![]() |
Oleh : Ust. Syamsunar Nurdin |
Nubuwah (kenabian) adalah pemberian dan karunia Ilahi kepada hamba-Nya
yang telah mencapai insan kamil secara akal nazari dan akal amali
(Ayatullah Jawadi Amuli, Mabda wa Ma’ad, penerbit: az-Zahra, hal. 258).
Tugas dari seorang Nabi memberi petunjuk dan hidayah pada manusia
ke jalan Ilahi dengan mengangkat mereka dari alam kegelapan dan kebodohan
kepada jalan cahaya dan akal makrifat.
Dalam kitab-kitab kalam dan
filsafat Islam senantiasa dimuat argumen-argumen kedarurian kenabian
dalam bentuk rumusan argumen yang beragam, yang pada intinya membuktikan
keniscayaan adanya Nabi yang diutus Tuhan untuk membimbing umat manusia
dalam meraih kesempurnaan dan kebahagiaan.
Dalam menguraikan
keniscayaan kenabian dan kedarurian turunnya wahyu Ilahi dapat
diafirmasikan dalam bentuk kaidah logikal sebagai berikut:
1. Pencipta manusia adalah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Hakim, dimana manusia diciptakan-Nya untuk tujuan tinggi dan mulia;
2. Manusia adalah suatu hakikat yang abadi dan ia harus bergerak di
jalan “Shirat Mustaqim” menuju keabadian, sehingga dengan jalan ini ia
dapat menjamin kebahagiaan abadinya, dan jika di jalan ini ia melakukan
kesalahan (memilih jalan yang salah) maka ia terpaksa mendapatkan
penderitaan dan kemalangan ukhrawi;
3. Hanya Tuhan yang mengetahui
secara sempurna hakikat manusia dan dimensi-dimensi eksistensinya serta
kebutuhan-kebutuhannya (karena Dia penciptanya), dan kecuali Dia tidak
ada yang mengetahui hakikat manusia, kebutuhan-kebutuhan,
harapan-harapan dan penantian-penantian nyatanya;
4. Sebab hanya
Tuhan yang mengetahui hakikat manusia dan dimensi-dimensi eksistensinya
serta kebutuhan-kebutuhannya, dan tidak ada satupun maujud kecuali Dia
yang sanggup memenuhi penantian-penantian manusia, dan jikapun manusia
ingin di jalan ini merealisasikannya, karena ia tidak maksum
(terpelihara dari kesalahan) maka ia pasti akan tergelincir dan terjatuh
pada kesalahan. Oleh Karena itu, Tuhan sendiri yang menyusun program
hidayah manusia dengan mengutus pembawa wahyu yang maksum supaya kitab
suci tersebut berada dalam ikhtiar manusia (dengan selamat dan
sempurna).
Manusia dengan menjalankan program Ilahi tersebut dapat
terjaga dari bentuk kelalaian, kelupaan, dan kesalahan hidup, sehingga
dengan demikian ia dapat sampai pada kebahagiaan hakiki dan tujuan
akhir, yakni pertemuan dengan Tuhan dalam kondisi pertemuan dengan-Nya
dipenuhi kebahagiaan abadi (Merujuk: Ayatullah Jawady Amuly, Intizâr-e
Basyar az Din, hal. 25-26, Penerbit: Markaz-e Nasyr Esrâ).
Dari
paparan dan argumen di atas maka jelaslah bahwa manusia dalam meraih
kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki, tidak terlepas dari makrifat, iman,
dan amal perbuatan yang benar (amal shaleh). Sebab, terdapat hubungan
antara makrifat, iman, dan amal perbuatan manusia dalam kehidupannya
dengan kebahagiaan abadinya.
Oleh karena itu manusia yang benar cara
hidupnya, yang ingin mencapai kesempurnaan insaniahnya dan kebahagiaan
hakikinya adalah manusia yang mengikuti program Ilahi dengan perantaraan
kitab suci-Nya, sunnah dan sirah Nabi-Nya, yang semuanya itu diajarkan
dan dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya, serta Nabi dan
Rasul-Nya terakhir Muhammad Saw.
Firman Allah Swt: “Sebagaimana Kami
telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat
Kami kepada kamu dan menyucikan kamu serta mengajarkan kepadamu al-kitab
dan hikmah, dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”
(Qs. Al-Baqarah: 151), “Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab
dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan nyata” (Qs. Al-Jum’ah:2).
Dengan demikian, manusia dalam
rangka mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hakikinya, supaya tidak
terjebak pada eksperimen hidup yang memerlukan waktu sangat lama dan
pengorbanan kesalahan yang sangat besar (yang mana kesalahan ini
hasilnya adalah kesengsaraan abadi di alam akhirat) maka sesuai akal dan
wahyu, mereka mesti mengikuti jalan para Nabi dan Rasul Tuhan yang
merupakan manusia sempurna pilihan Allah Swt.
Oleh karena itu, Tuhan
demi menyampaikan manusia pada kesempurnaan dan kebahagiaan abadinya
maka sesuai hikmah-Nya memberikan program hidayah kepada mereka lewat
perantara para Nabi dan Rasul-Nya, dan ini adalah bentuk karunia
terbesar Tuhan bagi manusia.
Bentuk Lain Ulasan Argumen
Manusia pada umumnya ingin mengetahui tentang persoalan-persoalan
mendasar dirinya seperti darimana ia berasal, kenapa diadakan, dan
kemana pada akhirnya dia akan kembali? Namun akal secara mandiri tidak
mampu menjelaskan persoalan-persoalan seperti ini secara mendetail.
Bukti jelas terhadap persoalan tersebut adanya kenyataan masih terdapat
banyak orang yang tidak meyakini eksistensi Tuhan, menyembah berhala,
dan menganut politeisme. Padahal masyarakat manusia kontemporer telah
melewati banyak perkembangan di dalam bidang ilmu dan pengetahuan.
Ketidakmampuan akal dan ilmu manusia tidak hanya terbatas kepada
persoalan asal muasal dan akhir hidup, melainkan pada bidang yang lebih
luas lagi diseputar persoalan-persoalan hidupnya, dimana manusia tidak
mampu memilih jalan yang kokoh. Perspektif manusia yang begitu beragam
dan saling bertentangan pada persoalan-persoalan seperti politik,
ekonomi, budaya, moralitas, keluarga, dan lain sebagainya, menunjukkan
ketidakmampuan manusia dalam memahami persoalan-persoalan ini secara
benar. Dengan sebab inilah kita melihat munculnya aliran-aliran
pemikiran yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Dengan
memperhatikan kenyataan di atas, maka akal sehat akan menghukumi bahwa
adanya hikmah Ilahi mengharuskan dan menuntut untuk diutusnya para
pembimbing dan para pemimpin agama untuk mengajarkan jalan hidup yang
benar kepada masyarakat manusia.
Adapun orang-orang yang
membayangkan bahwa petunjuk-petunjuk akal dapat menggantikan hidayah
langit, maka mereka harus memperhatikan dua poin di bawah ini:
Pertama, dari satu sisi nalar dan ilmu manusia tidaklah sempurna dan
tidak bisa mengantarkan manusia untuk mengenal dirinya sendiri, rahasia
eksistensi, masa lalu dan masa depan dari perjalanan eksistensinya,
sementara di sisi lain Tuhan adalah pencipta manusia. Kemudian, karena
setiap pencipta pasti mengenal ciptaannya sendiri maka Tuhan mengetahui
dengan sempurna tentang hakikat diri manusia, dimensi-dimensi dan
rahasia eksistensinya, dimana di dalam al-Qur’an terdapat isyarah
mengenai hal ini:
﴿أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَ هُوَ اللَّطيفُ الْخَبيرُ﴾
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (ciptaannya
sendiri), sedang Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui? (Qs. Al-Mulk: 14)
Kedua, manusia dengan adanya tuntutan dari tabiat manusia yang menyukai
zat dirinya sendiri, baik secara sadar atau tidak, akan mencari
kepentingan pribadinya dan dalam penyusunan program kehidupannya.
Manusia juga tidak mampu mencegah pikirannya secara sempurna dari segala
kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Dalam kondisi ini,
sudah pasti program-program yang dibuat oleh manusia tidak akan mampu
meliputi keseluruhan kepentingan manusia secara sempurna, karena mereka
tidak maksum dari kelalaian dan kesalahan. Sebaliknya program nabi-nabi
Ilahi, karena mereka diutus oleh Tuhan, maka mereka maksum dan suci dari
kelemahan-kelemahan seperti ini.
Dengan memperhatikan kedua poin
ini, maka harus dikatakan bahwa manusia belum pernah dan tidak akan
pernah lepas dari kebutuhannya kepada hidayah-hidayah Ilahi dan
program-program para nabi. Sebagai natijahnya hikmah Tuhan memestikan
diutusnya para pembimbing dan para pemimpin agama untuk mengajarkan
jalan hidup yang benar kepada masyarakat manusia.
gambar : shafagna.com
0 Komentar