Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.
Ada memori yang melekat dalam benak masa kecil saya, yang baru saya pahami maknanya sekarang ini. Setiap usai Subuh, kami di surau melanjutkan dengan wirid dengan menggenggam tasbih, lalu mengucap kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahu Akbar. Rangkaian dzikir itu, yang dulu sekadar rutinitas, ternyata adalah Tasbih az-Zahra, warisan spiritual langsung dari Rasulullah SAW kepada putrinya, Sayyidah Fatimah az-Zahra. Dan setelah itu, kami akan melanjutkan dengan wirid dan doa yang dipimpin oleh Imam Shalat. Setelah itu kami bersalaman sambil melantunkan satu shalawat yang khas dan tak pernah saya dengar di tempat lain:
صَلَّى اللهُ عَلَىٰ طَهَ خَيْرِ خَلْقِهِ وَأَهْلِهِا، وَالْكَرَّةِ ﻷَﺑِي ﺍﻟْﺨُﺮْﻣَﺎ وَالزَّهْرَاءِ وَابْنَيْهَا
Shallallāhu 'alā Ṭāhā khayri khalqihī wa ahlihā, wal-karrah li Abī al-Khurmā waz-Zahrā’ wa ibnayhā.
Artinya:
Semoga shalawat Allah tercurah kepada Ṭāhā (Nabi Muhammad), sebaik-baik ciptaan-Nya dan kemenangan kembali bagi Abu Khurma (Ali), az-Zahra (Fatimah), dan kedua putranya (Hasan dan Husain).
Diucapkan pelan tapi khidmat, kadang diiringi airmata yang tak tahu sumbernya. Baru belakangan saya sadari, bahwa shalawat ini tidaklah sederhana. Ia bukan hanya doa atau pujian, tetapi sebuah kode kosmis, pesan teologis, dan afirmasi sejarah yang mengguncang.
Dalam teks itu disebut: “Shalawat atas Thaha, sebaik-baik makhluk, dan kemenangan kembali bagi Abul Khurma (Imam Ali), Zahra dan kedua putranya.” Kata “kemenangan kembali” yang digunakan adalah al-Karrah, suatu istilah yang bisa kita sambungkan dengan teologi Syiah, yang menunjuk pada keyakinan akan raj‘ah: yaitu kembalinya para Imam maksum—terutama Ali, Fatimah, Hasan dan Husain—ke dunia sebelum hari kiamat untuk menegakkan keadilan dan membalas kezaliman sejarah. Jika kemenangan kembali itu tidak dirujuk kan kepada konsep raj'ah maka kata itu menjadi tidak bermakna.
Yang lebih menarik, nama Imam Ali dalam shalawat ini tidak disebut langsung, melainkan disamarkan dengan “Abul Khurma”. Ini bukan sekadar puisi. Ini adalah strategi. Gaya ulama Ahlul Bait dalam menyampaikan ajaran mereka di masa tekanan. Saat menyebut nama Ali secara eksplisit bisa berbahaya, maka digunakanlah metafora, kinayah, dan isyarat. Tapi tak bisa disangkal bahwa “Abul Khurma” yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, suami Sayyidah Zahra dan ayah dari Hasan dan Husain.
Penyebutan "Zahra" dalam teks ini semakin memperjelas identitas yang dimaksud, sebab nama itu adalah gelar masyhur Fatimah di kalangan Muslim, tak terkecuali Ahlus Sunnah. Sementara “wabnaha” (dan kedua putranya) tidak lain adalah Hasan dan Husain, cucu Rasulullah yang dijadikan pemimpin pemuda surga. Maka struktur shalawat ini, meski singkat, mengandung arsitektur teologi yang dalam: Nabi, Ahlul Bait, dan kemenangan akhir bagi kebenaran.
Yang mengejutkan, shalawat ini diajarkan secara turun-temurun di lingkungan masyarakat NU di Jawa Timur, khususnya di Gresik dan wilayah tapal kuda. Ia tidak dikenal luas sebagai doktrin resmi, tapi hidup sebagai tradisi lisan yang terjaga dalam ritual. Ini menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta kepada Ahlul Bait dan bahkan gagasan raj‘ah tidaklah asing di bumi Nusantara. Bahkan sangat mungkin—dan ini hipotesis yang masuk akal—bahwa shalawat ini berasal dari para Wali Songo, yang dikenal mengajarkan Islam melalui pendekatan kultural dan simbolik. Shalawat ini adalah salah satu media mereka untuk menanamkan benih mahabbah kepada Ahlul Bait tanpa menabrak batas sosial-politik zaman itu.
Gagasan ini sejalan dengan metode dakwah para Wali yang dikenal menggunakan simbol, suluk, dan syair. Raj‘ah yang dalam teologi Syiah mungkin tampak asing bagi mayoritas Ahlus Sunnah, disisipkan lewat shalawat. Bukan untuk mengubah akidah orang, tapi untuk membuka pintu pemahaman bahwa kebenaran dan keadilan adalah janji Tuhan yang akan ditegakkan kembali melalui Ahlul Bait.
Maka, setiap kali kita mengucap shalawat ini, kita tidak sedang mengulang tradisi semata. Kita sedang melafalkan doa dan pengharapan akan tegaknya keadilan ilahi, kembalinya sejarah yang bengkok ke garis lurusnya. Kita sedang menyampaikan solidaritas spiritual kepada mereka yang dizalimi dan mengafirmasi bahwa kebenaran tidak pernah mati, hanya menunggu saatnya untuk bangkit.
Sudah saatnya shalawat ini diteliti, dikaji, dan disebarkan secara luas bukan hanya sebagai ritual, tapi sebagai saksi dari kearifan lokal Islam Nusantara yang memuat ajaran terdalam cinta kepada Rasul dan keluarganya. Sebuah warisan yang menyatukan teologi, sastra, sejarah, dan cinta.
Dan barangkali, inilah bentuk paling halus dari raj‘ah itu sendiri—bukan hanya kembalinya Ahlul Bait, tapi kembalinya kesadaran kita tentang mereka.
gambar : https://daerah.sindonews.com/berita
0 Komentar