Di tengah pekerjaan memeriksa ujian mahasiswa, memperbaiki proposal dan pekerjaan rutin yang lain, saya ditelpon seorang ustadz.
Setelah menanyakan kabar dan berdiskusi tentang hal-hal yng krusial, ustadz memberikan narasi tentang fenomena yang menarik dan inspiratif.
Ada seorang ulama bersorban putih yang sebenarnya dia adalah anak cucu salah seorang Imam Ahlul Bait Nabi saw (red: para imam Ahlul Bait hanya 12 orang, bukan seperti anggapan para koplakers).
Kakek buyutnya adalah anak seorang anak Imam yang pada masa hidupnya dikejar-kejar para nasibi (pembenci Ahlul Bait).
Untuk menghindar dari kejaran musuh-musuh yang terlaknat itu, Sayyid ini mengasingkan diri, bersembunyi sedemikian rupa sehingga tidak ada seorang ahli nasab pun yang berhasil mencatat bahwa dia adalah anaknya Imam.
Ketika sampai suatu masa, Sayyid yang dikejar-kejar itu mempunyai anak cucu ke sekian kali yang jadi ulama.
Sebagaimana ulama yang bukan sayyid, dia mengenakan sorban putih. Dia juga tidak berusaha pergi ke naqabah tertentu untuk mencatatkan diri sebagai keturunan Rasul Saw.
Akan tetapi kepada anak-anaknya, ulama ini berpesan agar anak cucunya nanti tidak boleh menerima zakat dari masyarakat.
Karena seorang Sayyid tidak boleh menerima sedekah atau zakat dari masyarakat non Sayyid.
Realita seperti ini menurut ustadz jumlahnya sangat banyak. Hal ini sangat gamblang dipahami jika kita merelasikan dengan kenyataan bahwa para Imam Ahlul Bait jika tidak dibunuh dengan tebasan pedang, maka mereka dibunuh dengan diracun oleh para penguasa zalim bin terlaknat.
Fenomena ini menarik dan inspiratif, karena mempunyai kesamaan dengan para keturunan Rasul SAW dari jalur Walisongo.
Para keturunan Rasul SAW dari jalur Walisongo terutama nanti yang jadi ulama menyembunyikan nasabnya sebagai keturunan Walisongo untuk menghindari kejaran kape-kape Belanda dan antek-anteknya.
Kape-kape Belanda itu bila mendapati cucu Walisongo tidak hanya merampas harta dan nyawanya, tetapi juga catatan nasab dan buku-buku intelektual yang lainnya.
Oleh karena itu kyai-kyai Nusnatara itu selalu berpesan kepada anak cucunya, untuk tidak pamer nasab. Buku nasab dan buku yang lainnya baik itu hasil karyanya atau karya para leluhurnya disembunyikan di dalam sumur yang kering ataukah dikubur dalam tanah di rumahnya.
Harapan para ulama keturunan Walisongo itu adalah kelak ketika zaman sudah cukup rasional dan keamanan dari musuh-musuh itu sudah terjamin atau bahkan musuh-musuh dan antek-anteknya sudah diusir dari bumi Nusantara, ada anak cicitnya yang jadi Guru Besar di perguruan tinggi atau ulama di pondok pesantren, bisa mendapatkan buku-buku yang dikubur itu.
Dengan begitu berbasis pada temuan buku leluhurnya, cicit-cicit ulama keturunan Walisongo itu bisa menarasikan tentang siapa kakek moyang dan apa saja karya-karya yang pernah ditulis tentang ajaran Islam dan ilmu-ilmu yang unik lainnya.
Al fatiha dan shalawat untuk para leluhur.
gambar : https://historia.id/
0 Komentar