Tajuddin Nur
Abstrak
Keruntuhan sebuah institusi atau negara bukanlah peristiwa instan, melainkan hasil akumulasi dari berbagai faktor struktural, moral, dan sosial yang terabaikan. Teori-teori klasik dan kontemporer mengenai kejatuhan peradaban menunjukkan bahwa kekuasaan yang mengabaikan legitimasi moral, menindas kelompok minoritas, serta mengabaikan tantangan sosial akan menggali kuburnya sendiri. Studi kasus terhadap politik genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina menunjukkan pola serupa: kekejaman sistematis justru mempercepat proses delegitimasi internal dan eksternal. Jurnal ini mengembangkan teori baru bahwa sistem genosida bukanlah alat pengokohan kekuasaan abadi, melainkan mekanisme bunuh diri institusional (self-destructive genocidal state). Sejarah membuktikan bahwa darah yang tumpah akibat kebijakan penindasan, pada akhirnya, menenggelamkan negara yang menumpahkannya.
Pendahuluan
Di sepanjang sejarah manusia, institusi besar dan negara adidaya telah bangkit dan runtuh. Dari kejatuhan Kekaisaran Romawi, kegagalan Dinasti Abbasiyah, hingga kehancuran Nazi Jerman, faktor-faktor keruntuhan ini menjadi bahan perenungan tiada henti bagi para sejarawan, filsuf, dan ilmuwan politik.
Namun, satu pola terlihat konsisten: ketika sebuah negara mengadopsi kekerasan sistematis terhadap kelompok lain sebagai dasar kebijakan nasionalnya — baik berupa genosida, apartheid, atau pembersihan etnis — negara tersebut bukan memperkuat dirinya, melainkan mempercepat kehancurannya. Kekerasan yang dilembagakan bukan hanya menciptakan luka pada korban, tetapi juga pada jantung moral bangsa itu sendiri.
Israel, dalam kebijakan panjangnya terhadap rakyat Palestina, memperlihatkan gejala klasik negara yang memasuki spiral bunuh diri. Di balik dominasi militer dan kekuasaan ekonomi, terdapat jurang yang semakin menganga: krisis legitimasi, perpecahan internal, tekanan global, dan hilangnya visi kemanusiaan.
Kerangka Teoritis : Teori-Teori Keruntuhan Negara
1. Jared Diamond: Lingkungan, Hubungan Sosial, dan Keputusan Politik.
Dalam karyanya Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), Jared Diamond menekankan bahwa keruntuhan peradaban sering disebabkan oleh kombinasi: kerusakan lingkungan, perubahan iklim, hubungan bermusuhan dengan tetangga, berkurangnya dukungan perdagangan, serta keputusan politik internal yang buruk.
Diamond menyatakan: "The society's response to its problems is often the single biggest factor in determining its success or collapse.
Israel, dengan kebijakan sistem apartheid terhadap Palestina, menunjukkan keputusan politik jangka pendek yang menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang destruktif.
Lingkungan, Hubungan Sosial, dan Keputusan Politik: Perspektif Jared Diamond dan Relevansinya terhadap Israel
Dalam magnum opus Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), Jared Diamond mengemukakan bahwa keruntuhan sebuah peradaban hampir tidak pernah disebabkan oleh satu faktor tunggal. Sebaliknya, keruntuhan adalah akibat akumulasi berbagai tekanan:
1. Kerusakan lingkungan yang tidak dikendalikan,
2. Perubahan iklim yang memperburuk situasi,
3. Hubungan bermusuhan dengan tetangga,
4. Pelemahan hubungan perdagangan eksternal, dan
5. Keputusan politik internal yang buruk.
Diamond menekankan bahwa faktor yang paling menentukan dalam menghadapi krisis adalah cara sebuah masyarakat merespons masalah-masalah tersebut. Dalam kata-katanya:
"The society's response to its problems is often the single biggest factor in determining its success or collapse."
Dengan kacamata ini, kita dapat membaca kebijakan Israel terhadap Palestina sebagai studi kasus nyata tentang bagaimana keputusan politik yang destruktif mempercepat jalan menuju keruntuhan.
