Subscribe Us

ksk logo.jpg

Deisme dalam Neraca Akal


Ustadz Mohammad Adlany, Ph.D

Deisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, tapi setelah itu tidak lagi terlibat dalam urusannya. Tuhan dianggap seperti tukang jam: Ia merancang, menghidupkan, lalu membiarkannya berdetak sendiri. Paham ini menolak wahyu, mukjizat, dan campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia. Ide ini berkembang kuat di Barat sejak abad ke-17 dan ke-18, terutama di kalangan para pemikir seperti Voltaire, Thomas Paine, dan John Locke.

Dalam pandangan deistik, Tuhan tidak menurunkan wahyu, tidak mengutus nabi, dan tidak melakukan mukjizat. Segala sesuatu dapat diketahui hanya melalui akal dan alam (natural theology), bukan agama wahyu. (Thomas Paine, The Age of Reason, 1794).

Pandangan ini bukan hanya tidak memadai, tapi juga bertentangan dengan akal sehat.

Al-Farabi memandang Tuhan yang Mahasempurna terus “mengalir" ke semua tingkatan wujud secara berurutan hingga sampai ke alam materi.

Wujud segala sesuatu tergantung pada limpahan-Nya, dan ia terus-menerus memberi keberadaan.” (Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, hlm. 85)

Bagi Al-Farabi, Tuhan tidak berhenti bekerja setelah menciptakan alam, melainkan menjadi sumber eksistensi yang terus mengalir.

Ia juga menegaskan bahwa manusia bisa mendekat kepada Tuhan melalui akal aktif, yang menjadi medium antara Tuhan dan jiwa manusia. Artinya, Tuhan tidak jauh dan tidak diam.

Ibn Sina menolak gagasan bahwa Tuhan menciptakan lalu meninggalkan ciptaan-Nya. Dalam pandangannya, wujud segala sesuatu bergantung terus-menerus pada Tuhan sebagai wujud-yang-niscaya. Artinya, tanpa kehadiran Tuhan secara konstan, segala sesuatu akan lenyap.

Setiap yang-mungkin-ada (ciptaan) membutuhkan kepada sebab dalam keberlangsungannya, bukan hanya dalam permulaannya.” (Al-Syifa’, bagian Ilahiyyat, jilid 1, hlm. 293)

Bagi Ibn Sina, Tuhan bukan hanya pencipta awal, tapi juga penjaga eksistensi setiap saat. Ini bertentangan langsung dengan deisme yang meniadakan keterlibatan Tuhan setelah penciptaan.

Fakhruddin al-Razi menekankan bahwa hikmah (kebijaksanaan) Tuhan menuntut keterlibatan dalam ciptaan-Nya. Jika Tuhan bijaksana, maka segala ciptaan pasti memiliki tujuan dan terus dibimbing.

“Bagaimana bisa Tuhan yang Maha Bijaksana mencipta tanpa maksud, lalu tidak memelihara ciptaan-Nya?” (Al-Mabahits al-Masyriqiyyah, jilid 2, hlm. 398)

Ia menganggap pandangan yang memisahkan Tuhan dari sejarah manusia adalah bentuk pengingkaran terhadap sifat-sifat Tuhan itu sendiri.

Mulla Sadra memandang Tuhan adalah wujud paling sempurna yang terus-menerus memancarkan keberadaan ke segala sesuatu.

“Setiap keberadaan adalah pancaran dan manifestasi dari Wujud Mutlak (Tuhan) yang senantiasa hadir dan memberi eksistensi.” (Asfar, jilid 6, hlm. 20)

Pandangan ini menunjukkan bahwa Tuhan aktif dalam segala hal, bukan hanya pencipta awal. Setiap ciptaan bergantung sepenuhnya dan mutlak kepada Sang Pencipta dan mustahil dapat terpisah dari wujud-Nya secara eksistensial. Ini membantah asumsi dasar deisme yang menempatkan Tuhan sebagai entitas pasif dan dapat terpisah dari ciptaan secara eksistensial.

