Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc
Demokrasi di Indonesia bukanlah tiruan mentah dari sistem yang diterapkan di Amerika Serikat atau negara Barat lainnya. Pancasila sebagai fondasi kehidupan berbangsa telah merumuskan prinsip-prinsip demokrasi yang berakar dari kearifan lokal dan nilai-nilai spiritual.
Sila keempat Pancasila menyatakan secara eksplisit: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Ini bukan sekadar kalimat normatif, melainkan diktum ideologis yang mendefinisikan seperti apa pemimpin seharusnya dilahirkan dari rahim bangsa ini.
Berbeda dengan demokrasi liberal seperti di Amerika, di mana pemimpin bisa lahir dari popularitas kosong, uang, atau kebisingan media, sistem Pancasila menghendaki sesuatu yang jauh lebih luhur.
Amerika, misalnya, memilih seorang figur seperti Donald Trump—seorang yang ucapannya sering kali mencerminkan kebodohan dan arogansi, bahkan secara mengejutkan pernah menyatakan kesiapannya menjadi Paus. Pernyataan semacam ini menunjukkan tidak adanya parameter moral dan intelektual yang memadai dalam sistem seleksi pemimpin mereka.
Di dalam Pancasila, pemimpin bukan hanya harus dipilih secara demokratis, tetapi juga wajib memenuhi satu syarat yang sering diabaikan: ia harus berhikmat.
Apa itu hikmat? Kata ini berasal dari akar bahasa Arab ḥikmah, yang dalam tradisi filsafat Islam klasik dan sufistik dipahami sebagai puncak kebijaksanaan yang lahir dari pengetahuan yang terhubung dengan realitas ilahiah.
Dalam bahasa Persia, hikmat (ØÚ©Ù…ت) tidak sekadar berarti “kebijakan”, melainkan meluas menjadi suatu kedalaman akal dan ketajaman spiritual yang memungkinkan seseorang membaca lapisan terdalam dari realitas kehidupan. Hikmat dalam konteks ini bukan hanya soal logika atau kefasihan retorika, tetapi tentang penyatuan antara akal, nurani, dan ilham.
Seorang yang berhikmat adalah seorang filsuf sejati—yang tidak hanya membaca buku, tetapi juga menembus kebenaran melalui kejernihan batin dan keluhuran budi. Inilah yang menjadi jiwa sila keempat: pemimpin haruslah seorang yang berhikmat, bukan sekadar populer atau berijazah.
Jika sila keempat dihayati secara serius, maka pemimpin ideal dalam sistem Indonesia adalah sosok yang tidak hanya dipilih melalui mekanisme politik, tetapi juga harus melewati penilaian atas kualitas intelektual dan moralnya. Di sinilah kita bisa belajar dari Republik Islam Iran yang mewajibkan pemimpinnya lahir dari proses seleksi Dewan Ahli, sebuah majelis ulama dan intelektual yang telah mencapai tingkatan ijtihad tertinggi.
Sistem ini memberikan satu pelajaran penting bahwa demokrasi harus disandingkan dengan kebijaksanaan (hikmat), dan pemimpin haruslah seseorang yang tidak hanya disukai, tetapi juga layak secara etis dan intelektual.
Indonesia hari ini membutuhkan mekanisme serupa, bukan meniru bentuknya secara institusional, melainkan semangatnya. Bahwa menjadi pemimpin bukan hak semua orang hanya karena bisa membayar partai atau memenangkan debat di televisi.
Menjadi pemimpin adalah amanat suci yang hanya layak diemban oleh mereka yang berhikmat. Dan itu telah lebih dahulu ditegaskan dalam sila keempat Pancasila—jauh sebelum dunia menyaksikan absurditas demokrasi liberal yang bisa mengantar siapa saja, bahkan yang paling dangkal sekalipun, ke puncak kekuasaan.
gambar : https://www.kompasiana.com/primata
0 Komentar