Subscribe Us

ksk logo.jpg

Mental Rendah Diri

Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc

Kape-kape belanda sebelum atau selama menjajah melakukan studi yang mendalam terhadap kondisi sosio antropologi masyarakat nusnatara. 

Hasil dari studi itu digunakan untuk melakukan rekayasa sosial kepada masyarakat Nusantara. Lalu dibuatlah wacana bahwa masyarakat Nusantara posisi sosio kulturalnya lebih rendah dibandingkan dengan kape-kape belanda dan sejenisnya. 

Padahal pada saat era kerajaan Majapahit, orang asing diposisikan lebih rendah kelas kulturalnya dibandingkan dengan masyakarat Nusantara. Hal ini dilakukan Majapahit agar pengaruh merusak kebudayaan asing tidak merusak sistem sosio kultural dan politik masyarakat Nusantara. 

Wacana perendahan posisi sosio kultural masyarakat Nusnatara salah satunya dilakukan dengan cara merampas semaksimal mungkin karya-karya intelektual masyarakat Nusantara, sedemikian sehingga masyarakat Nusantara tidak mengenal jati dirinya lagi. 

Selanjutnya dibuatlah wacana baru bahwa masyarakat Nusantara itu dongo-dongo tidak punya kebudayaan dan bahkan disebut non-human being. Oleh karenanya, patut dijajah. 

Salah satu wacana yang dibuat kape-kape belanda adalah menyebut agama nenek moyang Nusantara adalah animisme dan dinamisme. Untuk dua model agama itu, manusia tidak perlu berfilsafat, artinya mereka tidak menggunakan akalnya dalam beragama. 

Itulah mengapa kape-kape belanda menyebut masyarakat Nusantara sebagai non-human yang patut diperbudak. 

Padahal agama masyarakat Nusantara adalah agama yang bercorak monoteisme (bertauhid). 

Agama masyarakat Nusantara adalah agama kapitayan. Agama ini menyembah Tuhan yang Tunggal, Maha Esa. Untuk sampai beragama dengan corak monoteis, tidak bisa tidak manusia harus berfilsafat. 

Artinya masyarakat Nusantara bukanlah orang masyarakat rendahan tetapi, masyarakat yang sudah mempunyai kebudayaan yang tinggi mampu melahirkan pemikiran filosofis untuk menopang keyakinan keberagamaannya. 

Keris, misalnya, adalah sebuah karya religius yang dibuat oleh masyarakat Nusantara sebelum datangnya agama-agama besar di Nusantara. Keris selain sebagai senjata perang. Ia juga berfungsi sebagai pusaka atau ageman (pakaian kultural religius). Keris juga sebagai pengajaran teosofi yang menggambarkan tentang konsep wahdatul wujud dan beberapa konsep derivatya. 

Upaya penjajahan mental yang dilakukan oleh kape-kape belanda efeknya lebih parah dibandingkan penjajah fisik. Penjajahan fisik, sudah selesai setelah Sukarno membacakan teks proklamasi. Akan tetapi penjajahan mental masih berlangsung hingga saat ini dan bisa kita rasakan hari ini. 

Salah satu dampak penjajahan itu adalah mental rendah diri masyarakat Nusantara vis a vis masyarakat Barat atau asing. Lihatlah perilaku sebagian orang yang punya kuasa membiarkan mahasiswa asing menghadiri acara resmi di kampus dengan memakai celana pendek dan kaos oblong. 

Bisa dibayangkan apa yang akan dilakukan penguasa kampus bila ada mahasiswa Nusantara menggunakan celana pendek dan kaos oblong menghadiri acara resmi di kampus. Mereka pasti diusir atau paling tidak mendapatkan omon-omon yang tidak mengenakkan. 

Jejak kerendahan mental itu juga bisa kita saksikan pada ritual akreditasi luar negeri. Hanya karena universitasnya mau disebut sebagai WCU (World class University) mereka rela dapur paradigmatik lembaga pendidikannya diobok-obok asing. 

Padahal pemerintah Indonesia sudah mempunyai sistem akreditasinya sendiri. Mengapa tidak pernah berpikir mematangkan sistem akreditasinya sedemikian sehingga bisa ditawarkan ke dunia Internasional sebagai sistem akreditasi pendidikan yang handal?  

Iya, itu karena pikiran sebagian penguasa masih terbebani mental rendah diri vis a vis masyarakat asing. Pepatah mengatakan: anda adalah apa yang anda pikirkan. Kalau anda berpikiran bahwa anda dalam segala apeknya lebih rendah dari masyarakat bule, maka anda hanya akan menjadi budak beliannya.

gambar : https://lpmarena.com/2015

Posting Komentar

0 Komentar