JANGAN PERNAH BERKATA MUHAMMAD SAW. MANUSIA BIASA
Oleh : Ustadz Dr. Ahmad Mujahid
Tidak sedikit umat Islam yang mengenali dan meyakini Muhammad Saw. sebagai manusia biasa. Pengenalan dan keyakinan seperti ini, adalah pengenal yang dangkal dan tidak tuntas serta tidak benar, karena itu patut diluruskan. Muhammad Saw. bukan manusia biasa. Dia manusia yang istimewa bahkan sangat istimewa. Muhammad Saw. betul adalah manusia dalam makna al-basyar. Yakni manusia dilihat dari sudut biologis reproduksi, yang memiliki kebutuhan makan, minum dan seks. Seperti Muhammad Saw. tegaskan sendiri di dalam al-Quran, yakni QS. Al-Kahfi/ 18: 110.
Dalam ayat 110 surah ke 18 di atas, Muhammad Saw. diperintahkan oleh Allah untuk menyatakan dan mengakui bahwa dirinya adalah al-basyar yakni seorang manusia sebagaimana manusia pada umumnya, namun aku (tegas Muhammad), diberi wahyu. Yakni wahyu yang mengajarkan bahwa: “Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.”
Pengakuan Muhammad Saw. tersebut menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia istimewa yang diistimewakan oleh Allah. Muhammad Saw. diangkat sebagai nabi dan rasul Allah. Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Lalu bagaimana Muhammad Saw. disamakan dan diserupakan dengan manusia pada umumnya. Atau dikatakan dan diyakini sebagai manusia biasa.
Menurut penulis, kandungan ayat 110 di atas, sesungguhnya mengisyaratkan bahwa Allah melarang menyatakan dan meyakini bahwa Muhammad Saw. adalah manusia biasa, setelah ia memperoleh wahyu dari Allah sebagai petanda bahwa ia telah diangkat menjadi nabi dan rasul Allah. QS. Al-Ahzab/ 33: 40, secara tegas menyatakan larangan tersebut. Kandungan ayat 33 ini, menegaskan bahwa Muhammad Saw. tidak dapat dinyatakan sebagai bapak biologis dari siapa pun dari kalian.
Penggunaan frase “maa kaana” pada klausa “maa kaana Muhammad …” berkonotasi makna ‘tidak pernah menjadi.’ Dengan demikian, klausa tersebut menegaskan bahwa jangan pernah menganggap, meyakini, menyatakan dan memposisikan Muhammad Saw. sebagai bapak biologis dari siapa pun. Namun posisikanlah ia. sebagai Rasul Allah dan penutup para nabi Allah.
Manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya, sungguh tidak selayaknya menganggap, meyakini dan menyatakan bahwa Muhammad Saw. adalah manusia biasa, sebagaimana manusia pada umumnya.
Menurut hemat penulis, hikmah utama yang dipesankan dan diajarkan oleh ayat 40 surah al-Ahzab dan ayat 110 surah al-Kahfi adalah, bahwa ketika berinteraksi (dalam makna interaksi yang seluas-luasnya), dengan Muhammad Saw. yang merupakan nabi dan Rasul Allah pada hakekatnya adalah berinteraksi dengan Allah.
Dengan perkataan lain, lihat dan baca Allah dalam dan pada diri Muhammad Saw; dengarkan Allah dari perkataan Muhammad Saw; sadari kehadiran Allah dalam diri Muhamamd Saw. Dalam bahasa sufistik, Muhammad Saw. adalah tajalli atau penampakan Allah yang paling sempurna. Muhammad Saw. adalah nuur Allah atau cahaya Allah.