Kebijakan Apartheid Israel: Keputusan Jangka Pendek, Kerusakan Jangka Panjang
Israel, sejak berdirinya, menghadapi tantangan eksistensial: kebutuhan untuk mempertahankan identitas nasional, keamanan, dan legitimasi. Namun, dalam menghadapi tantangan tersebut, keputusan politik yang diambil — khususnya dalam memperlakukan rakyat Palestina — lebih sering bersifat solutif jangka pendek, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Beberapa ilustrasi nyata:
Militerisasi Gaza dan blokade total mungkin tampak sebagai solusi instan untuk mengontrol ancaman keamanan, tetapi dalam jangka panjang melahirkan kebencian generasional, memperkuat resistensi, dan menstimulasi solidaritas internasional terhadap Palestina.
Pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat menawarkan keuntungan politik domestik, terutama untuk kepentingan partai-partai sayap kanan, tetapi secara internasional justru mempercepat isolasi diplomatik Israel.
Taktik genosida dan pembersihan etnis mungkin mengkonsolidasikan kekuasaan di wilayah tertentu dalam jangka pendek, tetapi mempercepat de-legitimasi moral Israel di dunia global.
Kebijakan-kebijakan ini serupa dengan fenomena yang dijelaskan Diamond: respon yang salah terhadap masalah internal, bukan hanya memperburuk masalah yang ada, tetapi juga menciptakan krisis-krisis baru yang lebih besar.
Menghubungkan Israel dengan Pola Keruntuhan Sejarah
Dalam berbagai contoh yang dipaparkan Diamond — seperti kehancuran bangsa Maya, Pulau Paskah, dan bangsa Viking di Greenland — satu tema berulang: Ketidakmampuan elite politik untuk mengubah strategi meskipun tanda-tanda kehancuran sudah terlihat jelas.
Prioritas pada kepentingan jangka pendek seperti status, kekuasaan, dan prestise, di atas kebutuhan untuk reformasi jangka panjang.
Israel hari ini menunjukkan pola serupa
Alih-alih mengadopsi jalan damai, rekonsiliasi, dan koeksistensi, Israel memperkeras represi dan apartheid.
Alih-alih memperbaiki hubungan regional, Israel meningkatkan permusuhan dengan tetangga dan memperburuk keterasingannya di mata dunia.
Seperti bangsa-bangsa yang gagal beradaptasi di masa lalu, Israel mempertahankan model lama kekuasaan berbasis militer dan represi dalam dunia yang bergerak ke arah hak asasi manusia, multilateralitas, dan kesadaran global.
Dimensi Ekologis dan Sosial: Krisis yang Saling Berkelindan
Diamond menekankan pentingnya faktor ekologis dalam keruntuhan. Dalam kasus Israel, ini tercermin dalam: Penghancuran lingkungan Palestina, seperti penghancuran kebun zaitun, sabotase sumber air, dan perusakan lahan pertanian.
Konflik sumber daya yang akan memburuk di masa depan, mengingat perubahan iklim di kawasan Timur Tengah diprediksi menyebabkan kelangkaan air, memperparah ketegangan.
Ketidakadilan ekologis ini tidak hanya memperparah kesenjangan sosial-ekonomi, tetapi juga memperdalam polarisasi politik dan mempercepat disintegrasi sosial.
Kesimpulan Reflektif: Pelajaran dari Sejarah yang Diabaikan
Seperti yang diperingatkan Diamond, kegagalan untuk mengubah perilaku dalam menghadapi tanda-tanda keruntuhan seringkali berasal dari kebanggaan kolektif, arogansi kekuasaan, dan ketakutan elit kehilangan privilese.
Israel, dalam kebijakan apartheid dan genosidanya terhadap Palestina, bukan sedang memperkuat dirinya, melainkan sedang menggali kubur peradabannya sendiri. Bukan karena kekalahan militer semata, Bukan karena invasi asing, Tetapi karena kebutaan politik terhadap tanda-tanda kehancuran yang mereka hasilkan sendiri.
Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada peradaban, sekuat apa pun, yang kebal terhadap hukum kejatuhan. Israel kini menghadapi dilema eksistensial yang sama seperti bangsa-bangsa yang telah menghilang dari panggung sejarah:
Apakah akan berubah dan bertahan, atau tetap dalam jalur kehancuran yang sudah dipilih?
2. Ibn Khaldun: Siklus Dinasti dan Kejenuhan Moral
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan bahwa setiap dinasti atau negara melalui tiga tahap: lahir dari semangat solidaritas ('ashabiyyah), mencapai puncak kekuasaan, lalu melemah karena kemewahan, korupsi, dan hilangnya nilai solidaritas.
Dalam kata-katanya: "The desert life produces strong men; the city life produces weak men."
Israel, yang sejak awal dibangun dalam narasi solidaritas nasional dan ketahanan, kini perlahan dirongrong oleh konflik internal, ketimpangan sosial, dan keletihan moral akibat peperangan abadi.
Ibn Khaldun: Siklus Dinasti, Kejenuhan Moral, dan Krisis Identitas di Israel
Dalam karya monumentalnya Al-Muqaddimah, Ibn Khaldun mengemukakan teori tentang siklus kehidupan dinasti dan nasib negara-negara. Menurutnya, setiap peradaban atau kekuasaan politik melalui tiga fase utama:
1. Fase Pembentukan — Negara lahir dari semangat kuat solidaritas suku atau kelompok ('ashabiyyah), yang mengikat masyarakat dengan rasa kesatuan, pengorbanan, dan tekad bersama.
2. Fase Kejayaan — Negara mencapai puncak kekuasaan dan kemakmuran melalui penggunaan kekuatan kolektif tersebut.
3. Fase Kemunduran — Seiring berjalannya waktu, kemewahan, korupsi, ketimpangan sosial, dan pudarnya solidaritas menggantikan semangat awal. Negara kehilangan vitalitasnya dan mulai runtuh.
Ibn Khaldun merumuskan secara tajam: "Desert life produces strong men; city life produces weak men."
Artinya, kehidupan keras dan solidaritas yang kuat melahirkan generasi tangguh; sebaliknya, kemewahan kota memperlemah ketahanan moral dan fisik bangsa.
Israel: Dari Solidaritas ke Disintegrasi Internal Israel, yang dibangun dalam semangat solidaritas nasional, ketahanan kolektif, dan survivalisme, kini menunjukkan tanda-tanda jelas fase kemunduran yang dipaparkan Ibn Khaldun.
Pada fase awal
Solidaritas antar komunitas Yahudi di seluruh dunia melahirkan kekuatan luar biasa untuk membangun negara baru di tengah lingkungan bermusuhan.
Sentimen eksistensial melahirkan nasionalisme militan yang kokoh, didukung pengorbanan sosial yang tinggi.
Namun kini, memasuki fase kemunduran di mana fragmentasi sosial merajalela: ketegangan antara kelompok Yahudi Ashkenazi, Mizrahi, ultra-Ortodoks, sekuler, dan imigran Rusia.
Kesenjangan ekonomi meningkat tajam: segelintir elite menguasai kekayaan, sementara mayoritas rakyat mengalami tekanan ekonomi.
Krisis moral dan politik: kebijakan apartheid, invasi militer, dan represi brutal terhadap Palestina tidak hanya menggerogoti legitimasi eksternal Israel, tetapi juga menggerus moralitas internal.
Peperangan abadi dengan rakyat Palestina, daripada memperkuat Israel, justru menimbulkan keletihan psikologis kolektif (collective moral fatigue), mempercepat disintegrasi nasional.
Keletihan Moral: Faktor Psikososial dalam Siklus Keruntuhan
Salah satu kontribusi orisinal Ibn Khaldun adalah pengakuannya bahwa keruntuhan tidak hanya bersifat politik dan ekonomi, tetapi juga psikologis.
Dalam konteks Israel:
Generasi awal Israel dibesarkan dalam narasi ketahanan, perjuangan, dan pengorbanan.
Generasi berikutnya dibesarkan dalam kemewahan relatif, narasi eksklusivitas, dan budaya kekuasaan tanpa rasa bersalah terhadap penindasan terhadap rakyat Palestina.
Munculnya krisis makna: perang dan represi tidak lagi dilihat sebagai bagian dari survival, tetapi menjadi beban moral yang tak dapat dipertahankan di hadapan tuntutan nilai-nilai universal modern.
Akumulasi keletihan moral ini melahirkan:
Krisis legitimasi internal, peningkatan emigrasi warga muda Israel ke luar negeri, gelombang protes domestik menentang kebijakan pemerintah sayap kanan, Retaknya rasa solidaritas nasional yang dulunya menjadi pondasi negara.
Dinamika Kekuasaan: Siklus yang Tidak Bisa Dielakkan. Ibn Khaldun mengingatkan bahwa: "A ruling dynasty seldom lasts beyond three generations."
Karena generasi pertama berjuang dan mengorbankan diri, Generasi kedua mempertahankan hasil perjuangan,
Sedangkan generasi ketiga hidup dalam kemewahan dan kehilangan energi kreatif kolektif.
