Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc
Dalam pusaran zaman yang kian gaduh dan mengguncang poros batin manusia, kebutuhan akan seorang wali—seorang pembimbing spiritual dan pemimpin hakiki—tidak pernah surut. Dalam tradisi Ahlul Bait, para wali bukan hanya figur suci yang dipuja dalam laku ritual, tetapi mereka adalah pusat orientasi eksistensial manusia. Mereka membimbing bukan hanya dalam urusan akhirat, tapi juga dalam urusan dunia, memadukan hikmah langit dan realitas bumi dalam satu tarikan napas kehidupan.
Ahlul Bait, yang terdiri dari dua belas Imam Suci dan Sayyidah Fatimah az-Zahra, adalah mata air welas kasih dan pengetahuan ilahiah. Mereka bukan mitos, bukan nostalgia spiritual belaka, melainkan manifestasi nyata dari rahmat Tuhan bagi manusia yang ingin hidup dalam kebenaran. Di bawah mereka, hadir para sosok agung seperti Abu Fadl al-Abbas dan Sayyidah Zainab—simbol keberanian dan keteguhan—dan para arif sufi seperti Ayatollah Ali Qadhi Thabatabai, seorang ulama yang dikenal sebagai tempat berguru dan bersandar bahkan bagi para ulama besar sekalipun. Beliau tidak hanya menjawab kegelisahan intelektual, tetapi juga meredakan luka-luka batin terdalam dengan kehadiran ruhaniahnya yang menggetarkan.
Tradisi Ahlus Sunnah pun tidak pernah kekurangan sosok wali. Di bumi Nusantara, masyarakat Jawa dan Madura mengenal Kiai Abdul Hamid dari Pasuruan sebagai salah satu wali yang amat disegani. Dikisahkan oleh Gus Mus bahwa ayahandanya, KH Bisri Musthofa, pernah memohon doa kepada Kiai Hamid agar dapat membeli mobil demi kepentingan dakwah. Tak lama kemudian, mobil itu benar-benar terwujud. Ini bukan sekadar kisah karomah, melainkan penanda bahwa masyarakat mendambakan figur yang bisa menjadi jembatan antara hajat dunia dan restu langit. Sosok yang membimbing tanpa pamrih, mendoakan tanpa diminta, dan mencintai umat dalam diam.
Namun dalam skala kebangsaan dan bahkan global, kisah seorang wali agung menemukan sosok yang hidup di abad ke-20: Imam Khomeini. Bagi rakyat Iran, dan bagi banyak pencinta Ahlul Bait di seluruh dunia, beliau adalah titik balik zaman. Seorang faqih, arif, mujahid, dan ayah ruhani yang menyalakan obor harapan di tengah reruntuhan kolonialisme dan kezaliman. Beliau tidak hanya menggulingkan rezim, tapi lebih dari itu: beliau membangkitkan ruh bangsa. Di tengah kekacauan geopolitik, beliau menawarkan visi baru tentang masyarakat yang berlandaskan tauhid, keadilan sosial, dan cinta kepada Ahlul Bait. Sebuah visi yang bukan utopis, tapi telah dan sedang hidup di Iran hari ini.
Dan tongkat estafet itu kini berada di tangan seorang wali yang tidak kalah agungnya: Ayatollah al-‘Uzhma Sayyid Ali Khamenei. Seorang pemimpin yang dalam diamnya terdapat keteguhan, dan dalam tutur halusnya tersembunyi revolusi ruhani. Dalam dirinya menyatu karakter wali dan negarawan. Ia bukan hanya memimpin Iran, tetapi juga menjaga panji keberanian melawan hegemoni dunia yang zalim, dan membela semua kaum tertindas—dari Gaza sampai Yaman, dari Beirut hingga Kashmir.
Kita, sebagai masyarakat dunia yang terus dilanda guncangan—baik krisis identitas, krisis spiritual, maupun kehampaan makna hidup—membutuhkan figur seperti mereka. Kita memerlukan wali agung bukan untuk disembah, tapi untuk diteladani. Bukan untuk dilapisi dengan mitos, tapi untuk ditimba cahaya dari laku dan hikmahnya. Dunia yang kehilangan arah hanya bisa kembali menemukan jalannya bila ia dipandu oleh sosok yang mampu merangkul bumi dengan tangan cinta dan menunjuk langit dengan hati yang tercerahkan.
Di tengah dunia yang kian banal, wali-wali seperti Imam Khomeini dan Sayyid Ali Khamenei membuktikan bahwa masih ada yang berdiri teguh di atas nilai, bukan sekadar kekuasaan. Masih ada yang berbicara tentang spiritualitas, bukan hanya statistik. Masih ada yang menangis untuk umat, bukan hanya untuk kursi. Dan itulah mengapa, dalam denyut terdalam umat manusia hari ini, ada kerinduan yang diam-diam tumbuh: kerinduan akan seorang wali agung. Sebab dalam kehadirannya, dunia kembali menemukan arti.
Maka kita mendapatkan bukti empiris dari hadist Nabi Muhammad saw:
النَّبِيّ صلى الله عليه وآله وسلم قال:
«مَنْ ماتَ وَلم يَعرِفْ إِمامَ زَمانِهِ ماتَ مِيتَةً جاهِلِيَّةً»
Man māta wa lam ya‘rif imāma zamānihi māta mītatan jāhiliyyah.
Artinya: "Barang siapa yang mati tanpa mengenal Imam zamannya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah".
Hadis ini diriwayatkan dalam banyak sumber, baik oleh ulama Ahlus Sunnah maupun oleh ulama Syiah. Di antaranya: Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sahih Muslim, Mustadrak al-Hakim, Usul al-Kafi.
gambar : https://chatgpt.com/g/g-pmuQfob8d-image-generator
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar