Subscribe Us

ksk logo.jpg

Para Pengabar Islam Awal di Nusantara

 


Oleh : Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.

Islam datang ke Nusantara dibawa melalui beberapa gelombang ulama.  Ulama awal yang datang ke Nusantara seperti babat alas (membuka hutan/jalan) bagi jalannya pengabaran dan penyiaran Islam di Nusantara.  Mereka yang awal mengabarkan Islam ini sangat mengerti tentang data sains sosio-antropologi, kebudayaan, politik dan ekonomi Nusantara.

Di Nusantara sebelum agama-agama besar datang disebarluaskan, masyarakat Nusantara sudah memiliki agama yaitu agama Kapitayan.  Kapitayan selain bercorak monoteis, ia juga toleran dan luwes sehingga dapat meleburkan konsep agama-agama lain menjadi kapitayanisme.

Selain itu di Nusantara telah berdiri kerajaan besar seperti Singosari, Majapahit dll yang berkarakter tegas tapi welas asih.  Mereka tidak mudah menjual harga diri dirinya dan rakyatnya untuk kepentingan asing.  Sebagai contoh adalah peristiwa utusan Kubilai Khan.  Sang raja ini ingin menaklukkan bumi Nusantara, dengan menyuruh kerajaan Singosari tunduk dan membayar upeti. 

Alih-alih sang utusan Kubilai Khan diterima dengan baik, justru utusan kerajaan Tiongkok arogan itu diamputasi telinganya dan disuruh Kembali ke negerinya.  Waktu itu kerajaan Tiongkok yang dipimpin oleh Kubilai khan adalah negara adidaya.

Nusantara saat dipimpin oleh kerajaan Majapahit adalah wilayah dengan struktur sosiologis yang matang dan rapih.  Kasta-kasta dibentuk agar tatanan masyarakat tidak kacau balau.  Yang boleh jadi raja adalah kasta ksatria dibawa bimbingan kasta Brahmana sebagai Ruhaniawan Rabbani atau Ulul Albab.  Orang asing apa pun itu, jenisnya diletakkan pada struktur masyarakat yang tidak bisa mengutak-atik kerajaan, kasta bawah, kasta pedagang.

Para pengabar Islam sangat menyadari, kondisi sosiologis masyarakat Nusantara pada waktu itu.  Untungnya, Islam yang dipahami oleh para pengabar Islam awal adalah Islam mistikus yang inklusif.  Para pengabar Islam awal ini tidak pernah memahami bahwa Ilmu Islam itu harus ekslusif dan hanya bisa diajarkan dengan Bahasa arab.

Para pengabar Islam itu, tidak hanya meleburkan Bahasa agama ke dalam Bahasa Nusantara, tetapi juga secara totalitas meleburkan diri dan keluarganya dalam bauran atmosfer nusantara yang kapiyatanisme.  Para pengabar awal Islam ini bahkan mengubah fisiknya menjadi fisik orang-orang Nusantara dengan hidung yang tidak mancung, melalui teknik malih rupo.  Teknik ini mungkin setara dengan bedah plastik.

Sekali lagi untungnya banyak titik singgung antara dua aliran monoteis, Islam dan Kapitayan.  Ambil contoh, penganut kapitayan menyebut kamar kecil dengan nama pekiwan.  Pekiwan dari kata kiwo yang artinya kiri.  Islam menganjurkan jika memasuki kamar kecil yang harus didahulukan adalah kaki kiri.  Jadi kloplah antara nama pekiwan dan kaki kiri.

Untuk memuluskan jalannya pengabaran Islam, para alim yang bener-bener alim itu mencangkokkan anggotanya agar bisa menghasilkan keturunan dari keluarga kerajaan.  Salah seorang yang mendapatkan sertifikat sebagai bagian dari keluarga kerajaan Singosari adalah Sunan Ampel, menurut sejarawan Agus Sunyoto.  Tak ayal Sunan Ampel mendapatkan fasilitas untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Nusantara dari kerajaan Majaphit.