Israel, memasuki dekade ketujuhnya, menghadapi tanda-tanda krisis generasi ketiga:
Dominasi elite politik dan ekonomi yang melayani kepentingan sempit, Hilangnya visi kolektif tentang masa depan bersama, Polarisasi sosial yang memperuncing ketidakstabilan.
Kesimpulan Reflektif: Jalan Menuju Kejatuhan, Sejalan dengan tesis Ibn Khaldun, solidaritas nasional yang dulu menjadi sumber kekuatan Israel kini melemah, digantikan oleh:
* Egoisme kelompok
* Korupsi kekuasaan
* Keterasingan moral.
Represi brutal terhadap Palestina bukan hanya tindakan kejam terhadap rakyat lain, tetapi juga tindakan bunuh diri moral bagi Israel sendiri.
Seperti dinasti-dinasti dalam sejarah yang ditulis Ibn Khaldun, Israel bukan lagi sekadar menghadapi ancaman eksternal, melainkan dihantui oleh pembusukan internal yang tak bisa dihentikan kecuali dengan reformasi radikal — yang tampaknya semakin sulit dilakukan dalam iklim politik saat ini.
Moralitas, solidaritas, dan keadilan — jika hilang — akan mengakhiri sebuah peradaban lebih cepat daripada serangan musuh dari luar.
3. Arnold J. Toynbee: Tantangan dan Respons
Toynbee dalam A Study of History mengemukakan bahwa peradaban bertahan jika mampu merespons tantangan secara kreatif. Sebaliknya, peradaban runtuh jika elit penguasanya terjebak dalam "mimesis" — meniru solusi usang tanpa inovasi nyata.
Toynbee menulis: "Civilizations die from suicide, not by murder."
Israel, yang kini mengandalkan kekuatan brutal sebagai satu-satunya solusi atas resistensi Palestina, memperlihatkan kegagalan inovatif dalam merespons tantangan zaman: lahirnya generasi baru perlawanan, isolasi global, dan krisis identitas nasional.
Arnold J. Toynbee: Tantangan, Respons, dan Krisis Kreativitas dalam Peradaban Israel
Arnold J. Toynbee dalam karya besarnya A Study of History mengemukakan bahwa kelangsungan peradaban sangat bergantung pada kemampuannya merespons tantangan secara kreatif.
Dalam model Toynbee, setiap peradaban dihadapkan pada serangkaian tantangan — baik internal maupun eksternal. Hanya peradaban yang mampu mengembangkan respons inovatif yang bertahan. Sebaliknya, peradaban yang gagal beradaptasi dan hanya mengulang-ulang pola lama akan mengalami stagnasi dan akhirnya kehancuran.
Toynbee menyatakan secara tajam:
"Civilizations die from suicide, not by murder."
Artinya, runtuhnya sebuah peradaban lebih sering disebabkan oleh ketidakmampuan internal dalam berinovasi, bukan semata-mata oleh serangan dari luar.
Israel: Tantangan Zaman dan Respons yang Gagal
Dalam konteks Israel, tantangan-tantangan baru muncul dengan intensitas dan kompleksitas yang semakin tinggi:
Munculnya Generasi Baru Perlawanan Palestina:
Bukan lagi hanya perlawanan konvensional, tetapi juga perlawanan berbasis media global, cyber warfare, jaringan solidaritas internasional, dan gerakan akar rumput.
Isolasi Global: Semakin banyak negara, lembaga internasional, dan gerakan sipil yang mengecam kebijakan apartheid dan penindasan Israel terhadap Palestina. Dukungan tanpa syarat dari sekutu-sekutu tradisional pun mulai terkikis.
Krisis Identitas Nasional: Ketegangan antara negara sebagai "negara Yahudi" versus "negara demokratis" semakin meruncing, memperlihatkan jurang ideologis yang mendalam di dalam masyarakat Israel sendiri.
Namun, bagaimana Israel merespons tantangan-tantangan ini?
Alih-alih berinovasi dan mencari solusi kreatif berbasis keadilan, dialog, dan pembaruan sosial, elit penguasa Israel justru mengulangi pola lama:
* Mengandalkan kekerasan militer
* Membatasi hak sipil,
* Membungkam kritik internal,
Inilah yang disebut Toynbee sebagai mimesis: "Meniru resep masa lalu tanpa memahami bahwa konteks zaman sudah berubah". Solusi kekerasan yang mungkin efektif pada dekade-dekade awal berdirinya Israel kini menjadi bumerang moral dan politik di era global yang sangat peka terhadap isu hak asasi manusia.
