Dudi Noer
Abstrak
Tulisan ini mengeksplorasi gagasan tentang independensi dalam dunia Islam melalui lensa filsafat Islam, spiritualitas, dan geopolitik kontemporer. Dengan pendekatan reflektif-filosofis dan historis-kritis, tulisan ini menelusuri relasi antara tauhid sebagai asas kebebasan, krisis kesadaran individu Muslim modern, serta subordinasi struktural negara-negara Muslim dalam tatanan global yang hegemonik. Berlandaskan pemikiran tokoh seperti Ali Syariati, Mulla Sadra, Imam Khomeini, dan Muhammad Iqbal, esai ini menegaskan bahwa independensi sejati hanya dapat dicapai melalui pembebasan spiritual dan pembentukan peradaban alternatif yang bersumber dari wahyu dan akal ilahi.
1. Pendahuluan
Globalisasi modern telah membawa perubahan signifikan dalam tatanan dunia. Namun, di balik kemajuan teknologi dan keterhubungan antarbangsa, tersimpan kenyataan pahit: umat Islam, baik sebagai individu maupun negara, masih berada dalam struktur ketergantungan sistemik terhadap kekuatan-kekuatan dominan dunia. Padahal, Islam sejak awal membawa pesan pembebasan total.
Di tengah dinamika global yang terus berubah, pertanyaan tentang kemerdekaan dan kedaulatan umat Islam kembali mengemuka. Dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan besar, umat Islam sering kali berada dalam posisi pasif—baik secara geopolitik, ekonomi, maupun kultural. Kenyataan ini menimbulkan kegelisahan mendalam: bagaimana mungkin sebuah peradaban yang dahulu pernah memimpin dunia dalam ilmu, filsafat, dan moralitas kini terjerembab dalam ketergantungan sistemik? Apakah independensi hanya ilusi dalam lanskap politik modern, atau masih mungkin diraih melalui cara yang lebih esensial dan transformatif? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi titik tolak dalam menyelami ulang hakikat independensi, tidak sekadar sebagai kebebasan lahiriah, tetapi juga sebagai realitas eksistensial dan spiritual.
Dunia Islam hari ini menghadapi paradoks yang akut: secara geografis tersebar luas, secara demografis mayoritas, tetapi secara politik dan intelektual seringkali tersubordinasi dalam skema dunia yang ditentukan oleh arsitektur Barat. Negara-negara Muslim secara formal memiliki pemerintahan sendiri, namun banyak kebijakan strategis ditentukan oleh tekanan eksternal, baik dari lembaga-lembaga internasional maupun korporasi global. Di sisi lain, individu Muslim—terutama generasi muda—hidup dalam realitas digital yang membentuk identitas mereka lebih melalui budaya populer dan algoritma media sosial ketimbang nilai-nilai wahyu dan tradisi keilmuan Islam. Dalam situasi seperti ini, independensi tidak cukup dimaknai sebagai kebebasan memilih, melainkan sebagai kemampuan untuk sadar, menilai, dan menentukan arah hidup berdasarkan tauhid, prinsip ilahiah yang menolak segala bentuk penindasan struktural maupun batiniah.
"Tokoh-tokoh seperti Ali Syariati, Muhammad Iqbal, dan Imam Khomeini menunjukkan bahwa perjuangan umat Islam bukan sekadar proyek politik atau militer, melainkan revolusi kesadaran yang bersumber dari kedalaman tauhid dan semangat amar ma’ruf nahi munkar"
Filsafat Islam sejak awal menawarkan jawaban atas persoalan ini melalui pemahaman tentang tauhid, keadilan, dan peran manusia sebagai khalifah. Dalam pandangan ini, kebebasan bukanlah kebebasan dari hukum, melainkan kebebasan dari ghairullah—apa pun yang selain Tuhan yang menuntut ketaatan mutlak. Inilah kebebasan sejati yang meniscayakan perjuangan spiritual dan intelektual; bukan hanya melawan penindas eksternal, tetapi juga melawan kecenderungan internal manusia terhadap hawa nafsu, ketakutan, dan cinta dunia yang melumpuhkan keberanian untuk merdeka. Tokoh-tokoh seperti Ali Syariati, Muhammad Iqbal, dan Imam Khomeini menunjukkan bahwa perjuangan umat Islam bukan sekadar proyek politik atau militer, melainkan revolusi kesadaran yang bersumber dari kedalaman tauhid dan semangat amar ma’ruf nahi munkar.
