Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Indonesia merupakan negeri tropis yang terdiri dari kepingan pulau-pulau yang dihuni oleh beranekaragam spesies flora-fauna.
Di samping keberagaman flora-faunanya, Indonesia adalah negeri yang juga mempunyai keberanekaragaman adat istiadat dan budaya. Beragamannya tradisi dan kebudayaan yang ada di Indoensia merupakan hasil persentuhan budaya, baik antar masyarakat yang disebut ‘asli’ atau pun antara masyarakat ‘asli’ dan pendatang atau antar masyarakat pendatang.
Salah satu budaya yang menarik dan membumi di Indonesia adalah peringatan 10 Muharram atau Asyura. Tradisi peringatan ini sebenarnya adalah tradisi yang dibawa oleh intelektual muslim dari Timur Tengah ke Indonesia. Dalam sejarah disebutkan bahwa orang yang pertama kali memperingati hari itu, setelah tragedi pembantaian itu adalah cucu Muhammad saw yang bernama Zainab di tengah pasar Kufa, Irak.
Meskipun jika ditelusuri lebih jauh, peringatan kesedihan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah Saw, tepat setelah Husain bin Fathimah Az Zahra lahir. Zainab melakukan orasi atas pembantaian kakaknya Husain dan rombongan keluarga dan pengikutnya di tanah Karbala.
Husain yang tidak mau berbaiat kepada pemerintahan yang tidak sah, yang dikendalikan Yazid bin Muawiyah, dibantai oleh Ibn Ziyad, panglima perang Yazid dengan sangat sadis di suatu padang tandus kering kerontang yang beranma Karbala pada tanggal 10 Muharram.
Zainab sebagai saksi hidup meminta pertanggunganjawaban masyarakat Kufa yang semula akan berbaiat kepada Husain, tetapi kemudian mengingkari dan bahkan terlibat dalam peristiwa pembantaian itu. Orasi Zainab ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai orasi yang paling heroik yang membangkitkan semangat perlawanan kaum muslimin terhadap pemerintahan yang zalim yang dikenal dengan gerakan Tauwabun (pertobatan) dan gerakan Mukhtar Astsaqafi.
Tradisi Zainab dalam memperingati terbantainya Husain dan keluarganya dimanifestasikan oleh ulama Islam dalam berbagai parade budaya belasungkawa di manapun ulama itu menginjakkan kakinya dalam berdakwah
10 Muharram dalam agama Ibrahimi
Pembantaian Imam Husain di padang Karbala bukan sekadar peristiwa historis biasa, tetapi ia merupakan peristiwa metahistoris. Peristiwa itu telah dinubuatkan oleh Allah Swt sejak Nabi dan Rasul sebelum kedatangan Muhammad saw.
Ibrahim as ketika berhasil menuaikan tugasnya untuk menyembelih Ismail as yang kemudian digantikan domba, di dalam benaknya tersebit semacam ‘rasa bangga’ bahwa dia adalah hamba Allah yang paling sanggup melaksanakan perintah yang berat.
Setelah itu Allah swt menyingkapkan ‘tirai’ antara Ibrahim dan persitiwa pembantaian Husain di Karbala. Serentak Ibrahim menangis sesenggukan menyaksikan peristiwa itu. Ibrahim bertanya siapakah gerangan manusia mulia yang dibantai itu? Terdengar jawaban, “Itu adalah Husain bin Ali cucumu”. Tangis Ibrahim semakin pecah mendengar jawaban itu (Al-Jazairi, 2007).
Seyyed Saeed Akhtar Rizvi menyebutkan dalam Jurnal Serat bahwa dalam Leviticus (23:ayat 23-32), disebutkan adanya pelarangan untuk bekerja bagi kaum Yahudi pada hari pertama dan sepuluh bulan ke 7. Bulan ke 7 dalam kalender Yahudi sama dengan bulan Muharram dalam kalender Islam.
Jika demikian pelarangan bekerja pada hari yang dikenal dalam teks al Quran (QS: 2;65) sebagai hari Sabat ditujukan untuk berbelasungkawa kepada Muhammad saw dan keluarganya atas terbantainya Husain di padang Karbala. Pelanggaran terhadap larangan itu dihukum dengan hukuman yang berat yaitu dikutuk menjadi monyet yang hina (QS:2;65). Data ini menunjukkan bahwa 10 Muharram merupakan hari-hari yang penting bagi kaum Yahudi.
Sekarang bagaimana dengan kaum Nasrani atau Kristen? McElwain seorang pakar perbandingan agama Universitas Turku, Finlandia menyebutkan dalam bukunya The London Lecture bahwa dalam Al Kitab terdapat nubuat tentang tragedi Karbala….” Orang yang tangkas tidak dapat melarikan diri, pahlawan tidak dapat meluputkan diri; di utara, di tepi Sungai Efratlah mereka tersandung dan rebah…..Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas minum darah mereka. Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Efrat” (Yeremia 46;6,10).
Ayat-ayat tersebut menurut McElwain jelas-jelas merupakan nubuat tentang dibantainya Husain di tepi sungai Efrat, Karbala. Bahkan Antoane Bara, cendekiawan Kristen Arab menyebutkan dalam bukunya Husain Fi Fikril Masahi bahwa Jesus (Isa Al Masih) pernah mengunjungi tanah yang disebut Nainawa atau Karbala dan dia bersabda: “Barang siapa yang menemui Husein di sana, hendaknya ia menolongnya”. Dengan demikian 10 Muharram juga merupakan bagian penting dari keagamaan kaum Nasrani.
