Tajuddin Nur
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel dalam dekade terakhir menunjukkan kecenderungan sistemik untuk menciptakan ketegangan, konflik, dan perang sebagai alat dominasi geopolitik dan ekonomi. Situasi terbaru yang menggambarkan rencana agresi militer terhadap Iran menegaskan kembali pola kebijakan destruktif tersebut.
Baik Amerika Serikat maupun Israel telah lama menggunakan perang dan konflik untuk mempertahankan hegemoni di kawasan Timur Tengah. Iran, yang memiliki posisi strategis dan kekuatan regional yang tumbuh, dianggap sebagai ancaman terhadap dominasi Barat dan kepentingan Zionis.
Rezim Zionis, di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu, secara konsisten memproyeksikan Iran sebagai musuh utama dan ancaman eksistensial, bukan karena Iran melakukan agresi, tetapi karena Iran berdiri sebagai kekuatan yang menolak tunduk pada agenda Zionis-Amerika. Netanyahu telah melobi selama puluhan tahun agar AS menyerang Iran, bukan atas dasar ancaman nyata, melainkan untuk mengamankan kepentingan strategis Israel di kawasan.
Iran selama ini menunjukkan komitmen terhadap solusi diplomatik dan multilateralisme. Dalam kesepakatan nuklir JCPOA (2015), Iran sepakat membatasi program nuklirnya demi menghindari konfrontasi, meskipun AS sendiri kemudian mencabut diri dari perjanjian tersebut secara sepihak pada masa pemerintahan Trump. Iran tetap mempertahankan posisi bahwa program nuklirnya bersifat damai, untuk kebutuhan energi dan riset medis.
Iran juga menjadi negara yang secara konsisten mendukung perjuangan rakyat tertindas seperti Palestina, tanpa melakukan ekspansi militer atau penjajahan wilayah negara lain, berbeda dengan Israel yang terus mencaplok wilayah Palestina, Lebanon, dan Suriah.
Melancarkan perang terhadap Iran membawa risiko bencana yang jauh melampaui wilayah negara itu sendiri:
1. Perang Regional Luas: Iran memiliki aliansi kuat dengan kelompok dan negara di kawasan, seperti Hizbullah di Lebanon, milisi Syiah di Irak, Houthi di Yaman, dan dukungan moral serta spiritual terhadap perjuangan Palestina. Serangan terhadap Iran akan memicu balasan dari berbagai poros resistensi ini, memicu perang regional luas.
2. Gangguan Energi Global: Iran mengontrol Selat Hormuz, jalur vital pengiriman minyak dunia. Perang akan menyebabkan gangguan pasokan energi global, menaikkan harga minyak, dan mengguncang perekonomian dunia.
3. Iran Bukan Irak atau Suriah: Dengan kekuatan militer, teknologi rudal canggih, jaringan intelijen luas, serta moralitas rakyatnya yang tinggi, Iran bukan target mudah. Serangan terhadap Iran akan menimbulkan korban besar, kehancuran, dan kekacauan global yang tidak bisa dikendalikan.
4. Justifikasi Iran untuk Mempercepat Senjata Nuklir: Serangan militer justru akan menjadi alasan kuat bagi Iran untuk mempercepat pembuatan senjata nuklir demi pertahanan diri, sesuatu yang selama ini justru mereka hindari.
5. Kegagalan Strategis AS dan Israel: Intelijen AS sendiri memperkirakan bahwa sekalipun serangan berhasil, program nuklir Iran hanya akan terhambat beberapa minggu atau bulan. Serangan itu tidak akan menghancurkan tekad Iran, malah akan memperkuat semangat nasionalisme dan perlawanan rakyatnya.
Dalam sistem imperium, perang bukan semata-mata alat militer, melainkan alat ekonomi dan politik. Korporasi pertahanan, industri minyak, dan elite politik mendapatkan keuntungan besar dari konflik. Rezim Zionis dan pendukung neokonservatif di AS menggunakan perang untuk menciptakan ketergantungan, membentuk tatanan politik regional baru yang sesuai kepentingan mereka, dan melemahkan negara-negara yang berani mandiri.
Penolakan sebagian elit pemerintahan AS terhadap serangan terhadap Iran — seperti yang ditunjukkan oleh Tulsi Gabbard, J.D. Vance, dan lainnya — menunjukkan adanya pergeseran kesadaran bahwa perang bukan solusi. Fakta bahwa Trump memutuskan untuk memilih jalur diplomasi, walau dengan motif politis, adalah pertanda bahwa tekanan publik dan realitas geopolitik mulai mengikis narasi perang yang selalu dibangun oleh kubu perang.