Tulisan ini bermaksud menguraikan persoalan independensi umat Islam dalam dua cakupan: pertama, pada tingkat individu sebagai subjek kesadaran dan spiritualitas; kedua, pada tingkat masyarakat dan negara sebagai entitas yang terlibat dalam konstelasi geopolitik dunia. Dengan pendekatan filosofis dan historis-kritis, esai ini mencoba menjawab bagaimana dunia Islam dapat keluar dari ketergantungan sistemik dan membangun kedaulatan autentik yang tidak sekadar kosmetik, tetapi berakar pada kesadaran ontologis dan epistemologis tentang diri, dunia, dan Tuhan. Dalam hal ini, kita akan menyelami pemikiran tokoh-tokoh besar filsafat Islam dan melihat bagaimana gagasan mereka tetap relevan dalam menjawab krisis dunia Muslim hari ini.
2. Tauhid: Pondasi Filsafat Pembebasan
Bagi Ali Syariati, tauhid adalah ideologi revolusioner yang menghapuskan segala bentuk ketundukan manusia terhadap manusia lain.[²] Ia menyebut Islam sebagai gerakan historis pembebasan yang mengakar dalam realitas sosial dan spiritual. Dalam pemahaman ini, kemerdekaan sejati adalah keberanian untuk hanya tunduk kepada Allah dan membebaskan diri dari struktur yang menjadikan manusia alat kekuasaan.
Tauhid dalam Islam bukan semata pernyataan teologis bahwa “tidak ada tuhan selain Allah”, melainkan asas metafisis, moral, dan sosial yang menyusun seluruh arsitektur pemikiran Islam. Tauhid adalah afirmasi keberadaan yang absolut, pusat orientasi seluruh nilai, serta sumber dari segala keadilan dan kebebasan sejati. Dalam terang tauhid, segala bentuk perbudakan manusia atas manusia menjadi penistaan terhadap posisi manusia sebagai hamba Tuhan, dan juga sebagai ciptaan Tuhan yang dimuliakan. Oleh karena itu, tauhid bukan hanya seruan ibadah, tapi juga seruan pembebasan. Ia adalah revolusi permanen terhadap struktur kezaliman—baik dalam diri maupun di luar diri.
Filsafat Islam—baik dalam tradisi hikmah maupun irfan—memahami tauhid bukan sekadar sebagai konsep abstrak, melainkan pengalaman eksistensial yang membentuk kepribadian dan masyarakat. Dalam pandangan ini, seseorang yang benar-benar bertauhid tidak tunduk kecuali kepada Allah. Ia bebas dari dominasi hawa nafsunya, tidak silau oleh kekuasaan dunia, dan tidak gentar terhadap tekanan dari sesama manusia. Ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, “...mereka tidak takut kepada celaan orang yang mencela. Itu adalah karunia Allah...” (QS. Al-Ma’idah: 54). Kebebasan dalam Islam adalah buah dari tauhid—bukan karena sistem liberalisasi pasar atau kebijakan hak asasi manusia Barat, tetapi karena manusia menyadari bahwa hanya Allah yang berhak menentukan arah hidupnya.
"Ketergantungan kepada makhluk, kepada sistem, kepada kekuasaan manusiawi—semuanya adalah bentuk syirk eksistensial"
Tauhid juga mengandung implikasi sosial yang dalam. Dalam sejarah Islam awal, Nabi Muhammad SAW menyerukan tauhid tidak hanya sebagai doktrin agama, tetapi sebagai pesan emansipatoris yang menumbangkan tatanan jahiliyah. Budak dimerdekakan, suku-suku disatukan, kelas sosial diruntuhkan atas nama kesetaraan di hadapan Tuhan. Maka tidak heran jika penindas Quraisy memusuhi Nabi bukan karena shalat atau zikirnya, melainkan karena proyek sosial-politik yang terkandung dalam risalah tauhid itu. Dalam semangat inilah, para pemikir Islam kontemporer seperti Ali Syariati menyebut tauhid sebagai "ideologi revolusioner" yang mengangkat manusia dari status objek sistem menjadi subjek sejarah. Ia adalah pembebas, bukan hanya penenteram.