Jadi bersama Muhammad Saw. berarti bersama Allah. Bersama Allah berarti bersama Muhammad Saw. Mentaati Allah berarti mentaati Muhammad Saw. Mentaati Muhammad Saw. berarti mentaati Allah. Mencintai Muhammad Saw. berarti mencintai Allah. Mencintai Allah berarti mengikuti dan mencintai Muhammad Saw. Muhammad adalah wasilah menuju Allah. Tidak ada yang dapat menuju Allah tanpa menjadikan Muhammad sebagai wasilahnya. Demikianlah hakekat makna Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul Allah.
Oleh karena itu, penulis kembali ingin tegaskan bahwa: “Posisikanlah Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul Allah, karena demikianlah kedudukan Muhammad Saw. yang sungguh istimewa. Jangan pernah menganggap dan memposisikan Muhammad Saw. sebagai manusia biasa, kerena sesungguhnya anggapan demikian telah merendahkan manusia istimewa tersebut. Telah meremehkan manusia yang tidak ada bandingannya. Bahkan boleh jadi anggapan dan cara pandang yang demikian terhadap Muhammad Saw. dapat berujung pada pengingkaran terhadap Muhammad Saw. tanpa disadari. Mengapa dikatakan demikian?
Oleh karena, dalam al-Quran ditemukan beberapa ayat yang menegaskan bahwa anggapan, pengakuan dan pernyataan bahwa Muhammad Saw. adalah manusia biasa hanya keluar dari diri dan mulut manusia-manusia yang mengingkari kenabian dan kerasulan Muhamamd Saw. Mereka tidak mengenal Muhammad Saw. dengan sebenar-benarnya pengenalan. Akibatnya mereka meremehkan dan melecehkan Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul Allah. Seperti diisyaratkan dalam banyak ayat, antara lain QS. Al-Mukminuun/ 23: 24 dan 33.
Kandungan kedua ayat dalam surah al-Mukminuun di atas sangat jelas mengemukakan bahwa para pemimpin kelompok sosial kafir dan pendusta hari akhirat, senantiasa menganggap, meyakini dan menyatakan bahwa Muhammad Saw. adalah manusia biasa sebagaimana manusia lainnya.
Kelompok sosial kafir dan pendusta ini, hanya mampu melihat Muhammad Saw. sebagai sosok manusia yang makan sebagaimana mereka makan dan atau minum sebagaimana mereka minum. Mereka tidak mampu melihat dalam diri Muhammad Saw. wahyu ilahi. Mereka buta dan tuli akan perintah dan larangan Allah yang disampaikan Muhammad Saw.
Mereka tidak melihat, tidak merasakan dan tidak menyadari cahaya ilahi dalam diri Muhammad Saw. Tajalli dan atau penampakan Allah pada diri Muhammad Saw. tertutup oleh hijab oleh cara pandang dan anggapannya terhadap Muhammad Saw. Penglihatan dan pendengaran mereka terhadap Muhammad Saw. hanya sebatas Muhammad sebagai manusia biasa sebagaimana manusia pada umumnya.
Berhati-hatilah mengikuti dan menganut cara pandang kelompok sosial kafir dan pendusta seperti dikemukakan di atas. Cara pandang dan anggapan yang demikian itu, sesungguhnya mencontohi cara pandang dan anggapan iblis (laknatullah) terhadap Adam. Iblis jatuh dalam kedurhakaan dan kekufuran karena menolak sujud kepada Adam padahal Allah yang memerintahkannya sujud kepada Adam. QS. al-Hijr/ 15: 32-33 dan QS. Al-A’raf/ 7: 11-12 mengemukan kasus iblis tersebut.
Kandungan keempat ayat dari dua surah yang disebut terakhir, mengemukan bahwa ketika Allah memerintahkan malaikat termasuk iblis untuk sujud kepada Adam, iblis menolak sujud kepada Adam. Sementara malaikat sujud kepada Allah. Malaikat mentaati perintah Allah. Pertanyaannya adalah mengapa kedua makhluk Allah tersebut merespon perintah sujud kepada Adam secara berbeda dan kontra produktif? Jawaban atas pertanyaan ini, dapat dipahami dari dialog Allah dengan iblis, sebagai berikut.