Kalau kita amati dengan seksama, ulama awal pengabar Islam mempunyai nama-nama Nusantara.  Misalnya ayah Sunan Ampel bernama Ibrahim Asmoroqondi.  Nama terakhir itu bukan berarti orang jawa tidak bisa melafalkan nama Samarkand, sebagai tempat asal Ibrahim, sehingga dilafalkan “asmorokondi”, tetapi penyebutan nama itu agar pengucapannya lebih tersambung dengan atmosfer paradigma Nusantara, asmorokondi. 

Di samping itu, Sayid Ibrahim sepertinya memberikan sinyal kepada generasi penerusnya bahwa beliau berasal dari salah satu kota di Uzbekistan, yaitu Samarkand.  Kota asal ini menjadi penting sebagai alat untuk penelusuran nasab. 

Lebih menarik  lagi kalau kita lihat pada gelar Makdum untuk Sunan Bonang (cucu Sayyid Ibrahim).  Makhdum adalah gelar zuriat Ahlul Bait Nabi yang lazim digunakan di Asia Tengah.  Ini adalah pesan bahwa mereka bukan berasal dari Nasirabad India, seperti dipahami oleh beberapa orang.  Bahkan di babad Cirebon Sayyid Ibrahim dicatat lahir di wilayah Kazakhtan dan pindah ke Uzbekistan.

Catatan-catatan nasab para pengabar Islam awal ini sebenarnya tersimpan dengan rapih di anak cucu mereka.  Akan tetapi karena kejahatan Belanda yang tidak hanya menjajah secara fisik, tetapi secara intelektual, catatan-catatan itu harus disembunyikan agar tidak dirampas oleh Belanda. 

Dalam melakukan penjajahannya, Belanda punya kepentingan untuk mengubah cara berpikir yang khas nusantara dengan cara berpikir Belanda.  Manuskrip-manuskrip atau juga buku-buku hasil karya para intelektual Nusantara dirampas oleh Belanda untuk dipelajari dan diganti dengan wacana atau narasi untuk kepentingan penjajah.  Termasuk yang harus dilenyapkan dari bumi Nusantara adalah catatan nasab para pengabar Islam awal. 

Indikasi itu bisa kita lihat bagaimana Pangeran Diponegoro membuat biografi dirinya saat berada di pengasingan di Manado.  Pangeran Diponegoro tidak ingin riwayat perjuangannya yang merupakan titah langsung dari Shahibul Asri Waz Zaman diputarbalikkan oleh Belanda.

Berkaitan dengan nasab para pengabar Islam awal, anak cucu mereka secara turun temurun mencatat catatan nasab itu baik yang menjadi kyai ataupun raja.  Sebagian besar anak cucu para pengabar Islam awal jarang yang menyebutkan dirinya sebagai keturunan para pengabar Islam awal, karena ingin menghindari kejaran Belanda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, tradisi tidak menceritakan dirinya sebagai keturunan para pengabar Islam awal terus berlanjut, karena penyebutan itu dianggap tidak ada kepentingannya dalam meneruskan dakwah Islam leluhurnya.  Bagi mereka yang penting bukan buku nasab tetapi buku hisab, tentang dirinya agar tetap konsisten dengan ajaran suci Islam.

Akan tetapi, karena perkembangan Ilmu sejarah masuknya Islam di Nusantara yang semakin berkembang dan sedikit pergolakan politik pemikiran, para anak cucu para pengabar Islam awal ini merasa perlu untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip baik yang berkaitan dengan nasab atau hal-hal lain yang berhubungan dengan keilmuan Islam dan aktivitas para pengabar Islam awal. 

Mereka selanjutnya mendirikan suatu lembaga yang mereka sebut Naqobah Ansab Auliya Tis’ah (NAAT) sebagai sarana keorganisasian pengumpulan manuskrip-manuskrip itu. 

Tentunya Naqobah ini bukanlah saingan dari lembaga sejenis yang sudah ada, tetapi lebih sebagai lembaga yang  melengkapi pencatatan sejarah di Indonesia.

Gambar :  Kemdikbud.co.id

Posting Komentar

0 Komentar