Dalam filsafat Mulla Sadra, tauhid bahkan sampai pada tingkat ontologis terdalam: bahwa seluruh wujud adalah pancaran dari Wujud Absolut. Tidak ada realitas mandiri selain Tuhan. Maka, ketergantungan kepada makhluk, kepada sistem, kepada kekuasaan manusiawi—semuanya adalah bentuk syirk eksistensial. Dengan demikian, manusia yang tercerahkan oleh tauhid akan sadar bahwa satu-satunya pusat ketergantungan yang sah adalah Allah, dan dari kesadaran itulah muncul keberanian untuk tidak menjadi hamba kekuasaan, uang, ketenaran, bahkan dirinya sendiri. Ini adalah kemerdekaan yang paling radikal dan sejati—karena ia lahir dari penolakan terhadap segala bentuk penghambaan palsu (taghut), dan pembaktian total kepada Yang Maha Esa.
Tauhid juga menjadi dasar epistemologi kritis Islam terhadap dominasi pengetahuan Barat modern. Pengetahuan yang terlepas dari prinsip tauhid cenderung menjadi instrumen kekuasaan; ia objektif di permukaan, namun sarat ideologi penaklukan dalam praksisnya. Oleh karena itu, membebaskan umat Islam dari ketergantungan bukan hanya soal politik atau ekonomi, tapi juga soal cara berpikir, cara merasa, dan cara memahami dunia. Tauhid menyatukan akal dan hati, ilmu dan iman, dan membentuk paradigma yang mengintegrasikan antara spiritualitas dan struktur sosial. Inilah yang menjadi fondasi bagi fikrah istiqlaliyyah—pemikiran merdeka—yang tidak tunduk kepada Barat, Timur, atau ideologi mana pun, tetapi hanya kepada kebenaran yang bersumber dari Allah SWT.
Di sinilah peran individu menjadi penting. Individu Muslim yang bertauhid bukanlah makhluk pasif yang menunggu perubahan dari luar, tetapi aktor aktif yang memulai perubahan dari dalam: dari kesadaran akan Tuhan, menuju kesadaran akan tanggung jawab sosial. Dari pemahaman akan hakikat eksistensinya, menuju tindakan yang adil dalam dunia. Tauhid membentuk pribadi yang tangguh, bebas, dan adil. Ia tidak menjadikan kebebasan sebagai tujuan itu sendiri, tetapi sebagai konsekuensi dari penghambaan murni kepada Tuhan. Maka dalam konteks dunia global yang sarat dominasi—baik dominasi militer, ekonomi, maupun budaya—tauhid adalah pondasi resistensi, pondasi pembebasan, dan pondasi penciptaan dunia yang lebih adil.
3. Individu dalam Dunia Islam: Antara Kesadaran Diri dan Tantangan Global
Modernitas menjanjikan kebebasan, tetapi justru menghasilkan keterasingan. Manusia modern ditawan oleh “kebebasan semu” dalam bentuk konsumerisme, pencitraan sosial, dan determinasi algoritma. Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam memperingatkan bahwa kebebasan yang tidak berpijak pada kesadaran ilahiah akan menjadikan manusia makhluk kehilangan tujuan.[³]
Konsep khilafah insaniyah menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan, bukan budak sistem. Namun, hari ini umat Islam terjebak dalam dua ekstrem: sekularisme yang membuang dimensi spiritual, dan fundamentalisme yang mengabaikan aspek rasional dan sosial. Di sinilah filsafat Islam seperti yang diajukan Mulla Sadra menjadi penting—dengan harakah jawhariyyah-nya, ia menekankan bahwa eksistensi manusia harus bergerak menuju kesempurnaan ruhani, bukan sekadar kebebasan lahiriah.[⁴]
Dalam paradigma Islam, individu bukan sekadar unsur dari masyarakat, melainkan pusat transformasi. Ia adalah titik awal dan titik tumpu seluruh perubahan. Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat ini mengandung prinsip radikal: bahwa perubahan sosial, politik, bahkan peradaban, harus dimulai dari revolusi batin—yaitu kesadaran diri yang otentik dan spiritual. Dalam konteks ini, individu Muslim bukanlah entitas yang tercerabut dari wahyu, melainkan pelaku sejarah yang dipanggil untuk bertindak melalui kesadaran ilahiah.