Bunuh Diri Peradaban: Skema Toynbee dalam Krisis Israel. Dalam kerangka Toynbee, kemunduran Israel menunjukkan tiga tahap "bunuh diri peradaban":
1. Failure of Creative Minority. Elit politik Israel — yang seharusnya menjadi kelompok kreatif pembaru — malah menjadi kelas yang mempertahankan status quo dengan represi, bukan inovasi.
2. Withdrawal of the Masses. Masyarakat umum, khususnya generasi muda Israel, menunjukkan gejala keputusasaan dan alienasi: peningkatan keinginan untuk emigrasi, penurunan kepercayaan pada pemerintah, dan meningkatnya gerakan protes internal.
3. Domination by Internal Proletariat. Ketidakpuasan kelompok-kelompok marginal (minoritas Arab Israel, komunitas ultra-Ortodoks yang miskin, imigran Afrika) meningkat, menambah ketidakstabilan sosial dan mempercepat disintegrasi nasional.
Keterkaitan dengan Tantangan Global. Lebih jauh, kegagalan Israel dalam berinovasi juga memperburuk posisinya dalam lanskap geopolitik global.
Perubahan Persepsi Dunia: Di era digital dan media sosial, narasi monopoli Israel atas "korban" telah bergeser. Dunia semakin melihat rakyat Palestina sebagai korban sejati, dan Israel sebagai negara penindas.
Tekanan Ekonomi dan Diplomatik: Kampanye BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) menunjukkan pengaruhnya, sementara keretakan dengan negara-negara tetangga seperti Turki dan Afrika Selatan menjadi nyata.
Transformasi Regional: Aliansi baru di Timur Tengah (seperti potensi normalisasi antara Arab Saudi dan Iran) mengurangi relevansi strategis Israel di kawasan.
Dalam perspektif Toynbee, hanya satu hal yang dapat menyelamatkan peradaban yang berada di ambang kehancuran: "creative response".
Bagi Israel, ini berarti: Mengakui kesalahan historis terhadap Palestina,
Membuka jalan menuju keadilan, kesetaraan, dan rekonsiliasi sejati, Mereformasi struktur sosial-politik agar lebih adil, inklusif, dan responsif terhadap tuntutan zaman.
Namun, sejauh ini, Israel tampaknya memilih jalan kebalikan: peningkatan represi, pengabaian terhadap realitas baru, dan pembenaran kekerasan.
Jika tren ini berlanjut, maka seperti ramalan Toynbee, Israel tidak akan hancur karena kekuatan eksternal, melainkan karena keangkuhan dan ketidakmampuan beradaptasi — bunuh diri peradaban yang disengaja.
Peradaban yang gagal berinovasi tidak dibunuh oleh musuhnya, tetapi bunuh diri oleh kekakuannya sendiri.
Penyebab Umum Keruntuhan Institusi dan Negara
Dari beragam teori yang telah dikemukakan, kita dapat membuat inti sari sejumlah faktor umum yang menjadi benih kehancuran sebuah institusi atau negara:
1. Kehilangan Legitimasi Moral dan Politik. Ketika institusi atau negara kehilangan kepercayaan rakyatnya — baik karena ketidakadilan, korupsi, atau kekejaman — fondasi kekuasaan menjadi rapuh. Legitimasi bukan sekadar kekuatan hukum, melainkan kekuatan moral.
2. Dekadensi Moral dan Sosial. Kemewahan berlebihan, ketidakpedulian terhadap penderitaan sesama, serta hilangnya rasa solidaritas nasional mempercepat keruntuhan dari dalam.
3. Represi dan Kekerasan Sistematis. Negara yang bertahan dengan kekerasan berkelanjutan terhadap kelompok tertentu biasanya mempercepat resistensi internal dan membangkitkan solidaritas eksternal.
4. Krisis Ekonomi dan Ketimpangan Sosial. Ketidaksetaraan ekonomi yang ekstrem melemahkan rasa kebersamaan dan memicu instabilitas.
5. Isolasi Global. Negara yang mengalienasi diri dari komunitas internasional akan kehilangan akses terhadap dukungan diplomatik, ekonomi, dan strategis — mempercepat keruntuhan strukturalnya.
Studi Kasus: Israel, Palestina, dan Jalan Menuju Keruntuhan
a. Politik Genosida dan Apartheid Israel
Sejak berdirinya pada 1948, Israel telah menjalankan kebijakan kolonialisme, apartheid, dan genosida terhadap rakyat Palestina. Serangan berulang ke Gaza, pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat, dan blokade berkepanjangan menjadi bukti sistemik dari kejahatan ini.