Allah bertanya kepada iblis: Apa yang menghalangimu sujud kepada Adam ketika aku memerintahkanmu? Iblis menjawab karena saya lebih baik dari Adam. Alasannya karena Adam hanya tercipta dari tanah. Sedang dirinya yakni iblis tercipta dari api. Dari jawaban iblis tersebut dapat dipahami bahwa yang menjadi sebab iblis menolak sujud kepada Adam, karena iblis hanya melihat Adam sebagai manusia biasa (basyar) yang tercipta dari tanah. Iblis menganggap rendah dan hina Adam yang tercipta dari tanah dan iblis memuliakan dirinya sendiri yang tercipta dari api.
Cara pandang iblis yang begitu angkuh dan sombong, telah membutakan iblis. Ia tidak mampu melihat dan menyadari kehadiran Allah pada Adam dan pada perintah sujud. Padahal Allah telah menegaskan eksistensi diri-Nya sebagai pemberi perintah kepada iblis untuk sujud kepada Adam. Seperti tergambar dalam klausa: “ maa mana’aka allaa tasjuda idz amartuka?” yang berarti; ‘apa yang mencegahmu untuk tidak sujud ketika Aku memerintahkanmu (sujud)?’ Kesombongan dan keangkuhan, sungguh telah menjadi hijab besar dan tebal bagi iblis dari Allah.
Sekiranya iblis lebih memfokuskan pandangannya kepada Allah yang memerintahkannya sujud kepada Adam, sebaliknya dia membutakan pandangannya dari Adam, maka sangat besar kemungkinan iblis akan sujud kepada Adam sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Atau paling tidak ia melakukan hadap diri atau koreksi diri ketika Allah bertanya kepadanya terkait dengan penokannya sujud kepada Adam.
Menurut penulis, pertanyaan Allah kepada iblis sesungguhnya merupakan kesempatan emas untuk iblis bisa bertaubat dan menyadari kesalahannya. Namun iblis mengabaikan kesempatan emas tersebut dan lebih memilih menenggelamkan diri dalam keingkaran kepada Allah.
Berbeda dengan para malaikat. Mereka memilih taat perintah dan sujud kepada Adam. Oleh karena para malaikat lebih memfokuskan diri pada siapa yang memerintahkannya sujud yakni Allah dan tidak fokus pada obyek yang disujudi yakni Adam. Padahal sebelumnya, malaikat pun pernah memandang Adam tidak pantas dijadikan khalifah di bumi, seperti diisyaratkan dalam pertanyaan malaikat yang bernada protes kepada Allah. Yakni: “apakah Engkau akan menjadi khalifah di bumi, siapa yang melakukan kerusakan dan menumpahkan darah? Sementara kami para malaikat senantiasa bertasbih memuji dan mensucikanmu (QS. al-Baqarah/2: 30).
Pelajaran utama yang dapat dipahami dari cara pandang iblis dan cara pandang malaikat terkait dengan perintah Allah untuk bersujud kepada Adam adalah fokuskan diri anda pada Allah bukan pada selain-Nya.
Dalam konteks Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul Allah, maka fokuskan diri anda, bahwa apa yang diperintahkan Muhammad Saw. adalah perintah Allah, maka ambil dan taatilah. Sebaliknya apa yang dilarang Muhammad Saw. adalah larangan Allah, maka tinggalkan dan jauhilah. Inilah makna kandungan QS. al-Hasyr/ 59: 7. Cara pandang seperti ini, salah satu implementasi dari cara pandang bahwa Muhammad Saw. adalah manusia istimewa dan bukan manusia biasa. Wa Allah A’lam. Wassalam, semoga manfaat dan memberikan pencerahan.
gambar :https://jmmi.its.ac.id/kesempurnaan-akhlak-nabi-2/
0 Komentar