10 Muharram antara Syi’i dan Sunni
Dalam tradisi Syi’i atau yang lebih dikenal dengan mazhab Ahl Bayt, penghormatan terhadap 10 Muharram adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar baik dari sisi ritual, intelektual ataupun praksis sosial. Ada ujaran yang terkenal dalam Masyarakat Syiah tentang pentingnya 10 Muharram yaitu “Setiap hari adalah Asyura dan setiap jengkal tanah adalah Karbala”.
Imam Khomeini menyebut bahwa Revolusi Islam Iran adalah suatu revolusi yang diinspirasii oleh perjuangan Husain dan keluarganya di padang Karbala. Dalam padangan mazhab Ahl Bayt, peristiwa heroik Karbala bukanlah kekalahan keluarga Nabi, tapi sebaliknya ia adalah peristiwa kemenangan keluarga Nabi. Darah mengalahkan pedang, begitu pekik realitas yang ditunjukkan para pengikut mazhab Ahl Bayt terhadap tragedi Asyura.
Bagamaina dengan kaum Sunni? Kalangan Sunni sebagian besar juga mengakui bahwa tragedi 10 Muharram adalah tragedi yang menyedihkan, akan tetapi mereka tidak merefleksikan ketragisan tragedi itu sebagaimana yang direfleksikan oleh mazhab Ahl Bayt. Bahkan mereka lebih memilih untuk melihatnya dari sisi kemenangannya.
Hal ini berkaitan juga dengan peristiwa-peristiwa kemenangan di hari 10 Muharram seperti selamatnya Nabi Nuh as dari banjir, Nabi Musa as diselamatkan dari kejaran Firaun dan beberapa peristiwa lainnya yang mengindikasikan kemenangan para Nabi.
Di sinilah menariknya 10 Muharram sebagai bagian dari sejarah umat Islam, karena ia menjadi inspirasi dan titik temu antara Sunni dan Syi’i. Sunni memahami 10 Muharram dari sisi kemenangannya, sedang Ahl Bayt dari sisi kenestapaan dan kemenangannya sekaligus. Nabi Muhammad saw bersabda : “Sesungguhnya pembantaian Husein membuat gejolak di dada orang mukmin yang tidak bakal padam selamanya”.
10 Muharram dan suku-suku di Indonesia
Penghormatan suku-suku yang ada di Indonesia tidak kalah serunya dengan yang dilakukan oleh para pemeluk agama-agama Ibrahimi (Yahudi, Kristen dan Islam). Teks-teks klasik seperti hikayat Muhammad Hanafiah, hikayat Tabut, hikayat Hasan dan Husen dan lain-lain yang menggambarkan tragedi karbala telah lama tersebar di bumi Nusantara (Bin Musa, 2010/Jurnal al Qurba).
Orang Jawa bahkan menamakan satu bulan pada kalender mereka dengan nama Suro sebagai ganti nama Muharram. Suro dari kata Asyura yaitu tanggal ke 10 bulan Muharram. Orang Jawa sepertinya ingin menyebut bahwa semua hari di bulan Muharram itu adalah hari ke 10, Asyura (Suro). Di Tanah Jawa bulan Muharram adalah bulan yang sakral. Spiritualitas bulan ini dianggap luar biasa sehingga pekerjaan suci seperti memandikan keris mesti dilakukan pada bulan ini.
Sunan Giri ke IV merekonstruksi keris kakeknya, Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri I) di bulan Suro, sehingga dia menamai ulang keris itu dengan nama keris Suro Angon-Angon. Mereka juga memperingati 10 Muharram dengan membuat bubur merah yang mereka sebut sebagai bubur Suro.
Di Sumatera ada tradisi Tabot yang diselenggarakan dengan maksud memperingati duka nestapa Husain dan keluarganya yang dibantai oleh bani Umayyah. Menurut Assegaf pada Jurnal Al Qurba (1:58-81), tradisi ini diperkenalkan oleh tentara India yang berafiliasi dengan tentara Inggris. Di Sumatra, tradisi ini diselenggarakan di Bengkulu, Pariaman dan Padang (Kuncoroningrat 1990) hingga sekarang. Ada juga tradisi yang mirip dengan upcara Tabot ditemukan dilakukan masyarakat Ternate, Maluku (Assegaf, 2010).
Wal hasil tradisi 10 Muharram merupakan hari yang bersejarah dan mempunyai arti penting bagi kehidupan masyarakat beragama di Indonesia dan juga diperingati oleh suku-suku yang tersebar di seluruh Indonesia. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau 10 Muharram yang tahun ini jatuh pada tanggal 17 Juli 2024, dijadikan sebagai memonetum untuk merajut tali silaturrahmi atau titik temu eksoteris maupun esoteris di antara agama-agama dan etnik di Indonesia sehingga kekerasan yang seringkali diatasnamakan agama atau etnik dapat diminimalisir bahkan dieliminir.
gambar :https://khazanah.republika.co.id/
0 Komentar