"Kebebasan individu dalam Islam bukanlah sekadar kebebasan memilih tanpa arah (liberty), tetapi kebebasan untuk menunaikan tanggung jawab moral dan sosial (freedom with responsibility)"
Namun dalam dunia global modern, individu Muslim hidup dalam ketegangan antara identitas ilahiah dan tekanan ideologis yang bersifat sekuler, konsumeristik, dan teknokratik. Dunia pasca-modern membentuk individu dalam struktur yang menggoda dan melemahkan sekaligus—ia dikondisikan menjadi konsumen, bukan pencari makna; menjadi pengikut tren, bukan pewaris hikmah. Platform media sosial dan pasar global telah menggantikan tempat masjid dan madrasah dalam membentuk imajinasi kolektif. Ketika nilai-nilai Islam direduksi menjadi simbol, ritual, atau identitas politik kosong, maka individu kehilangan kompas spiritualnya. Dalam situasi ini, kesadaran tauhid menjadi benteng sekaligus titik berangkat untuk membangun ulang makna independensi.
Ali Syariati, dalam gagasannya tentang manusia bertanggung jawab, menekankan bahwa seorang Muslim sejati bukanlah yang hanya lahir dari umat Islam, tetapi yang memilih untuk menjadi Muslim secara sadar dan aktif. Ia bukan hanya Muslim biologis, tetapi Muslim ideologis, yaitu yang merasakan penderitaan umat, memikul amanat sejarah, dan berjuang untuk membebaskan manusia dari ketertindasan spiritual dan material. Maka kebebasan individu dalam Islam bukanlah sekadar kebebasan memilih tanpa arah (liberty), tetapi kebebasan untuk menunaikan tanggung jawab moral dan sosial (freedom with responsibility). Kesadaran semacam ini menjadikan individu sebagai subjek perubahan, bukan objek dari kebijakan, opini, atau dominasi global.
Dalam perspektif Muhammad Iqbal, individu adalah manifestasi dari Khudi—diri yang sadar, kokoh, dan menyatu dengan tujuan ilahi. Iqbal menyebut bahwa bangsa-bangsa Muslim terpuruk karena kehilangan api Khudi itu: kehilangan keyakinan diri sebagai makhluk Allah yang diberi potensi tak terbatas. Sistem kolonialisme, baik dalam bentuk militer maupun mental, telah meruntuhkan kepercayaan diri umat Islam dan menggantinya dengan mentalitas imitasi. Dalam kondisi ini, tugas utama individu Muslim bukan hanya melawan struktur luar, tetapi membangun kembali integritas dirinya melalui penguatan akal, jiwa, dan nilai. Revolusi sejati, kata Iqbal, dimulai dari dalam—yakni dalam kesadaran akan potensi diri sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Individu Muslim masa kini dihadapkan pada dilema globalisasi: di satu sisi, terbuka terhadap ilmu, mobilitas, dan teknologi; di sisi lain, terekspos oleh arus ideologis yang mereduksi makna hidup menjadi angka, citra, dan komoditas. Dalam ruang ini, penting bagi individu untuk kembali ke sumber nilai yang transenden: Al-Qur’an, sirah Nabi, dan warisan para arif. Ketika individu kembali menemukan dirinya bukan sebagai bagian dari massa tak sadar, tetapi sebagai jiwa yang bertanggung jawab kepada Tuhan, maka independensi tidak lagi menjadi proyek geopolitik semata, tetapi realitas batiniah yang menuntun pada emansipasi kolektif.
Dengan demikian, kebangkitan dunia Islam tidak akan lahir dari luar—dari sistem, diplomasi, atau bantuan negara adidaya—tetapi dari dalam: dari kesadaran individu-individu Muslim yang memilih jalan tauhid secara radikal dan revolusioner. Mereka yang memerdekakan dirinya dari belenggu sistem penindasan dan hawa nafsu, yang membebaskan akalnya dari dikte epistemologi hegemoni, dan yang menjadikan hidupnya sebagai cerminan dari nilai-nilai ilahiah. Mereka inilah para pionir kemerdekaan hakiki dalam dunia Islam. Sebab, seperti yang dikatakan Imam Ali a.s., “Jangan menjadi budak bagi siapa pun, padahal Allah menciptakanmu merdeka.”