Jadi sekali lagi AS dan Israel telah lama menggunakan perang sebagai instrumen kekuasaan. Iran, meski dilabeli sebagai ancaman, justru adalah korban dari upaya sistematis untuk menghambat kemerdekaan dan kedaulatan kawasan. Menyerang Iran bukan hanya kesalahan strategis, tetapi kejahatan kemanusiaan yang akan mengakibatkan penderitaan luas dan kehancuran global. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak perang — dunia membutuhkan keadilan, dialog, dan penghormatan terhadap martabat setiap bangsa.
Di tengah konflik yang terus berkecamuk di Timur Tengah, muncul kembali wacana lama yang berbahaya: perang terhadap Iran. Rezim Zionis Israel, dengan dukungan sebagian elemen dalam pemerintahan Amerika Serikat, kembali melobi serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran — sesuatu yang telah lama diimpikan oleh Benjamin Netanyahu dan lingkaran neokonservatif di Washington.
Namun, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: untuk apa dan siapa perang ini sebenarnya?
Iran selama ini menunjukkan diri sebagai kekuatan regional yang tidak hanya berdaulat, tetapi juga menolak tunduk pada dominasi asing. Dalam kesepakatan JCPOA 2015, Iran bersedia membatasi pengayaan uraniumnya untuk menjamin dunia bahwa niatnya damai. Sayangnya, perjanjian itu dilanggar justru oleh pihak Amerika Serikat sendiri di bawah pemerintahan Trump.
Sekarang, ketika Iran menunjukkan kembali keterbukaan untuk bernegosiasi, mengapa justru Zionis-Israel yang panik?
Jawabannya sederhana: perang bagi mereka bukan tentang ancaman, melainkan tentang dominasi. Jika Iran terus tumbuh sebagai kekuatan regional yang merdeka, dengan sekutu-sekutu yang setia dan cita-cita perjuangan untuk rakyat tertindas seperti Palestina, maka proyek hegemoni Zionis-Amerika akan runtuh. Inilah sebab utama kenapa perang selalu dihidupkan, walau dalihnya berkali-kali berubah — dari senjata pemusnah massal, program nuklir, hingga isu-isu sektarian.
Lebih dari itu, menyerang Iran berarti membuka gerbang neraka baru di kawasan. Balasan dari Iran dan poros resistensi akan memicu perang regional yang tak terkendali. Sumber energi global terguncang, harga minyak melonjak, ekonomi dunia kacau. Dan yang paling tragis: ribuan, bahkan jutaan jiwa tak berdosa akan melayang.
Satu hal yang sering dilupakan oleh elite perang: rakyat bukan angka statistik. Rakyat Iran bukan pion dalam permainan mereka. Dan dunia — yang mulai lelah dengan perang demi perang — sudah saatnya berdiri dan berkata: cukup sudah!
Dalam dinamika geopolitik kontemporer, wacana serangan terhadap Iran kembali mengemuka. Kali ini, dorongan datang dari rezim Zionis Israel, dengan harapan mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat untuk melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran. Rencana ini, yang didorong secara agresif oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah serangan militer terhadap Iran adalah tindakan yang rasional, sah, dan membawa manfaat bagi keamanan internasional?
Iran dan Program Nuklirnya: Antara Persepsi dan Realitas
Iran selama dua dekade terakhir telah menjadi subjek kekhawatiran atas program nuklirnya. Namun, berdasarkan laporan-laporan resmi dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), belum pernah ditemukan bukti konkret bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir secara aktif. Iran sendiri menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan telah menyatakan komitmennya terhadap penggunaan energi nuklir untuk kepentingan damai.
Pada tahun 2015, melalui Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), Iran sepakat untuk membatasi tingkat pengayaan uraniumnya dan membuka fasilitas nuklirnya untuk pengawasan internasional. Perjanjian ini dihargai secara luas sebagai pencapaian diplomatik yang signifikan. Namun sayangnya, pada 2018, Presiden Donald Trump secara sepihak menarik Amerika Serikat dari kesepakatan tersebut, yang menyebabkan ketegangan kembali meningkat.
Motif Politik dan Strategi Dominasi
Menurut Noam Chomsky, intelektual dan kritikus kebijakan luar negeri AS, konfrontasi dengan Iran lebih didorong oleh keengganan Barat terhadap negara-negara yang menolak untuk tunduk pada struktur kekuasaan global yang dikendalikan oleh Amerika dan sekutunya. Dalam sebuah wawancara (2019), Chomsky mengatakan:
"Iran bukan ancaman karena senjata nuklir, tetapi karena kemerdekaannya. Ia berdiri di luar sistem kekuasaan yang dipimpin AS, dan itu tidak bisa diterima oleh kekuatan hegemonik."
Rencana Netanyahu untuk menyerang Iran juga mencerminkan strategi distraktif di tengah tekanan internal yang dihadapi Israel: krisis politik dalam negeri, kegagalan mencapai normalisasi dengan Arab Saudi, dan kegagalan meraih kemenangan militer di Gaza.