Ibn Arabi menekankan kehadiran Tuhan dalam semua wujud melalui konsep wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi). Ia tidak melihat alam sebagai sesuatu yang ditinggal oleh Tuhan, tapi sebagai tajalli (penampakan) Tuhan.

“Tuhan tidak pernah berhenti menyatakan Diri-Nya dalam ciptaan, karena wujud makhluk adalah cermin bagi wujud-Nya.” (Ibn Arabi, Fushush al-Hikam, hikmah Adamiyyah, hlm. 47)

Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah kehadiran yang paling dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher. Alam bukan benda mati yang ditinggal, melainkan panggung kehadiran ilahi.

Ibn Arabi mengajarkan kedekatan, partisipasi, dan cinta ilahi yang terus-menerus menghidupkan dunia.

Jika Tuhan menciptakan dunia tapi tidak peduli dengan isinya, maka Tuhan digambarkan sebagai pribadi yang dingin dan apatis. Ini sangat bertentangan dengan gagasan moral tentang Tuhan yang Mahapengasih dan Mahapeduli terhadap makhluk-Nya.

Deisme telah membuang konsep Tuhan sebagai sumber kasih sayang dan keadilan; yang tersisa hanyalah arsitek yang tidak punya kepedulian moral.” (Alister McGrath, The Twilight of Atheism (2004), hlm. 43)

Deisme mengakui adanya Tuhan pencipta, tapi sekaligus menolak bahwa Tuhan terlibat dalam ciptaan-Nya. Ini dianggap tidak konsisten secara logis. Jika Tuhan menciptakan dunia dengan tujuan, bukankah wajar bila Ia juga terlibat dalam menjaganya?

Gagasan tentang Tuhan yang mencipta tetapi tidak memelihara ciptaan-Nya adalah sama seperti mengakui adanya perancang mesin, tapi menolak bahwa ia punya maksud dengan ciptaannya.” (Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford University Press, 2004), hlm. 95)

Deisme menolak wahyu dan pengalaman religius. Padahal sepanjang sejarah, manusia selalu merasa ada komunikasi dengan yang Ilahi, entah melalui doa, mukjizat, atau pengalaman batin. Ini tidak bisa sekadar diabaikan sebagai halusinasi kolektif. 

“Kalau semua agama besar memiliki kesamaan dalam pengalaman spiritual, mungkinkah itu semua hanya delusi? Atau justru itulah bukti keberadaan Tuhan yang aktif?” (William James, The Varieties of Religious Experience (1902), hlm. 25)

Deisme mengandalkan akal dan hukum alam sebagai sumber etika. Namun, sejarah menunjukkan bahwa akal manusia saja tidak selalu cukup membimbing pada kebaikan. Etika tanpa Tuhan yang aktif dianggap rentan terhadap relativisme moral.

Jika Tuhan tidak hadir dalam sejarah, maka siapa yang menjamin bahwa kebaikan akan menang? Tanpa Tuhan yang aktif, etika kehilangan harapannya.” (C.S. Lewis, Mere Christianity (1943), hlm. 58)

Banyak kepercayaan agama didasarkan pada pengalaman kolektif umat terhadap wahyu, mukjizat, dan sejarah nabi. Menolak semua ini seperti menolak rekam jejak sejarah spiritual umat manusia.

Deisme mengabaikan terlalu banyak data historis dan pengalaman manusia demi mempertahankan kesucian rasio semata.” (John Hick, Philosophy of Religion (1990), hlm. 122)

Apakah Deisme Masih Relevan?

Deisme memang pernah menjadi jalan tengah antara ateisme dan teisme. Namun seiring waktu, pemikiran ini dianggap terlalu kering, terlalu mekanis, dan tidak memadai dalam menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan yang hidup dan aktif. Tuhan bukan sekadar pencipta, tapi juga pembimbing, penyayang, dan penjawab doa. Tuhan bukan jam yang ditinggal, tapi cahaya yang terus menyala.

gambar : https://www.shutterstock.com/id/search/deisme,  https://wisata.viva.co.id/pendidikan/

Posting Komentar

0 Komentar