Oleh : Hamsinah Hamid
Pagi yang cerah menjelang siang.
Tampak seorang ibu berumur sekitar 60 tahun tengah berbincang dengan adik-adik
perempuan Rahmah di depan rumah. Sebelumnya, Rahmah menyaksikan adik-adiknya
menyalami Ibu Asiyah, yang masih terlihat cantik itu. Rahmah yang melihat
keakraban yang terjalin itu, tersenyum sumringah.
Ibu Asiyah berusia lanjut. Namun,
masih tetap cantik itu, bertanya, “Siapa yang namanya Rahmah di sini?”
Adik-adik Rahmah saling berpandangan,
lalu mereka serempak tersenyum. Mereka menoleh kepada Rahmah. Rahmah yang masih
berada di dalam rumah menjawab, “Oh iye, saya Aji.” Ibu Asiyah lantas berbalik
ke arah Rahmah, seraya berkata sambil tertawa kecil, “Hehehe, bukan jodoh di'.”
Rahmah lalu bergabung dengan mereka
dan menyalami ibu Asiyah. Tak lama kemudian, Rahmah dan Fatimah, adiknya,
yang sementara menunggu grabcar pamit.
Begitu melihat kendaraan yang mereka sudah pesan via aplikasi
sudah menghampiri mereka.
Di atas grabcar, Rahmah
teringat perkataan yang ditujukan padanya oleh Ibu Asiyah tadi. Bukan jodoh.
“Wah, rupanya Ibu Asiyah tahu sedikit banyak tentang hubunganku dengan
puteranya. Padahal selama ini aku pikir beliau tidak tahu, “batin Rahmah.
Rahmah menghela nafas.
Menyeruak sejumput kenangan masa lalu, ketika Rahmah masih aktif di suatu organisasi remaja. Berawal dari perkumpulan itulah,
Rahmah mulai mengenakan jilbab. Setelah ikut training, Rahmah enggan membuka
penutup rambut alias jilbabnya. Pernah ada sepupu Rahmah yang bilang, “Bagus
itu Rahmah kalau bisa ji bertahan pakai jilbab.” Rahmah cuma ketawa
mendengarnya. Ia berikrar dalam hati kalau ia akan tetap pakai jilbab sampai
kapanpun.
Ketika itu, kegiatan di organisasi pemuda
dimana Rahmah berkecimpung di dalamnya, begitu semarak. Cukup banyak kegiatan
yang mereka lakukan. Seperti, peringatan hari besar agama Islam, pengajian tiap
bulan, bazar, dan juga latihan kader untuk perekrutan anggota.
Selain menjadi anggota organisasi
tersebut, mereka pun menjadi anggota remaja masjid setempat. Kegiatan yang
paling berkesan bagi remaja masjid adalah kegiatan pada bulan Ramadhan. Mereka
menyiapkan hidangan buka puasa yang berasal dari warga.
Habis mendengar ceramah mereka
sholawat tarwih. Para remaja waktu itu biasanya melakukan sholat tarwih dua
puluh rakaat bersama pengurus masjid. Pada saat itu jamaah sudah banyak
berkurang. Jamaah umumnya mengambil delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Kegiatan yang lain, yang tak kalah
berkesannya, yaitu kalau ada yang meninggal dunia, mereka selalu dipanggil
pergi mengaji selama tiga malam berturut-turut. Ketika itulah, Rahmah mengenal
seorang pemuda yang cukup menarik perhatiannya.
Pemuda itu seorang lulusan dari
pesantren yang cukup ternama di Sulawesi Selatan. Pemuda itu bernama Ahmad.
Dulu, kalau Ahmad lagi libur, setiap pulang dari pesantren, ia mengajar Rahmah
dan teman-temannya bahasa Arab di masjid. Biasanya ia mengajar setiap ba’da
Magrib sampai Isya menjelang.
Terkadang, ada teman perempuan Rahmah
yang bilang, “Wah, bukan pelajarannya yang jadi fokus perhatian, gurunya ji yang jadi
bahan perhatian.” Maklum Ahmad mempunyai perawakan yang cukup atletis dan
memiliki rupa yang lumayan menarik perhatian lawan jenisnya.
