Tajuddin Nur
Di setiap zaman, ada sosok yang tidak hanya melintasi sejarah, tetapi menembusnya. Sosok yang tidak hanya hadir sebagai bagian dari peristiwa, tetapi menjadi poros dari perenungan. Imam Ali bin Musa ar-Rido adalah salah satunya. Di tengah badai kekuasaan dan retak kepercayaan umat pada keadilan, beliau hadir sebagai pancaran hikmah, sebagai cahaya ridha yang menenangkan dalam pusaran konflik dan intrik kekuasaan Bani Abbasiyah.
Ia bukan hanya seorang Imam dari Ahlulbait, bukan sekadar ulama, bukan pula tokoh politik dalam pengertian duniawi. Ia adalah manifestasi dari akhlak Rasulullah dalam tubuh yang lembut namun kukuh. Ia adalah pelanjut jalan kebenaran yang sunyi, namun penuh nyala cinta kepada Tuhan dan manusia.
Lahir pada tahun 148 H di Madinah, Imam Rido hidup dalam lingkungan ilmu, ketakwaan, dan perjuangan. Ayahnya, Imam Musa al-Kazhim, dikenal sebagai simbol kesabaran dan tahan uji. Ibunya, Najmah, seorang perempuan salehah dan berakhlak tinggi. Dari keluarga inilah Imam Rido mewarisi bukan hanya darah kenabian, tetapi juga tradisi ilmu yang agung.
Sejak usia muda, Imam Rido telah menonjol dalam bidang ilmu, akhlak, dan keluasan pandangan. Ia dikenal sebagai penghafal Al-Qur'an, ahli hadis, faqih, dan juga seorang sufi sejati. Ia tidak hanya mengajarkan hukum-hukum Islam, tapi juga menghidupkan ruhnya. Ilmunya bukan hanya retorika, tetapi perbaikan jiwa. Tak heran, banyak ulama dari berbagai mazhab menghormatinya, bahkan belajar kepadanya.
Kehadirannya di Madinah menjadi seperti mata air bagi para pencari hikmah. Dalam setiap ucapannya terkandung kearifan, dalam setiap diamnya mengalir kedalaman. Ia hidup di zaman yang menuntut para pemuka agama untuk memilih: bergandengan dengan kekuasaan atau berdiri menjaga kemurnian agama dari jauh. Imam Rido, seperti para pendahulunya, memilih jalan yang sunyi namun mulia: jalan perlawanan spiritual.
Tatkala Al-Ma’mun menjadi khalifah Abbasiyah, ia menghadapi tekanan politik dari dalam dan luar. Di tengah gejolak internal dan kecintaan rakyat kepada Ahlulbait yang semakin besar, ia memainkan strategi yang tampak cerdas: menjadikan Imam Rido sebagai wali 'ahd, putra mahkota.
Banyak orang mengira ini adalah langkah damai, bentuk pengakuan Abbasiyah terhadap hak Ahlulbait. Namun Imam Rido tahu, ini bukan hadiah. Ini adalah racun yang dibungkus kemilau kekuasaan. Al-Ma’mun hendak mengikat Imam ke dalam sistem, menutup ruang kritik dengan kooptasi simbolik.
Ketika Imam ditawari jabatan itu, ia menolak. Namun Al-Ma’mun bersikeras dan mengancam. Akhirnya Imam menerimanya, dengan syarat: ia tidak akan ikut campur dalam pemerintahan, tidak akan memutuskan hukum, tidak akan menjalankan kekuasaan. Dalam bahasa lain, ia menerima jabatan tanpa substansi, hanya demi menjaga darah kaum mukminin tidak tertumpah.
Imam Rido tidak tertarik pada singgasana. Baginya, ridha Allah lebih penting dari semua takhta di bumi. Ia tahu, kekuasaan tanpa keadilan hanyalah nama lain dari penindasan. Maka ia tetap menjadi dirinya: guru umat, cahaya hikmah, penyeru kepada Allah.
Perjalanan dari Madinah ke Khurasan bukan sekadar perpindahan geografis. Ia adalah hijrah spiritual, seperti hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah. Setiap kota yang dilalui Imam menjadi saksi akan akhlaknya. Ia berhenti, mengajar, berdialog, bersedekah, menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah.
