Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Di sebuah pojok sunyi di Gresik, berdampingan dengan kiblat industri petrokimia yang mengepul dan berbau amoniak, berdiri satu pusara yang tak pernah benar-benar diam: makam Mbah Buyut Dirah. Beliau adalah keturunan langsung Sunan Giri, Sayyid Muhammad Ainul Yaqin, pembawa tongkat warisan keruhanian yang ditanamkan dalam bumi Jawa dengan darah dan air mata, bukan dengan anggaran dan konsesi. Tak banyak orang tahu, bahwa di tengah deru mesin kapitalisme dan aroma zat kimia yang menyayat paru-paru, masih ada detak spiritual yang hidup, bergetar dalam diam namun menyimpan daya ledak yang tak tertandingi oleh teknologi pabrik mana pun.
Mbah Dirah bukan sekadar nama. Ia adalah fragmen dari sejarah panjang perlawanan kultural yang tidak menghunus senjata tetapi menyusup ke jiwa. Haul yang digelar tiap tahun bukan seremonial kosong. Ia adalah muktamar batin, tempat cucu-cicitnya menyulam kembali tali sejarah yang hampir direnggut oleh relokasi, beton, dan cerobong industri. Mereka datang bukan hanya membawa doa, tapi juga kenangan kolektif, luka yang diwariskan secara turun-temurun, dan kerinduan akan dunia yang lebih suci dari kebisingan produksi.
Pabrik petrokimia yang berdiri megah di atas tanah yang dahulu dikenal dengan nama Tepen, Romo, dan sekitarnya, bukan hanya menyebabkan relokasi rumah-rumah warga. Ia juga menggusur hak manusia atas udara bersih, atas ketenangan spiritual, atas ruang sakral yang dahulu dihuni oleh para ulama. Tapi sejarah tidak pernah selesai dengan relokasi. Sebab ingatan yang ditanam dalam cinta tidak bisa dibuldoser. Dan malam haul itu, setiap tahun, adalah bukti bahwa relokasi itu gagal: makam itu masih berdiri, ziarah masih hidup, dan Mbah Buyut Dirah masih bertahta dalam hati ribuan orang yang tak pernah berhenti menengadah ke langit dan menolak tunduk pada tanah yang dijual murah kepada pengusaha.
Bau amoniak yang menusuk hidung di sekitar makam itu adalah semacam panggilan diam. Ia bukan hanya polusi; ia adalah saksi bisu akan konflik antara dua dunia: dunia spiritual yang menghidupi dan dunia industri yang menghisap. Di sinilah muncul makna sejati dari haul: bukan sekadar ritual doa, melainkan gerakan sunyi, perlawanan dalam bentuk yang tak dikenali oleh aparat dan pemilik modal. Sebab kekuatan spiritual tidak membutuhkan izin lingkungan, tidak mengenal batas zona industri, dan tidak dapat dikalkulasi dalam neraca ekonomi negara.
Sebagaimana tulisan Ali Shariati tentang perlawanan Husain di Karbala, haul Mbah Dirah adalah panggung bagi mereka yang masih percaya bahwa kesucian tidak bisa dibeli, dan bahwa perjuangan melawan kapitalisme bukan hanya milik kaum kiri dengan spanduk dan demonstrasi, tapi juga milik para peziarah yang menangis pelan di pusara kakeknya, sambil mengirimkan Al-Fatihah sebagai bentuk penolakan terhadap dunia yang kian mengabaikan ruh.
Kini, yang dibutuhkan bukan hanya menjaga fisik makam itu, tetapi membangunnya sebagai pusat literasi spiritual. Menjadikannya tempat belajar kembali tentang Islam yang membumi, tentang ulama yang berdiri bersama rakyat dan bukan duduk bersama direksi pabrik. Dari pusara Mbah Buyut Dirah bisa lahir kembali narasi besar tentang perlawanan anak cucu Sunan Giri, bukan dengan kemarahan kosong, tetapi dengan ilmu, hikmah, dan cinta yang meluap.
Haul itu adalah pesan keras yang disampaikan dalam bisikan lembut. Selama masih ada yang datang dengan hati yang basah oleh rindu, selama masih ada yang percaya bahwa pusara ulama bukan barang mati tapi jantung umat yang berdetak, maka malam-malam di sekitar petrokimia akan terus diterangi oleh cahaya yang tidak bisa dipadamkan oleh kepulan asap industri.
Inilah kekuatan perlawanan diam: tidak mengaum, tapi mengakar. Tidak membakar, tapi menyala. Haul Mbah Buyut Dirah bukan hanya ritual masa lalu, melainkan fondasi masa depan. Sebab selama ruh para kekasih Allah masih hidup dalam ingatan, tidak ada kekuasaan duniawi yang benar-benar menang.
BP Wetan Gresik, 25 April 2025
gambar : https://majelistabligh.id/
0 Komentar