Bahkan lembaga-lembaga internasional terkemuka seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah secara resmi menyebut Israel sebagai apartheid state — sebuah istilah yang sebelumnya digunakan terhadap rezim minoritas kulit putih di Afrika Selatan.
b. Tanda-Tanda Keruntuhan Internal Israel
1. Krisis Legitimasi Internal.
Demonstrasi besar-besaran di dalam Israel sendiri — mulai dari penolakan terhadap kebijakan yudisial ekstremis, hingga kritik keras terhadap perang brutal di Gaza — menunjukkan retaknya fondasi moral dalam masyarakat Yahudi Israel.
2. De-legitimasi Global.
Dukungan internasional terhadap perjuangan Palestina meningkat tajam, sementara Israel menghadapi sanksi moral, boikot budaya (BDS Movement), dan tekanan diplomatik yang semakin besar.
3. Resistensi Internal Palestina.
Alih-alih menghilangkan semangat perlawanan, kebrutalan Israel justru melahirkan generasi baru pejuang yang lebih gigih dan lebih kreatif dalam perjuangan mereka.
4. Ketergantungan yang Merugikan.
Ketergantungan Israel pada dukungan militer dan ekonomi Amerika Serikat semakin dipandang sebagai liability, apalagi di tengah perubahan geopolitik global menuju multipolaritas.
Pengembangan Teori: Genosida sebagai Mekanisme Bunuh Diri Institusional
Dari telaah ini, kita dapat merumuskan sebuah teori baru: “Self-Destructive Genocidal State”.
Negara atau institusi yang mengadopsi kebijakan genosida terhadap kelompok tertentu akan mengalami proses bunuh diri struktural, yang ditandai oleh:
(1) Kehilangan legitimasi internal,
(2) Kebangkitan resistensi yang berkelanjutan,
(3) Isolasi global,
(4) Krisis moral dan sosial,
(5) Keterjerembaban dalam siklus kekerasan yang mempercepat kehancuran.
Dalam konteks Israel, kebijakan genosida terhadap rakyat Palestina bukan memperkokoh eksistensi Zionisme, tetapi mempercepat fragmentasi dan kehancuran internal Israel sebagai entitas negara.
Sejarah mengajarkan bahwa:
* Nazi Jerman runtuh dalam kobaran api yang dinyalakannya sendiri.
* Rwanda mengalami kehancuran negara setelah genosida 1994.
* Yugoslavia tercerai-berai setelah kekejaman etnis di Bosnia.
Kini, Israel mengulangi pola sejarah tersebut — dengan sekop di tangannya sendiri, menggali kuburan kolektif eksistensinya.
Skema Keruntuhan Negara Berbasis Genosida :
Fase Penindasan : Kebijakan kekerasan terhadap Kelompok Lemah. Misalnya Blokade Gaza dan Pembunuhan Masal.
Fase Resistensi : Munculnya Gerakan Perlawanan terorganisir. Misalnya Hamas, Jihad Islam dan Gerakan Intifada.
Fase Retak Internal : Protes domestik, Krisis Identitas, Kemerosotan Solidaritas Nasional. Misalnya, Demontrasi Anti Pemerintahan Israel.
Fase Isolasi Global : Sangsi Diplomatik, Boikot Budaya, Boikot Produk dan Kecaman Internasional. Misalnya, Gerakan BDS, Kecaman PBB dll.
Fase Keruntuhan : Disfungsi Negara, Perang Saudara, atau Transformasi Radikal. Sementara berporoses, belum terjadi.
Kesimpulan
Keruntuhan negara bukan hanya akibat serangan dari luar, melainkan akibat penghancuran nilai dari dalam. Israel, dalam kebijakannya terhadap Palestina, telah mengadopsi jalan yang secara historis terbukti mematikan: jalan genosida, yang akan berujung pada bunuh diri kolektif negara itu sendiri.
Seperti kata Arnold Toynbee:
"Kehancuran peradaban terjadi lebih karena pilihan mereka sendiri untuk gagal beradaptasi, daripada akibat tekanan eksternal semata."
Israel kini menghadapi paradoks besar: Semakin dalam ia menekan Palestina, semakin cepat ia mempercepat kehancurannya sendiri.
Makassar, 28.04.2025
gambar : te//PalestinaPost
0 Komentar