Di Nishapur, para ulama dan murid-murid hadis memohon satu hadis dari beliau. Lalu Imam mengucapkan satu kalimat yang abadi dalam sejarah Islam:
"Kalimat La ilaha illallah adalah benteng-Ku, siapa yang memasukinya akan selamat dari azab-Ku—dengan syarat ia memenuhi haknya."
Lalu beliau menambahkan: "Hak kalimat tauhid adalah menjauhkan diri dari maksiat kepada Allah dengan hati, lisan, dan anggota tubuh."
Inilah esensi Islam menurut Imam Rido: Tauhid bukan hanya pengakuan lisan, tetapi penyucian diri secara utuh.
Sesampainya di Khurasan, Imam tidak mencari pengaruh politik. Ia membuka majelis ilmu, bahkan berdialog dengan tokoh-tokoh agama lain: Kristen, Yahudi, Zoroaster. Ia tidak menyerang, tidak mengejek, tidak menghina. Ia mengajak kepada akal, kepada hati nurani.
Dalam satu debat, ketika seorang rahib Kristen bertanya tentang Injil dan Isa, Imam menjawab dengan argumentasi yang jernih dan akurat. Rahib itu tertegun, dan mengakui bahwa pengetahuan Imam jauh melampaui para pemuka agama.
Inilah Islam yang diajarkan Imam Rido: dialog, cinta, dan hujjah. Islam yang tidak memaksakan, tapi mengajak. Islam yang tidak menundukkan dengan pedang, tetapi dengan nurani dan keindahan akhlak.
Namun cahaya yang bersinar terlalu terang sering kali ditakuti oleh penguasa yang berjalan dalam gelap. Al-Ma’mun mulai melihat bahwa kehadiran Imam bukan menambah legitimasi, tapi justru mengancam kekuasaan. Rakyat mencintainya lebih dari khalifah. Ilmunya mematahkan logika kekuasaan. Maka racun kembali menjadi senjata.
Dalam sebuah jamuan resmi, Imam Rido diracun. Tubuhnya melemah, wajahnya pucat, namun jiwanya tetap tenang. Ia tahu, ajal adalah bagian dari takdir Ilahi, dan syahadah adalah puncak dari jalan cinta. Dalam derita racun, Imam masih menyampaikan wasiat kepada pengikutnya, agar tetap menjaga amanah dan akhlak Islam.
Beliau wafat pada tahun 203 H, dalam usia sekitar 55 tahun. Dunia kehilangan seorang wali. Namun ruhnya tetap menyinari sejarah.
Makamnya di Mashhad, Iran, kini menjadi tempat ziarah terbesar umat Syiah dan pencinta Ahlulbait. Di sana, jutaan orang setiap tahun datang bukan untuk meminta dunia, tapi untuk mencari kedamaian. Di hadapan pusara itu, banyak orang menangis, bukan karena sedih semata, tapi karena merasakan kehadiran ruh yang agung. Seolah Imam masih berbicara dalam diamnya.
Warisan Imam Rido adalah warisan akhlak. Ia tidak mendirikan negara, tapi mendirikan jiwa-jiwa. Ia tidak menulis kitab besar, tapi hidupnya adalah kitab yang terbuka. Ia tidak pernah berteriak, tapi suaranya menggema hingga hari ini.
Ia mengajarkan bahwa ridha Allah harus diutamakan atas segalanya. Bahwa kekuasaan adalah ujian, bukan anugerah. Bahwa keadilan tidak bisa ditegakkan dengan ketakutan, tapi dengan keteladanan.
Dalam dunia hari ini, ketika agama sering dijadikan alat kekuasaan, ketika simbol keagamaan dipakai untuk menutupi kezaliman, Imam Rido adalah cermin. Kita belajar darinya bahwa tidak semua yang berselubung agama membawa kebenaran. Bahwa ulama sejati adalah mereka yang tidak mencari jabatan, tapi menjaga jiwa. Bahwa kekuatan sejati bukan pada pasukan, tapi pada keteguhan hati.
Imam Rido adalah suara sunyi di tengah riuh kekuasaan. Ia mengajarkan kita tentang makna keberanian yang tidak meledak-ledak, tetapi membakar dari dalam. Tentang perlawanan yang tidak frontal, tapi lebih mematikan: perlawanan dengan ilmu, akhlak, dan kejujuran.
