Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.
Ada suatu masa ketika Amerika Serikat berdiri sebagai pusat gravitasi dunia, ketika setiap gelombang teknologi, mode hidup, dan wacana politik global bertumpu pada Washington dan New York. Tetapi seperti semua kekuatan besar dalam sejarah, dari Roma hingga Inggris, kekuasaan Amerika tidak abadi. Hari ini, jika kita mencermati tanda-tanda zaman dengan jujur, kita menyaksikan perlahan tapi pasti, negara itu sedang menuju jurang kejatuhannya sendiri. Dan dua puluh tahun dari sekarang, dalam tarikan waktu yang cepat, Amerika tidak lagi akan menjadi adidaya, melainkan menjadi negeri pasar, negeri yang kehilangan keunggulannya, negeri yang menjadi ladang komoditas bagi bangsa-bangsa lain yang pernah dipandang sebelah mata.
Investasi besar-besaran Amerika dalam peperangan sia-sia telah menjadi lubang hitam yang menghisap energi produktif negara ini. Sejak awal abad ke-21, Amerika terlibat dalam perang-perang panjang di Afghanistan, Irak, Suriah, dan Libya, serta membiayai operasi-operasi militer rahasia di lebih dari 80 negara di dunia. Dalam laporan The Cost of War yang dikeluarkan oleh Brown University pada 2021, disebutkan bahwa Amerika menghabiskan lebih dari 8 triliun dolar untuk perang-perang ini. Joseph Stiglitz, penerima Nobel Ekonomi, dalam bukunya The Three Trillion Dollar War bahkan memperingatkan sejak awal bahwa biaya aktual jauh lebih besar daripada estimasi pemerintah. Triliunan dolar itu bukan saja tidak menghasilkan kemenangan strategis, tetapi juga menggerogoti fondasi fiskal Amerika dari dalam.
Bersamaan dengan pemborosan itu, Amerika juga memutuskan membuka front baru: perang dagang melawan Cina. Donald Trump mungkin yang pertama kali mengobarkan perang tarif, namun hingga kini semangat itu dilanjutkan dengan pendekatan yang makin defensif terhadap dominasi manufaktur Cina. Alih-alih menghentikan ekspansi Cina, langkah ini mempercepat fragmentasi tatanan global. Cina, bersama Iran, Rusia, India, dan beberapa kekuatan regional lain, bergerak untuk menciptakan jalur perdagangan alternatif, mendekonstruksi sistem dolar, dan memperkuat penggunaan mata uang lokal untuk transaksi lintas negara. Hari ini, sistem pembayaran digital lintas batas berbasis RMB telah beroperasi di lebih dari 30 negara, sebuah pukulan yang tak kecil bagi dominasi finansial Amerika.
PwC dalam laporan The World in 2050 memproyeksikan bahwa enam dari tujuh ekonomi terbesar dunia pada tahun 2050 akan berasal dari negara-negara berkembang: Cina, India, Indonesia, Brasil, Meksiko, dan Rusia. Amerika akan turun menjadi peringkat ketiga setelah Cina dan India. Sebuah transformasi yang monumental. Pertumbuhan PDB riil Amerika diperkirakan hanya 1,7% per tahun dari 2026 hingga 2054, menurut Congressional Budget Office (CBO), sementara Cina dan India diperkirakan tetap tumbuh di atas 3%-4% per tahun. Dunia baru yang muncul adalah dunia multi-kutub, di mana Amerika bukan lagi pusat, tetapi hanya salah satu dari banyak pemain yang bertarung memperebutkan pengaruh regional.
Ketidakstabilan domestik Amerika sendiri memperparah keruntuhan ini. Polarisasi politik telah mencapai titik nadir. Peter Turchin, seorang ilmuwan sosial terkemuka, dalam teorinya tentang "disintegrasi elit," memprediksi bahwa Amerika akan menghadapi periode krisis sosial besar pada dekade 2020-an dan 2030-an, yang dapat mengarah pada konflik sipil terbuka. Ketidaksetaraan ekonomi yang ekstrem, di mana 1% orang Amerika menguasai lebih dari 40% kekayaan nasional, telah menciptakan jurang kepercayaan antara rakyat dan penguasa yang nyaris tak terjembatani. Krisis identitas nasional semakin menguat seiring dengan proyeksi bahwa pada 2045, populasi kulit putih non-Hispanik akan menjadi minoritas di Amerika, hanya sekitar 49,7% dari total penduduk. Data dari Brookings Institution menunjukkan bahwa perubahan demografis ini, alih-alih membawa inklusi, justru berisiko memperdalam ketegangan rasial dan sektarian di seluruh negeri.
Beban utang nasional Amerika terus membubung. Menurut simulasi Wharton Budget Model, rasio utang terhadap PDB Amerika diperkirakan mencapai 200% pada 2045, suatu level yang jauh melampaui batas aman. Saat ini saja, biaya bunga tahunan atas utang federal telah mencapai hampir 1 triliun dolar, lebih besar dari anggaran pertahanan Amerika. Pada 2055, biaya bunga diprediksi mencapai 5,4% dari PDB, mengalahkan semua pos pengeluaran kecuali jaminan sosial. Amerika seperti orang yang menggadaikan rumahnya untuk membeli senjata, lalu menemukan dirinya tidak lagi punya atap untuk berlindung.