4. Tata Dunia Global dan Sistem Ketergantungan
Secara formal, banyak negara Muslim merdeka, namun secara struktural masih bergantung kepada kekuatan ekonomi dan militer global. Bantuan luar negeri, ketergantungan teknologi, dan lembaga-lembaga Bretton Woods menjadikan banyak negara Muslim kehilangan kedaulatan sejati.
Imam Khomeini menekankan bahwa istiklal (kemerdekaan) dan hurriyyah (kebebasan) adalah syarat mutlak tegaknya pemerintahan Islam. Baginya, tanpa independensi ekonomi dan budaya, syariat hanya menjadi simbol kosong.[⁵] Ia mengkritik keras para penguasa Muslim yang tunduk pada kekuatan adidaya dunia atas nama stabilitas atau pembangunan.
Masalah Palestina, dominasi media global, dan eksploitasi sumber daya oleh korporasi transnasional adalah beberapa contoh nyata subordinasi ini. Dalam banyak kasus, diamnya negara-negara Muslim terhadap ketidakadilan global mencerminkan absennya kesadaran tauhid sebagai landasan politik luar negeri.
"Imam Khomeini menekankan bahwa istiklal (kemerdekaan) dan hurriyyah (kebebasan) adalah syarat mutlak tegaknya pemerintahan Islam"
Dalam dunia kontemporer, tatanan global bukanlah sistem netral yang menjamin kebebasan dan keadilan universal. Ia dibentuk dari sejarah panjang kolonialisme, dominasi ekonomi-politik, dan hegemoni epistemik yang menjadikan negara-negara Dunia Ketiga—termasuk dunia Islam—sebagai periferi dalam sistem pusat-periferi. Tata dunia ini, yang secara lahiriah disusun atas nama globalisasi dan kerja sama internasional, pada hakikatnya menempatkan banyak negara Muslim dalam posisi ketergantungan struktural terhadap kekuatan Barat, baik dalam hal ekonomi, militer, teknologi, maupun kebudayaan. Sistem ini bukan hanya menjajah sumber daya, tetapi juga mengatur cara berpikir, merasa, dan membayangkan masa depan.
Ketergantungan ini bersifat sistemik dan kompleks. Dalam aspek ekonomi, banyak negara Muslim terjebak dalam struktur ekspor bahan mentah dan impor produk jadi, yang membuat mereka rentan terhadap fluktuasi pasar dunia dan tekanan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Dalam aspek militer, pembelian senjata canggih dan aliansi pertahanan dengan negara adidaya sering kali menjadi alat subordinasi, bukan kedaulatan. Bahkan dalam pendidikan dan budaya, kurikulum, metodologi riset, dan cita rasa intelektual seringkali dirancang dan disebarluaskan dari luar, bukan dari kebutuhan, nilai, atau visi internal umat Islam.
Ali Syariati menyebut kondisi ini sebagai bentuk istihlak al-insan—penghancuran manusia oleh sistem kapitalistik yang menindas dan menguras daya hidup spiritualnya. Ketika umat Islam hanya menjadi konsumen dari sistem global, dan bukan pencipta nilai atau subjek sejarah, maka independensi menjadi slogan tanpa substansi. Dalam kondisi ini, penindasan tidak selalu datang melalui perang atau penjajahan fisik, tetapi melalui normalisasi sistem ketidakadilan global yang dibungkus dalam wacana pembangunan, investasi, dan stabilitas geopolitik.
Muhammad Baqir ash-Shadr, dalam karya monumentalnya Iqtiį¹£ÄdunÄ, mengkritik keras kapitalisme dan sosialisme sebagai dua kutub ideologi yang sama-sama gagal membebaskan manusia secara spiritual dan sosial. Ia menawarkan alternatif Islam sebagai sistem ekonomi-politik yang berakar pada tauhid, keadilan, dan tanggung jawab moral. Menurutnya, tata dunia yang adil hanya dapat dibangun jika manusia dan masyarakat bebas dari ketergantungan sistemik yang bertentangan dengan nilai-nilai ilahiah. Dalam konteks ini, independensi dunia Islam bukan hanya berarti bebas dari intervensi asing, tetapi juga membangun sistem sendiri yang berlandaskan pada nilai tauhid, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama.