Bahaya Strategis dan Moral dari Serangan terhadap Iran
Serangan militer terhadap Iran — bahkan jika dilakukan dengan presisi tinggi — tidak akan mengeliminasi potensi nuklir negara tersebut. Menurut laporan intelijen dari berbagai lembaga, serangan semacam itu hanya akan menunda program nuklir Iran selama beberapa minggu atau bulan. Lebih dari itu, tindakan ini sangat mungkin memicu eskalasi luas di Timur Tengah, termasuk serangan balik terhadap pangkalan-pangkalan AS di wilayah tersebut, ancaman terhadap sekutu-sekutu AS seperti Arab Saudi dan UEA, serta potensi blokade di Selat Hormuz yang dapat melumpuhkan suplai minyak global.
Dari sudut pandang hukum internasional, serangan preventif terhadap Iran tanpa bukti konkret ancaman langsung juga akan melanggar Piagam PBB Pasal 2(4), yang melarang penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain.
Iran: Ancaman atau Peluang Perdamaian?
Menggambarkan Iran semata-mata sebagai ancaman merupakan penyederhanaan yang keliru. Sebaliknya, Iran adalah negara dengan potensi strategis yang besar untuk stabilitas regional jika diberi ruang dalam sistem global yang adil. Upaya negosiasi baru antara Iran dan AS menunjukkan bahwa pendekatan diplomatik masih memungkinkan dan lebih produktif ketimbang pendekatan militer.
Iran sendiri telah berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak akan mengembangkan senjata nuklir karena alasan moral dan religius. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bahkan mengeluarkan fatwa bahwa pengembangan dan penggunaan senjata nuklir adalah haram.
Kesimpulan: Diplomasi sebagai Jalan Kemanusiaan
Perang terhadap Iran bukan hanya tidak bijaksana, tetapi juga akan menjadi tragedi kemanusiaan dan kesalahan strategis yang mendalam. Dunia internasional seharusnya mendukung solusi diplomatik yang berbasis pada penghormatan terhadap kedaulatan dan prinsip keadilan global. Iran bukan musuh dunia; ia adalah salah satu dari banyak negara yang menuntut haknya untuk merdeka, sejahtera, dan damai.
Jika benar dunia menginginkan perdamaian, maka solusi terhadap konflik ini bukanlah rudal dan bom, melainkan dialog dan keadilan. Tentu dengan meletakkan prinsip dasar bahwa semua Negara setara.
Kesimpulan: Keadilan dan Rasionalitas dalam Menanggapi Iran
Iran adalah negara yang kompleks, dengan sejarah panjang, peradaban tua, dan peran strategis di kawasan Timur Tengah. Dalam dua dekade terakhir, dunia internasional — khususnya negara-negara Barat dan Israel — telah membingkai Iran dalam narasi ancaman yang seringkali dipenuhi prasangka geopolitik, bukan berdasarkan fakta objektif atau prinsip keadilan. Padahal, realitas menunjukkan bahwa Iran juga merupakan aktor rasional yang terbuka terhadap dialog, memiliki hak yang sah untuk menggunakan energi nuklir secara damai, dan menunjukkan komitmen terhadap perjanjian internasional seperti JCPOA.
Kebijakan dunia terhadap Iran harus keluar dari logika dominasi dan demonisasi, menuju pendekatan yang lebih adil, konstruktif, dan menghormati prinsip kedaulatan. Dunia harus menolak politik agresi yang didasarkan pada ambisi hegemonik atau kepentingan kelompok tertentu, karena hal itu bukan hanya menciptakan instabilitas regional, tetapi juga menyalahi nilai-nilai dasar hukum internasional dan moralitas kemanusiaan.
Kebijakan yang adil terhadap Iran adalah kebijakan yang:
1. Mengakui hak Iran untuk berdaulat dan mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai sebagaimana dijamin dalam perjanjian internasional;
2. Mendukung diplomasi, bukan militerisme, sebagai jalan penyelesaian konflik;
3. Menghindari standar ganda yang memperbolehkan satu negara memiliki ratusan hulu ledak nuklir (seperti Israel) sementara negara lain ditekan tanpa bukti pelanggaran;
4. Mendorong dialog regional yang inklusif, bukan politik blok dan isolasi;
5. Melihat Iran bukan sebagai musuh tetap, tetapi sebagai mitra potensial dalam membangun stabilitas dan keadilan di Timur Tengah.
Dunia tidak membutuhkan perang baru, tetapi kesadaran baru. Kesadaran bahwa keamanan sejati tidak dibangun di atas reruntuhan negara lain, tetapi atas rasa saling hormat, kerja sama, dan keadilan global. Iran, seperti halnya negara lain, berhak mendapatkan perlakuan yang adil, dan dunia berhak untuk menolak perang demi masa depan yang damai dan beradab.
gambar : t.me/PalestinaPost
0 Komentar