Subscribe Us

ksk logo.jpg

Kritiklah Orang Cerdas

Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.


قال أمير المؤمنين علي عليه السلام: «انتقد العاقل تُحَبّ، ولا تنتقد الجاهل تُبغض»

Imam Ali (a.s.) berkata: "Kritiklah orang cerdas, niscaya engkau akan dicintai; tetapi jangan mengkritik orang bodoh, karena engkau akan dibenci."

Dalam sejarah intelektual Islam dan dunia, ilmu tidak pernah berkembang dari sekadar hafalan atau puja-puji terhadap guru. Ilmu berkembang karena kritik. Bukan kritik yang “membangun” seperti slogan feodal yang dilestarikan oleh mereka yang ingin mempertahankan kuasa atas kebodohan, tapi kritik sebagai keberanian epistemik untuk menemukan dan mengakui kebenaran—meskipun itu datang dari seorang murid muda yang tak bernama.

Inilah yang terjadi dalam kisah monumental antara Ayatollah Muhammad Taqi Bahjat (qs) dan gurunya, Ayatollah Syahrudi, murid dari ulama besar Syaikh Ahmad al-Khurasani. Kisah ini bukan hanya tentang kemenangan logika seorang pelajar atas guru besarnya, tapi lebih dari itu: ini adalah pelajaran abadi tentang kemuliaan ilmu yang tunduk pada argumentasi, bukan otoritas.

Ayatollah Bahjat adalah seorang pelajar yang nyaris tak memiliki aktivitas lain selain menuntut ilmu. Ia dikenal sangat tekun, rajin, dan hampir tidak pernah absen dari pelajaran. Dalam kajian Ushul Fiqh, ia berani mengisykal (menyanggah) penjelasan gurunya sendiri. Sang guru, yang ketika itu merupakan otoritas besar, tidak langsung membungkam Bahjat. Justru pada malam harinya, beliau meneliti ulang pelajaran yang didapat dari gurunya, al-Marhum Ahmad al-Khurasani. Apa hasilnya? Beliau menemukan bahwa muridnya benar.

Pagi harinya, ketika para murid lain mencemooh Bahjat karena dianggap lancang, sang guru justru berdiri di mimbar kelas  dan berkata: “Tadi malam saya mengkaji kembali catatan-catatan pelajaran saya yang pernah saya pelajari pada al-Marhum Syaikh Ahmad al-Khurasani, ternyata memang kebenaran itu berada pada teman kalian ini (Syaikh Bahjat).” Kebenaran tidak mengenal usia, jabatan, atau gelar. Kebenaran hanya tunduk pada hujjah—pada dalil dan nalar.

Dalam sistem pendidikan kita, kritik masih dianggap tabu. Banyak guru, dosen, bahkan profesor, merasa tersinggung jika dikritik oleh murid atau mahasiswanya. Ironisnya, sebagian murid pun merasa bahwa mengkritik adalah dosa akademik yang bisa menghilangkan nilai atau akses terhadap bimbingan. Ini adalah penyakit sistemik yang melumpuhkan intelektualitas. Padahal, dalam Islam, Imam Ali (a.s.) telah mewariskan etika intelektual yang sangat agung: “Kritiklah orang cerdas, niscaya engkau akan dicintai. Jangan kritik orang bodoh, karena engkau akan dibenci.” Ungkapan ini bukan suatu retorika. Ia adalah fondasi ilmu: bahwa kritik adalah mekanisme cinta di antara kaum berakal, dan justru menjadi penyebab kebencian di antara mereka yang menolak berpikir.

Sering kita dengar jargon: “kritik itu harus membangun.” Tapi siapa yang mendefinisikan apa itu membangun? Jawabannya biasanya: penguasa, guru yang anti-kritik, atau institusi yang takut pada perubahan. Kritik tidak perlu sopan jika kesopanan dijadikan tameng untuk menutupi kebodohan. Kritik tidak harus halus jika kehalusan hanya akan diputarbalikkan sebagai kelemahan. Ali Shariati, seorang pemikir revolusioner Iran, pernah mengatakan: “Ulama yang takut pada kritik, bukan ulama. Dia hanya penjaga stabilitas.” Ketika kritik dibatasi, maka yang tumbuh adalah kultus—dan kultus adalah kematian bagi ilmu.

Apa yang dilakukan Ayatollah Bahjat bukan hanya sekadar menyanggah. Ia sedang berjihad. Bukan jihad fisik, tapi jihad akal: jihad untuk menempatkan kebenaran di atas otoritas, dalil di atas senioritas. Sayangnya, banyak dari kita gagal membedakan antara kritik dan kurang ajar. Padahal yang kurang ajar adalah orang yang menolak kritik. Seperti kata Imam Ali: orang bodoh akan membenci orang yang mengkritiknya. Ketika seorang murid diam karena takut nilai buruk, ketika seorang dosen menutup telinga dari argumen mahasiswa, ketika seorang ilmuwan menolak revisi karena merasa dirinya "pakar"—saat itulah ilmu berhenti berkembang. Saat itulah, universitas berubah dari ladang nalar menjadi ladang penghormatan palsu.

Salah satu tanggung jawab utama pendidikan adalah membangun keberanian intelektual, bukan hanya mencetak lulusan. Anak-anak harus diajarkan sejak dini bahwa tidak semua orang dewasa benar. Bahwa guru pun bisa salah. Dan bahwa yang membedakan orang bijak dari orang bodoh adalah: orang bijak mencintai kritik, orang bodoh membencinya. Etika ini harus masuk ke dalam silabus pendidikan nasional. Kritik bukan mata pelajaran terselubung. Ia adalah metode. Ia adalah fondasi berpikir ilmiah, dan satu-satunya jaminan bahwa kita tidak akan terperangkap dalam kebodohan kolektif.

Ada keindahan dalam kritik. Ketika seorang guru terbuka terhadap kritik, ia menunjukkan bahwa kecerdasannya tidak hanya terletak pada pengetahuan, tapi juga pada kelapangan jiwa. Itulah yang ditunjukkan oleh Ayatollah Syahrudi. Beliau tidak malu mengakui bahwa muridnya benar. Dan ketika murid melihat gurunya demikian, maka yang tumbuh bukan arogansi, melainkan cinta. Bukan perlawanan, melainkan hormat yang jujur. Di sinilah kita menyaksikan sabda Imam Ali menjadi nyata: kritiklah orang cerdas, maka engkau akan dicintai.

Dalam tradisi filsafat Islam, pencarian ilmu adalah bentuk ibadah. Maka kritik pun adalah bagian dari ibadah. Ia adalah amal saleh yang tak terlihat, namun menyelamatkan banyak manusia dari jatuh ke dalam kesalahan kolektif. Ayatollah Bahjat, yang kemudian menjadi salah satu ulama dan marja taklid paling berpengaruh di era modern, memulai karier intelektualnya bukan dari pencitraan atau basa-basi akademik, tapi dari keberanian menegakkan kritik.

Jika kita ingin melihat Indonesia melahirkan ilmuwan besar, pemikir besar, ulama besar, maka ajarkan mereka untuk mencintai kritik—dan lebih dari itu: ajarkan mereka untuk berani dikritik. Sebab kebenaran tidak lahir dari diam, tetapi dari keberanian murid mempertanyakan sang guru, dan dari kebesaran guru untuk berkata: “Engkau benar.”

gambar :https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/





Posting Komentar

0 Komentar