![]() |
Oleh : Ustad Syamsunar Nurdin |
Para urafa
meyakini bahwa untuk memperoleh maqam irfan hakiki, harus terlebih dahulu
melalui stasiun-stasiun dan maqam-maqam, dimana tanpa melalui itu semua tidak
mungkin sampai pada irfan hakiki.
Manzil dan maqam dalam terminologi irfan mempunyai makna yang saling berdekatan, perbedaannya hanya pada tataran tinjauan khusus saja. Jika suluknya pesalik ditinjau dari segi ia jalan dan safar maka kondisinya ini disebut sebagai manzil, tetapi jika ia dalam keadaan berhenti dan menetap, maka kondisinya ini disebut sebagai maqam.
Sebagai mukadimah
dari tulisan ini kami mengutip beberapa paragraf kalimat dari ulasan mukadimah
Kitab “Syarh Manâzil as-Sâirin”: Ketahuilah bahwa orang-orang yang sair dan
berjalan dalam maqam-maqam ini sangat berbeda-beda, dan tidak ada urutan tertib
secara pasti untuk mereka semua dan demikian pula tidak ada akhir yang berlaku
secara menyeluruh bagi mereka. Sebab potensi-potensi mereka berbeda-beda semua,
maka konklusi suluk mereka juga berbeda-beda.
Sebagai contoh “Mahbub Murâd”, sebelum ia memulai jalan suluk ia telah ditarik (jazabeh) dan hasilnya ia berada pada akhir (nihayah) sebelum awal (bidayah), dan kebalikan dari ini adalah “Muhib Murid”.
Dan sebagian lagi dikarenakan kekhususan yang ada padanya, maka ia tidak berada pada sebagian dari maqam-maqam, dan atau ia tidak berhenti di maqam tersebut.
Adapun urutan tertib yang disebutkan pada kitab Manâzil Sâirin, sesuai dengan kondisi “muhibb” (pecinta), dimana ia mempunyai potensi secara menengah dan secara fitrah sempurna”.
Sebagian dari ‘urafa mengisyaratkan maqam dan manzil ini secara prinsip dan universal saja dan tidak menjelaskannya secara partikular dan detail, sebab itu terdapat poin-poin yang sifatnya ambigu. Sebagian lagi menuliskannya dalam bentuk kisah. Dan sebagian lagi tidak memisahkan maqam- maqam khusus dari yang umum.
Adapun perbedaan
antara maqam umum dengan maqam khusus, misalnya “zuhud”, jika ia dinisbahkan
kepada pemula umum, maka zuhud adalah dharuri baginya, dan zuhudnya adalah
zuhud dari kelezatan-kelezatan dunia. Tetapi zuhud khusus adalah zuhud dalam
zuhud yang merupakan suatu maqam tinggi. Dalam maqam ini, hamba secara prinsip
melihat bahwa dunia tidak mempunyai kadar dan nilai, sehingga menjauh dari
kelezatan dunia bukanlah suatu maqam baginya, dan hamba seperti ini, punya dan
tidak punya, sakit dan sehat, baginya semuanya adalah sama.
Ketahuilah ! Pada umumnya ulama irfan dan mereka yang memiliki isyârah (petunjuk) dalam thariqat ini, sepakat bahwa seseorang tidak akan benar pada “nihayah” (akhir) kecuali jika benar pada “bidayah” (awal); sebab jika ia datang pada titik-mula (bidâyah) tidak benar, maka ia tidak akan memperoleh derajat nihâyah, sebagaimana bangunan, selain dengan pondasi-pondasi yang kokoh, ia tidak akan berdiri kokoh.
Betulnya
menjalankan bidayah-bidayah adalah merealisasikan perintah Tuhan sesuai dengan
Syari’at Nabi Muhammad Saw dengan niat ikhlas (yakni tanpa melihat amal dan
tanpa perhatian sedikitpun pada balasan dan tujuan, serta melihat amal
semata-mata liwajhillah) dan mengikuti Sunah Nabi Saw, memandang sangat besar
larangan Tuhan (dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya serta menjauhi
larangan tersebut) diiringi dengan rasa takut, menjaga kesucian hukum-hukum
Syari’at dan apa yang terdapat dalam kitab dan sunnah, kasih sayang terhadap
manusia, dermawan dan pemberi nasehat, serta tidak membiarkan bebannya dipundak
orang lain, menjauhi duduk-duduk bersama orang yang membuat waktu berlalu
dengan percuma, serta menjauhi setiap sebab yang membuat hati terpengaruh
dengan fitnah.
Manusia dalam perkara sair suluk ini terdiri atas tiga: Sebagian beramal antara takut dan harapan, dengan kecintaan yang disertai dengan haya (malu), orang seperti ini disebut dengan murid. Sebagian dari wâdi yang terpisah-pisah, terserap pada wâdi jam’ dan’ disebut murâd. Dan selain dua tersebut adalah pendakwah yang tertipu dan tergoda.
Seluruh maqam-maqam berkumpul pada tiga tingkatan, pertama: Qâsid (orang yang bermaksud) memulai sair suluk. Kedua: Masuk dalam pengasingan. Ketiga: Mendapatkan musyahadah, dimana hamba ditarik pada realitas tauhid di jalan fana.
Dalam kitab Syarh Manazil as-Sairin ini, penulisnya menyebutkan sepuluh bagian stasiun inti, yaitu; 1. Bidayât, 2. Abwâb, 3. Mu’amalât, 4. Akhlaq, 5. Usul, 6. Audiyah, 7. Ahwal, 8. Wilayât, 9. Haqâiq, 10. Nihâyat, yang masing-masing sepuluh bagian inti tersebut memiliki 10 bagian-bagian lagi.
Pesalik dalam perjalanan suluknya mestilah melewati tahap-tahap dari stasiun-stasiun dan maqam-maqam tersebut untuk memperoleh wusul (sampai) dan liqa (pertemuan) dengan Hak Swt serta menikmati hidangan hakikat dari tauhid wujud dalam bentuk baqa dalam kefanaan.
Gambar : mistikus-sufi.blogspot.com
0 Komentar