Subscribe Us

ksk logo.jpg

Ketakutan dengan Cermin Hantu Wahabi Takfiri

 


Ustadz Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.

Kita tahu bahwa wahabi adalah sebuah cara berpikir keagamaan yang mempunyai jargon pemurnian ajaran agama melalui tafsir dangkal terhadap ajaran agama. Ajaran wahabi yang didasarkan pada cara berpikir Muhammad bin abdul wahab yang mengandalkan makna harfiah (baca semaunya sendiri) dimanfaatkan kaum kolonial Inggris untuk memecah belah kaum muslimin.  

Inggris membentuk wahabi yang disokong keluarga Saudi. Di mana saja ada kaum wahabi, di situ pasti ada konflik karena perilaku mau benarnya sendiri dengan jargon bid'ah, sesat dan lain-lain.

Masyarakat nusantara memang unik. Wahabi diboyong ke nusantara ternyata jadilah Muhammadiyah yang rasional. Karena kesal dengan kondisi itu, diboyonglah lagi wahabi jilid II yang lebih keras dengan sokongan pendanaan yang luar biasa. 

Masyarakat dunia dan nusantara menyebut mereka, kaum wahabi jilid II, dengan sebutan kaum wahabi takfiri. Hal ini karena pekerjaan dakwah mereka tidak lepas dari merasa benar sendiri dan konsekuensinya mereka  mengkafirkan golongan yang tidak sepakat dengan mereka.

Program pengkafiran ini juga melanda pada internal takfiri sendiri. Kronologis seperti itu bukan tidak diciptakan oleh produsennya, yaitu dunia Barat. Barat memang ahli dalam menciptakan sekte-sekte baru yang berpotensi bisa dipecah secara internal dan bisa membabi buta secara eksternal. 

Lebih dari itu takfiri ini diciptakan menjadi semacam hantu yang menakutkan, karena tindakan kejamnya. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh ISIS bisa menjadi dereten data, bagaimana wahabi takfiri digunakan oleh Barat untuk menakut-nakuti masyarakat target. 

Siapa masyarakat target wahabi takfiri. Salah satu targetnya adalah masyarakat Syiah. Mengapa Syiah? Kalau kita tarik garis lurus sepanjang sejarah, wahabi takfiri terkait dengan  penguasa bani Umayah dan sejenisnya. Penguasa zalim seperti bani Umayah paling benci Ssyiah. 

Syiah dibenci penguasa zalim, karena syiah memiliki tradisi Asyura, yaitu tradisi duka nestapa meratapi secara progresif derita Nabi Saw atas terbantainya Imam Husain as di Karbala. Rasul Saw bersabda bahwa tragedi yang menimpah Imam Husain akan selalu membara di hati kaum mukminin. 

Kaum mukminin menjadikan tragedi Karbala sebagai inspirasi dan energi penentangan terhadap kaum zalim. Pangeran Diponegoro misalnya, menjadikan semangat perlawanan Husaini sebagai energi perlawanan terhadap kape kape belanda. Kita tahu bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro paling massif dan ditakuti kape-kape Belanda.

Semangat perlawanan inilah yang ditakuti penguasa di manapun berada di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Oleh karena itu, majelis duka Nabi Saw yang diadakan oleh sebagian besar orang Syiah menjadi sasaran teror wahabi takfiri.

Di Indonesia, banyak organisasi abal-abal yang dibuat untuk meneror orang Syiah, termasuk acara asyuranya. Organisasi-organisasi seperti itu sudah bisa dipastikan adalah kelompok takfiri yang mendapatkan sokongan dari penguasa zalim,  baik di Barat maupun Timur. 

Dari sisi jumlah, orang-orang yang terlibat dalam aksi kekerasan itu sedikit.  Akan tetapi, karena mereka didukung oleh penguasa yang zalim, mereka menjadi seolah-olah berani dan membabi buta.  Mereka digerakkan untuk menciptakan “cermin hantu,” yaitu kondisi psikologis takut bercermin karena sering menonton film horror yang menampilkan adegan melihat cermin lalu muncul sosok hantu.  

Hantu itu sebenarnya adalah sesuatu yang “nothing”, tapi diciptakan untuk menakut-nakuti.  Yang konyol adalah ketika hantu itu kemudian diciptakan oleh orang-orang yang akan menyelenggarakan Asyura, sebagai konsekuensi logis keberhasilan penguasa yang zalim dalam memproduksi efek “cermin hantu”. 

Sebenarnya di Indonesia, menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaan dijamin oleh UUD 1945 pasal 20 ayat 2. Pasal 29 UUD 1945 menyatakan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.  

Jadi, acara Asyura yang merupakan bentuk ibadat dari suatu agama yaitu Islam dalam perspektif mazhab Syiah dijamin pelaksanaannya oleh UUD 1945.  Kalau toh Syiah dianggap bukan bagian dari Islam –dan itu adalah salah besar--, masih ada poin kepercayaan.  

Jadi, para pengikut Syiah tidak perlu takut jika ingin melaksanakan acara Asyura di hotel atau gedung-gedung tertutup.  Sekiranya ada pihak-pihak yang menggangu, maka perlu dilakukan perlawanan hukum, sedemikian sehingga para penganggu itu mendapatkan hukuman yang setimpal.  

Dengan demikian jika sudah mau memulai melakukan perlawanan hukum dari upaya penguasa zalim dalam menghalang-halangi acara asyura, maka kita sudah memecahkan cermin hantu itu.  Jika cerminnya sudah pecah, yang perlu dilakukan oleh para pelaku peringatan asyura adalah kontekstualiasi teks Asyura, menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk khalayak umum.

gambar : https://www.islamramah.co

Posting Komentar

1 Komentar