji keadilan Ilahi yang akan menyeimbangkan langit dan bumi.
Syaikh Mahmud Syabistari dalam Gulshan-i-Raz menulis, "Yang menunggu sang matahari bukanlah mereka yang tidur, melainkan mereka yang menyucikan pandangan hingga mampu menyaksikan cahaya fajar bahkan sebelum ia tiba."
Imam Khomeini berkata, "Menanti kedatangan Imam bukan berarti kita hanya duduk menunggu, tapi berarti kita harus mempersiapkan segala sarana untuk menegakkan pemerintahan kebenaran dan keadilan."
Mulla Sadra menjelaskan bahwa dalam Tashanuj al-Wujud, realitas itu bertingkat, dan manusia bisa naik ke maqam hakiki melalui tazkiyatun nafs, sehingga saat fajar Mahdawi tiba, ia tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga bagian dari cahaya itu sendiri.
Allamah Thabathabai menambahkan dalam Tafsir al-Mizan, bahwa kehadiran Imam adalah manifestasi dari al-Haqq (Yang Maha Benar), dan hanya mereka yang menyelaraskan dirinya dengan kebenaran hakiki—baik dalam ilmu, amal, maupun moral—yang akan mengenal dan menyambut kehadirannya.
Maka, penantian bukanlah angka-angka yang kita hitung dengan kalender, melainkan denyut jantung yang berdetak di antara do'a dan perjuangan. Masyarakat yang menanti bukan masyarakat yang pasif, tapi yang membangun, menyembuhkan luka sosial, menegakkan keadilan, menyuburkan ilmu, dan menyinari kehidupan dengan nilai-nilai ketuhanan.
Sebagaimana malam tidak hanya menanti fajar, tapi menyiapkan langit untuk cahaya, demikian pula jiwa-jiwa mukmin mempersiapkan dirinya untuk menjadi cakrawala bagi sang Qaim.
Imam Khomeini menekankan:
"Jika Islam tidak menyentuh struktur sosial, maka Islam tidak akan hadir ketika Imam Mahdi hadir. Maka ubahlah struktur itu mulai sekarang!"
Kita tidak menunggu Imam dengan tangan terlipat, tetapi dengan tangan yang membangun.
Kita tidak menunggu dengan diam, tetapi dengan merombak ketimpangan, membongkar kemiskinan, dan menciptakan tatanan yang jujur.
Karena Imam Mahdi tidak turun dari langit seperti angin ajaib yang membetulkan dunia.
Ia datang untuk menegaskan kebenaran bagi mereka yang telah terlebih dahulu hidup dalam kebenaran.
Masyarakat Intidzar adalah masyarakat yang telah menabur langit dalam keseharian: jujur dalam bisnis, adil dalam politik, kasih dalam pendidikan, dan cinta dalam pelayanan.
Mereka tidak hanya menginginkan surga, tetapi telah menanamkan bibitnya di bumi. Dan Imam akan menyiraminya hingga mekar dalam cahaya keadilan sempurna.
Bagian “Komitmen pada Keadilan dan Pembelaan Kaum Tertindas” telah dikembangkan secara puitik dan filosofis, dengan mengutip hadis Nabi, ucapan Imam Ali, Imam Shadiq, serta pandangan Mulla Sadra, Allamah Thabathabai, dan Imam Khomeini. Jika Anda ingin melanjutkan dengan bagian seperti Kesabaran dalam Penantian atau Tanda-Tanda Jiwa Mahdawi, saya siap membantu.
5. Doa dan Penantian Aktif (Intidzārul-Fa‘āl).
Menunggu Imam Mahdi bukan berarti pasif dan hanya berdoa. Sebaliknya, penantian sejati adalah yang melahirkan gerak dan perubahan. Doa “Allahumma ‘ajjal li-waliyyikal faraj” harus dibarengi dengan kerja nyata: menjadi pribadi yang layak ditolong Imam, bukan sekadar yang ingin ditolong.
Dalam samudra irfan, penantian bukanlah dermaga, melainkan layar yang mengembang di tengah gelombang. Ia bukan keheningan yang pasrah, tapi dzikir yang berdenyut dalam amal. Maka, ketika seorang mukmin mengangkat tangannya dan berbisik: “Allāhumma ‘ajjl li-waliyyikal faraj,” ia sejatinya sedang menyeru semesta untuk bersiap, bukan hanya langit untuk membuka rahmat, tetapi juga bumi untuk menyambut perubahan.
Allāmah Thabāthabā’ī dalam al-Mīzān menafsirkan bahwa doa kepada Imam Zaman adalah bentuk ta‘bir irfani dari kerinduan ruh manusia terhadap kesempurnaan mutlak. Namun, kerinduan semacam itu tidak cukup dengan air mata—ia mesti mengalir menjadi sungai-sungai amal, ilmu, dan perjuangan yang murni.
Allāmah Thabāthabā’ī dalam al-Mīzān memandang bahwa doa-doa yang kita panjatkan kepada Imam Zaman a.f.s bukan sekadar ritual verbal atau bentuk kesalehan yang hampa, melainkan sebuah ta‘bīr ‘irfānī—simbol batiniah dari kerinduan ruh manusia terhadap al-kamāl al-mutlaq, kesempurnaan sejati yang hanya hadir dari manifestasi cahaya Ilahi. Imam bukan sekadar sosok dalam sejarah yang dinantikan kemunculannya, tetapi cermin Tuhan yang dengannya jiwa manusia mengenal hakikat dirinya sendiri.