Namun kenyataannya, banyak negara Muslim yang justru tersandera dalam politik pragmatis, utang luar negeri, atau konflik internal yang tak jarang didesain oleh kekuatan eksternal. Intervensi asing atas nama demokrasi atau perang melawan terorisme kerap menjadi legitimasi bagi penguasaan atas wilayah, sumber daya, dan bahkan arah kebijakan dalam negeri. Irak, Suriah, Libya, hingga Afghanistan adalah contoh tragis dari bagaimana tata dunia global menciptakan kekacauan yang terstruktur demi mempertahankan dominasi tertentu. Dalam sistem ini, independensi menjadi ancaman bagi status quo; karena itu, upaya emansipasi oleh dunia Islam sering kali dicurigai atau disabotase sejak dini.
Solusi terhadap kondisi ini tidak cukup dengan diplomasi atau aliansi strategis semata. Dunia Islam harus membangun kekuatan alternatif yang berakar pada solidaritas sesama bangsa tertindas, revitalisasi nilai-nilai spiritual-politik Islam, serta penciptaan sistem baru yang tidak bergantung pada arsitektur global yang timpang. Inisiatif seperti kerja sama ekonomi antarnegara Muslim, penguatan organisasi seperti OKI, dan rekonstruksi epistemologi Islam menjadi langkah awal, namun harus didukung oleh revolusi kesadaran dan keberanian politik.
Seperti yang ditegaskan Sayyid Hasan Nasr, peradaban Islam harus kembali memosisikan dirinya sebagai pusat nilai dan bukan sekadar pengikut sistem modernitas sekuler. Ini menuntut pembaruan struktural dan spiritual: bukan hanya pada lembaga-lembaga formal, tetapi juga dalam cara berpikir, mengelola sumber daya, dan merancang masa depan. Sebab selama dunia Islam tidak berdaulat dalam menentukan makna pembangunan, keadilan, dan kemajuan, maka ia akan terus menjadi objek dari sistem global, bukan subjek peradaban.
Dengan demikian, tantangan terbesar dunia Islam bukan hanya menghadapi kekuatan eksternal, tetapi membebaskan dirinya dari sistem ketergantungan yang telah mendarah daging dalam berbagai aspek kehidupan. Independensi bukanlah retorika nasionalisme, melainkan realitas multidimensi: spiritual, politik, ekonomi, dan epistemologis. Hanya dengan membongkar sistem ketergantungan inilah dunia Islam dapat berdiri tegak, tidak sebagai bayangan Barat, tetapi sebagai pemikul cahaya peradaban yang mandiri dan berkeadilan.
5. Independensi sebagai Spirit Kebangkitan
Dalam filsafat Islam, independensi bukanlah pemisahan dari dunia, tetapi tahalli (pengosongan diri dari pengaruh destruktif), tajalli (penyinaran ruhani), dan fana (peleburan dalam kehendak Tuhan). Dengan pendekatan ini, independensi dimulai dari dalam—yakni kesadaran eksistensial tentang peran manusia sebagai makhluk yang diciptakan untuk berbuat adil dan menegakkan kebenaran.
Membangun peradaban Islam yang independen menuntut bukan hanya kedaulatan politik, tetapi juga kemandirian ilmu, budaya, dan sistem nilai. Hanya dengan landasan ini, umat Islam dapat keluar dari ketergantungan dan menjadi penyumbang makna bagi peradaban global yang hari ini sedang mengalami krisis nilai.