Imam Ali bin Musa ar-Rido, engkau bukan hanya pewaris Nabi, tapi juga cermin zaman. Engkau mengajarkan bahwa dalam dunia yang penuh tipu daya, manusia tetap bisa jujur. Dalam dunia yang haus kekuasaan, masih bisa ada cinta. Dalam dunia yang menggila karena tahta, masih ada jiwa yang ridha pada Tuhan semata.
Engkau telah pergi secara jasmani, tapi ruhmu masih hidup dalam doa-doa kami, dalam hati para pencinta kebenaran. Dan setiap kali kami terjatuh dalam dunia yang kejam, kami menoleh kepadamu—sebagai teladan bahwa dalam sunyi yang ridha, ada kemenangan yang sejati.
Doa-doa dari Langit Khurasan
Imam Rido, cucu Rasulullah yang suci, tidak hanya meninggalkan warisan berupa pemikiran dan perjuangan, tapi juga cahaya-cahaya doa yang menyentuh langit dan membasuh hati umat manusia hingga hari ini. Dalam berbagai riwayat, ia dikenal sebagai sosok yang sering bermunajat panjang dalam malam yang sunyi, mengalirkan air mata dalam sujud yang dalam, memanggil Rabb-nya dengan kelembutan dan keluhuran.
"Ya Allah, jadikanlah aku ridha terhadap kehendak-Mu, dan tanamkan dalam hatiku cinta kepada segala yang Engkau tetapkan bagiku. Jangan Engkau palingkan aku dari-Mu walau dalam sekejap mata. Tunjukkan aku kepada kebenaran, dan kokohkan aku di atasnya sampai Engkau memanggilku dalam keadaan Engkau ridha kepadaku, dan aku ridha kepada-Mu."
Doa ini bukan hanya ungkapan pasrah, tapi manifestasi dari kesadaran paling tinggi dalam spiritualitas Islam: ridha. Dalam pandangan irfan, ridha bukanlah ketundukan tanpa makna, melainkan keakraban dengan Allah hingga segala ujian pun menjadi jalan untuk mengenal-Nya. Imam Rido bukan sekadar nama; ia adalah simbol dari maqam ridha itu sendiri.
Maka, meneladani Imam Rido adalah menapaki jalan ke dalam, jalan mendaki menuju kesucian batin, jalan menjauhi ego dan memeluk hikmah ilahi. Dalam dunia yang penuh kegaduhan ini, siapa pun yang mencari cahaya bisa menoleh ke Khurasan, ke pusara Imam yang damai, dan merasakan hembusan ketenangan dari sang Imam Ridha.
Ya Allah, limpahkan shalawat atas Ali bin Musa al-Ridha, pemilik hati yang bersinar, penyejuk mata para pecinta-Mu. Bangkitkan kami dalam barisan para pecintanya, anugerahkan kepada kami cahaya ilmunya, dan tanamkan dalam jiwa kami kesabaran dan ridha sebagaimana ia bersabar dan ridha kepada-Mu. Jadikan hidup kami jalan menuju-Mu, dan wafat kami dalam pelukan keridhaan-Mu.
Tulisan ini adalah secuil usaha mengenang jejak emas Imam Rido, namun hakikatnya ia tidak bisa ditulis oleh pena duniawi. Ia hidup dalam hati para arifin, dalam sujud orang-orang yang menangis dalam sunyi, dalam perjuangan mereka yang menolak tirani dengan kesabaran dan ilmu.
Khurasan menjadi saksi, bahwa seorang Imam bisa tak berpedang namun tetap mengguncang kekuasaan, bisa dibungkam namun terus berbicara lewat hati umat. Semoga setiap pembaca tulisan ini, kelak menjadi peziarah hakikat, yang bukan hanya datang ke makam Imam, tapi juga menyerap jiwanya dan membawa cahayanya pulang ke relung diri dan masyarakat.
Ditulis sebagai persembahan untuk jiwa-jiwa yang mencari ridha Tuhan melalui cahaya para Imam.
gambar : https://parstoday.ir/id/radio, https://iqna.ir/id
0 Komentar