Doa “Allāhumma ‘ajjl li-waliyyikal faraj” adalah pekikan sunyi dari fitrah yang sadar, dari hati yang haus akan keadilan, dan dari batin yang rindu akan wajah Ilahi yang terhijab di balik kabut zaman. Ia bukan hanya lantunan bibir, tapi jeritan cinta dari ruang terdalam eksistensi.
Namun, Allāmah mengingatkan: kerinduan semacam itu tidak cukup dituang dalam air mata. Tangis hanyalah percikan awal dari samudra ruhani yang lebih dalam. Ia harus mengalir menjadi sungai—sungai amal yang jernih, sungai ilmu yang bercahaya, sungai perjuangan yang tidak pernah kering di tengah gurun kefanaan. Sebab, apa arti cinta jika tak menjadi gerak? Apa arti penantian jika tidak melahirkan kesediaan untuk berubah?
Mulla Sadra dalam al-Asfār menjelaskan bahwa cinta kepada kesempurnaan akan menggugah jiwa untuk bertransformasi, dari bentuk potensi menjadi aktualitas, dari kekaburan menjadi kejernihan. Maka cinta kepada Imam Zaman adalah dorongan ilahiah yang mendorong manusia menempuh jalan sulūk, meniti kesendirian spiritual demi menyatu dalam cahaya kebenaran yang akan datang dari Timur dan Barat sekaligus.
Allāmah Thabāthabā’ī seolah berkata kepada kita:
"Jika engkau benar mencintai Imam, maka jadilah tanah yang subur tempat keadilannya tumbuh. Jadilah mata yang terjaga saat dunia tertidur, jadilah tangan yang menolong meski tak ada yang melihat."
Karena pada akhirnya, Imam tidak datang kepada mereka yang hanya menunggu, tapi kepada mereka yang telah terlebih dahulu berjalan ke arahnya dengan jiwa yang dibersihkan dan dunia yang dibangun untuknya.
Maka, wahai jiwa yang menanti:
Jangan biarkan doamu menguap sia-sia di langit pasifitas. Ubah ia menjadi langkah, menjadi kata yang mencerahkan, menjadi tindakan yang membebaskan. Sebab Imam Zaman bukan sekadar datang untuk menghapus air matamu, tetapi untuk menjadikannya mata air dunia yang haus akan keadilan.
Imam Khomeini berkata dengan tegas:
“Penantian Imam Mahdi berarti mempersiapkan kekuatan. Seorang penanti sejati adalah yang melawan kebatilan, bukan hanya dengan kata dan doa, tapi dengan jiwa, ilmu, dan darahnya jika perlu.”
Mulla Sadra memandang penantian sebagai tajallī an-nur fī wujūd al-muntazhirīn—penampakan cahaya Tuhan dalam diri para penanti. Artinya, mereka yang menanti dengan benar akan menjadi cermin bagi cahayanya, bahkan sebelum matahari itu terbit.
Karena itu, penanti sejati bukanlah mereka yang hanya mengadu kepada langit, tapi yang juga menjadi langit bagi orang lain: menaungi yang lemah, menurunkan hujan kasih bagi yang terpinggirkan, dan berdiri tegar melawan angin kezaliman.
Imam Ja‘far Shādiq a.s. pernah berkata:
“Barangsiapa yang menanti kami dengan penantian sejati, dia seperti yang berjuang bersama kami di bawah panji-panji kami.” Dan bukankah panji itu adalah simbol keadilan yang terangkat di tengah ketimpangan zaman?
Doa menjadi makna, jika di dalamnya ada gerak. Dan gerak menjadi ibadah, jika di dalamnya ada tujuan Mahdawi: menegakkan kebenaran, menyuburkan ilmu, membersihkan jiwa, dan mewujudkan masyarakat yang layak ditolong, bukan hanya ingin ditolong.
Maka jangan hanya menanti cahaya, jadilah pelita.
Jangan hanya mengharap Imam datang, bangunlah jembatan tempat ia akan melangkah.
Karena dunia tak hanya menanti Imam, tetapi Imam pun sedang menanti siapa di antara kita yang bersedia menjadi tanah suci di mana benih keadilannya dapat tumbuh.
Kesimpulan
Kemunculan Imam Mahdi AFS bukan hanya harapan eskatologis, tetapi sebuah agenda ilahiah yang menuntut partisipasi penuh umat manusia. Ia adalah simbol dari keadilan absolut, pengetahuan yang mencerahkan, dan cinta kasih universal. Oleh karena itu, persiapan menyambutnya tidak dapat hanya diserahkan pada ritual atau harapan kosong. Ia harus menjelma dalam bentuk perjuangan, pendidikan, spiritualitas, dan solidaritas yang nyata.
Umat Islam harus membentuk diri sebagai masyarakat yang visioner, adil, dan tangguh. Hanya dengan demikian, kita layak menyambut Sang Penegak Keadilan yang akan menuntun dunia menuju fajar keabadian.
Referensi
2. Bihar al-Anwar, Allamah Majlisi, Vol. 52–53
3. Imam Khomeini, Sahifeh Nur.
4. Jawadi Amuli, Wilayah dan Pemerintahan Ilahi.
5. Hadis-hadis tentang Imam Mahdi dalam Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan Kitab al-Ghaybah oleh Syaikh Tusi
gambar : https://id.pinterest.com/, https://www.tripadvisor.com/LocationPhotoDirectLink, https://imam--us-org.translate.goog/islamic-awareness/i, https://mahdaviyat.wordpress.com/2015, https://id.pngtree.com/freepng/, https://english.almaaref.org/post/
0 Komentar