Dalam dunia perdagangan, Amerika mulai kehilangan relevansinya sebagai pusat produksi. Perusahaan-perusahaan manufaktur meninggalkan kawasan Rust Belt, sementara pusat teknologi Silicon Valley terguncang oleh ketergantungan mereka pada pasar luar negeri. Negara-negara seperti Cina, Iran, Rusia, dan bahkan Malaysia akan mengambil alih produksi semikonduktor, kecerdasan buatan, dan inovasi energi hijau. Dalam dua dekade ke depan, industri otomotif dunia, misalnya, tidak akan lagi berkiblat ke Detroit, melainkan ke Shenzhen, Kuala Lumpur, atau Teheran.
Tak hanya itu, moralitas global yang dulu dijadikan modal soft power Amerika, kini berbalik menjadi bumerang. Dukungan penuh terhadap tindakan genosidal Israel terhadap Palestina membuat Amerika kehilangan simpati dunia Islam dan negara-negara Selatan Global. Noam Chomsky sejak lama memperingatkan bahwa "imperium yang membangun legitimasi di atas ketidakadilan akan berakhir dalam kehinaan." Ketika Israel, seperti semua negara apartheid lainnya, akhirnya runtuh, Amerika akan tercatat sebagai sekutu terakhir yang mempertahankan ketidakadilan itu. Dunia tidak akan melupakan.
Di tengah segala keruntuhan itu, Cina, Iran, Rusia, Yaman, bahkan Malaysia, bergerak membentuk dunia baru. Cina memperkuat infrastruktur teknologi dan keuangannya. Iran, setelah mengatasi dekade sanksi, tumbuh menjadi kekuatan energi dan teknologi regional. Rusia membangun blok ekonomi alternatif dengan Eropa Timur dan Asia Tengah. Yaman, usai memenangkan perang panjang melawan invasi Saudi-Amerika, membangun kembali dirinya sebagai poros perdagangan Laut Merah. Malaysia mengukuhkan posisinya sebagai simpul logistik dan teknologi di Asia Tenggara. Dunia yang muncul bukan lagi dunia yang menunduk pada Gedung Putih, melainkan dunia yang bermitra secara sejajar tanpa dominasi tunggal.
Dalam dunia baru ini, Amerika akan menjadi negeri konsumen. Produk-produk teknologi canggih, kendaraan listrik, perangkat AI, bahkan obat-obatan akan diimpor dari negara-negara yang pernah mereka rendahkan. Di Wall Street, bahasa Mandarin, Persia, Rusia, Melayu akan terdengar lebih akrab daripada pidato-pidato bahasa Inggris yang dulu menguasai dunia. Kota-kota besar seperti New York dan Los Angeles akan tetap berdiri, tetapi mereka akan dipenuhi pusat-pusat perbelanjaan yang dikuasai perusahaan multinasional dari Shanghai, Teheran, Kuala Lumpur, dan Mumbai. Seperti Roma yang pernah menjadi pasar budak bagi bangsa barbar di utara, Amerika akan menjadi ladang pasar bagi kekuatan baru dunia.
Immanuel Wallerstein dalam The Decline of American Power sudah memperingatkan dua dekade lalu bahwa penurunan Amerika adalah soal waktu, bukan soal kemungkinan. Hari ini, tanda-tanda itu semakin nyata. Struktur politik dalam negeri yang rusak, beban fiskal yang tak tertanggulangi, ketidaksetaraan sosial yang menganga, hilangnya keunggulan manufaktur, serta runtuhnya legitimasi moral Amerika di mata dunia, semuanya membentuk sebuah takdir baru yang tak terelakkan: Amerika sebagai negeri yang kehilangan takdirnya.
Di tengah semua ini, mungkin yang paling ironis adalah bagaimana Amerika mengkhianati nilai-nilai yang pernah membuatnya besar: kebebasan, kesetaraan, kesempatan. Dalam kegilaan mengejar dominasi mutlak dan keuntungan jangka pendek, Amerika menggerogoti fondasinya sendiri. Hari ini, kita mungkin masih menyaksikan parade kekuatan Amerika di layar televisi, dalam wujud kapal induk, jet tempur, atau propaganda media. Tetapi 20 tahun dari sekarang, anak-anak kita akan membaca dalam buku sejarah bahwa Amerika, seperti semua imperium besar sebelum mereka, runtuh bukan karena serangan dari luar, melainkan karena kebodohan, kesombongan, dan kerakusan dari dalam.
Dan ketika dunia baru itu lahir, bangsa-bangsa yang dulu dianggap remeh — Iran, Yaman, Rusia, Malaysia, Cina — akan berdiri di atas reruntuhan itu, membentuk dunia baru yang mungkin jauh lebih adil, jauh lebih beragam, dan jauh lebih manusiawi daripada dunia yang selama ini dipaksakan oleh Amerika kepada seluruh umat manusia.
gambar : t.me//PalestinaPost
0 Komentar