"Dalam filsafat Islam, independensi bukanlah pemisahan dari dunia, tetapi tahalli (pengosongan diri dari pengaruh destruktif), tajalli (penyinaran ruhani), dan fana (peleburan dalam kehendak Tuhan)"
Independensi atau kemerdekaan seringkali dipahami secara sempit sebagai ketiadaan penjajahan fisik atau politik. Namun dalam perspektif spiritual dan filosofis, terutama dalam tradisi pemikiran Islam, hakikat independensi jauh lebih dalam dan kompleks. Independensi bukan sekadar kondisi eksternal yang bersifat temporer, melainkan sebuah realitas batin dan eksistensial yang meniscayakan kebebasan jiwa dari belenggu hawa nafsu, ketergantungan ideologis, dan dominasi sistem duniawi. Dengan kata lain, independensi sejati bermula dari transformasi diri, yang membebaskan individu dan masyarakat dari tirani internal maupun eksternal.
Dalam konteks spiritual Islam, kemerdekaan hakiki adalah kebebasan dari ghuluw (berlebihan) dan ketergantungan pada hal-hal yang fana. Hakikat ini berakar pada konsep tawhid sebagai fondasi keberadaan. Seperti ditegaskan oleh Imam Ali a.s., “Jadilah engkau manusia yang merdeka meski terpenjara”—pesan yang menegaskan bahwa kemerdekaan hakiki bukan soal kondisi fisik, melainkan kekuatan ruhani yang melampaui batasan duniawi. Ketika seseorang mampu mengendalikan dirinya sendiri, melepaskan ketergantungan pada materialisme, ideologi asing, dan dorongan hawa nafsu, ia telah mencapai tingkat kemerdekaan yang paling murni.
Secara filosofis, independensi dapat dipahami sebagai kesadaran autentik akan eksistensi dan tanggung jawab. Filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan terutama Ibn Arabi menekankan konsep al-insan al-kamil (manusia sempurna) yang merupakan individu yang sadar akan hakikat dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah sekaligus khalifah di bumi. Individu yang mencapai kesempurnaan ini tidak hanya bebas dari penindasan eksternal, tetapi juga dari penindasan batin yang berupa ketidaktahuan, keterbelengguan emosi, dan kepalsuan identitas. Dengan demikian, independensi spiritual menyatu dengan kemajuan intelektual dan moral.
Dalam dimensi sosial-politik, hakikat independensi menuntut kemerdekaan yang tidak parsial atau fragmentaris, tetapi holistik. Tidak cukup hanya membebaskan tanah air dari penjajahan fisik tanpa membebaskan pikiran, budaya, dan ekonomi dari dominasi asing. Dalam hal ini, perjuangan kemerdekaan dunia Islam harus berakar pada pengakuan bahwa kemerdekaan sejati meliputi pembebasan dari coloniality of power—yang tidak hanya berwujud kontrol fisik, tetapi juga hegemoni budaya dan epistemik. Frantz Fanon, pemikir pembebasan dari Afrika, menegaskan bahwa revolusi yang gagal membebaskan mentalitas dan budaya umat akan menjadi revolusi yang sia-sia.
Hakikat independensi juga dapat dipandang dari sudut pandang metafisis, di mana kemerdekaan adalah manifestasi dari fitrah manusia yang suci dan bebas. Manusia diciptakan dengan potensi kebebasan yang melekat, yang akan mengantarkan pada kebahagiaan dan kesempurnaan. Namun kebebasan ini bisa hilang atau terdistorsi jika manusia terjebak dalam ilusi duniawi dan ideologi-ideologi yang mengekang. Dalam tradisi irfan, kemerdekaan jiwa adalah proses fana fi Allah—menghilang dalam kesatuan dengan Tuhan—yang justru membawa manusia pada kebebasan tertinggi, karena hanya dengan menyerahkan diri kepada Yang Maha Esa, seseorang menjadi benar-benar merdeka dari segala bentuk ketergantungan dan kecemasan.
Dalam tataran praktis, hakikat independensi menuntut sinergi antara kesadaran spiritual dan aksi kolektif. Spiritualitas tanpa aksi bisa menjadi apatis; sedangkan aksi tanpa landasan spiritual bisa terjebak pada kekerasan dan nihilisme. Oleh karena itu, kebebasan yang utuh hanya dapat diraih jika individu dan masyarakat membangun kembali nilai-nilai tauhid sebagai landasan moral dan epistemologis, sekaligus menerjemahkan nilai tersebut dalam tindakan sosial-politik yang progresif dan berkeadilan.
Akhirnya, independensi adalah perjalanan berkelanjutan—bukan tujuan statis—yang mengharuskan umat Islam terus-menerus merefleksikan diri, mengkritik struktur kekuasaan, dan membangun peradaban yang beradab. Proses ini adalah jihad besar, yang membutuhkan keberanian, kebijaksanaan, dan kesabaran. Sebab kemerdekaan sejati adalah sebuah rahmat yang diperoleh melalui perjuangan batin dan lahir, yang mengantarkan umat Islam dari belenggu subordinasi menuju kemuliaan sebagai umat yang mandiri dan bermartabat dalam tata dunia global.
Kesimpulan
Independensi dalam dunia Islam bukan sekadar proyek politis, melainkan misi peradaban. Dunia hari ini sedang mencari makna, dan Islam memiliki seluruh perangkat untuk menyuguhkannya: tauhid sebagai fondasi, akhlak sebagai jalan, dan keadilan sebagai tujuan. Namun, untuk menjawab panggilan sejarah ini, umat Islam harus terlebih dahulu merdeka dari ilusi, dari ketakutan, dan dari cinta dunia yang berlebihan.
Kebangkitan Islam bukanlah kebangkitan militer, tetapi kebangkitan ruh. Ia dimulai dari individu yang sadar akan peran ilahinya, lalu meluas ke masyarakat dan negara yang menolak menjadi alat kekuasaan global. Hanya dengan itulah kita bisa membangun dunia yang bebas bukan hanya dari penjajahan, tetapi juga dari kehampaan makna.
Dunia Islam saat ini menghadapi tantangan kompleks dalam upaya meraih independensi yang sesungguhnya di tengah tata dunia global yang sarat dengan sistem ketergantungan dan dominasi. Independensi bukan sekadar pembebasan dari penjajahan fisik atau politik, melainkan sebuah proses mendalam yang mencakup kebebasan spiritual, intelektual, ekonomi, dan sosial. Dengan memahami tauhid sebagai pondasi filsafat pembebasan, umat Islam diingatkan bahwa kebebasan sejati bermula dari kesadaran akan keesaan Tuhan yang menggerakkan transformasi diri dan masyarakat secara utuh.
Sistem global yang ada selama ini justru seringkali memperkuat ketergantungan yang menjerat dunia Islam dalam lingkaran subordinasi, menjadikan kemerdekaan yang diraih secara lahiriah hanya bersifat parsial dan rapuh. Untuk itu, dunia Islam harus mengembangkan paradigma independensi yang holistik — yang membebaskan jiwa dan pikiran dari belenggu ideologi asing dan sistem kapitalistik yang menindas, sekaligus membangun peradaban yang berlandaskan nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan berdasarkan prinsip-prinsip tauhid.
Hakikat independensi dalam perspektif spiritual dan filosofis menegaskan bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan batin yang membebaskan manusia dari ketergantungan pada segala sesuatu selain Tuhan. Kemerdekaan ini bukanlah tujuan yang statis, melainkan sebuah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan batin dan lahir secara simultan. Oleh karena itu, kemerdekaan dunia Islam hanya dapat dicapai melalui sinergi antara pembebasan spiritual, pembaruan intelektual, dan aksi sosial-politik yang berorientasi pada keadilan.
Dengan membangun kembali kesadaran tauhid sebagai pusat kehidupan, umat Islam dapat mendobrak struktur ketergantungan dan mengukir peran sebagai subjek yang mandiri dan bermartabat dalam tatanan dunia yang lebih adil. Perjalanan ini bukan hanya demi kepentingan umat Islam semata, tetapi juga demi terciptanya keseimbangan dan perdamaian global yang hakiki. Dalam konteks itulah, independensi sejati menjadi keniscayaan bagi dunia Islam yang ingin berdiri tegak sebagai kekuatan moral, intelektual, dan peradaban di panggung dunia.
Catatan Kaki
[2] Ali Syariati, Tauhid: Ideologi Pembebasan, terj. Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1981.
[3] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Oxford University Press, 1930.
[4] Mulla Sadra, Asfar al-Arba'ah, ed. Sayyid Muhammad Khwansari, Teheran: Bunyad-e Hikmat, 1996.
[5] Imam Khomeini, Wilayat al-Faqih, terjemahan indonesia
0 Komentar