Setelah lulus dari pesantren, Ahmad
melanjutkan sekolahnya di Kota Makassar. Ia kemudian mengikuti training di
organisasi pemuda yang sama dengan Rahmah. Selanjutnya, dalam perjalanan dalam
berorganisasinya, ia terpilih menjadi ketua organisasi itu.
Berawal dari seringnya Rahmah dan
Ahmad bertemu, baik di masjid maupun di organisasi. Timbul ketertarikan di
antara keduanya. Namun, masing-masing tetap menjaga jarak. Tak pernah ada kata
cinta di antara mereka. Walaupun mereka menyadari, kalau mereka saling menyukai
satu sama lain. Mereka berdua nyaris tak pernah berbicara berdua. Setiap mereka
bertemu, ada teman-teman yang lain bersama mereka.
Sampai suatu waktu, seusai tamat
sekolah menengah atas, Ahmad memutuskan untuk melanjutkan kuliah di seberang
pulau. Tepatnya di kota Gudeg, Yogyakarta. Sudah lama Ahmad bercita-cita ingin
menuntut ilmu di kota pelajar itu. Atas restu kedua orangtuanya, Ahmad pun
berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.
Seperti teman-teman Ahmad yang merasa
kehilangan sosoknya, Rahmah pun turut merasa kehilangan. Perasaan rindu kepada
sosok pemuda itu pun tumbuh di hatinya.
Setelah beberapa bulan Ahmad berada di
Yogya, Rahmah mengirimkan surat kepada Ahmad. Hanya sekadar bertanya bagaimana
kabar sang pemuda di seberang sana.
Surat balasan datang dari Ahmad yang
diantarkan oleh tukang pos. Rahmah merasa deg-degan ketika menerima surat itu.
Gerangan apa yang dituliskan pemuda pujaan hatinya itu.
Tak dinyana oleh Rahmah, dalam surat balasannya,
Ahmad menyatakan perasaan sukanya pada Rahmah. Namun, ia tak mungkin
menampakkan perasaannya itu di depan teman-temannya. Mengingat ia lulusan
pesantren. Jadi, kalaupun ada rasa suka di antara mereka. Tidak mungkin, mereka
seperti kebanyakan orang yang berpacaran.
Mendaras surat Ahmad dari seberang
sana, Rahmah merasa bahagia. Ia juga sebenarnya tidak ingin berpacaran. Namun,
entah mengapa ia memiliki perasaan sayang pada pemuda itu. Dan rasa itu tak
bisa ia bendung. Rahmah berpikir, asal ia tahu kalau pemuda itu juga punya
perasaan yang sama dengan dirinya, itu sudah cukup.
Setelahnya, surat-menyurat antara
mereka berjalan dengan lancar. Namun uniknya, setiap Ahmad pulang kampung,
Rahmah dan Ahmad tak pernah berbicara berdua. Jika mereka kebetulan bertemu,
mereka hanya saling pandang dan tersenyum.
Sepertinya, komunikasi Ahmad dan
Rahmah lebih lancar melalui surat. Saat itu belum ada yang namanya,
handphone. Apalagi, aplikasi WA atau facebook. Yang ada itu, cuma telepon
rumah. Namun, telepon rumah tak pernah sekali pun difungsikan untuk kelancaran
komunikasi mereka. Rupanya, Rahmah dan Ahmad, dua-duanya… pemalu.
Pernah ada suatu kejadian di kota
Yogyakarta yang membuat hati Rahmah cemas memikirkan pemuda itu. Kala itu
bertepatan dengan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1997,
Gunung Merapi meletus.
Peristiwa itu terjadi pagi menjelang
siang. Sekitar pukul 10.30, gunung berapi yang tergolong aktif itu menyemburkan
awan panas bercampur debu dan pasir. Awan panas itu mengalir pada aliran Kali
Krasak sepanjang enam kilometer dan aliran Kali Boyong sepanjang empat-lima
kilometer.
Untungnya, Ahmad mengerti kecemasan
Rahmah. Ia segera mengirimkan surat kepada Rahmah, bahwa ia dalam keadaan
baik-baik saja.
Surat-menyurat antara mereka berjalan
lancar. Sampai ketika Rahmah masuk ke suatu organisasi kemahasiswaan. Dan ia
aktif mengikuti kajian. Kajian yang menyadarkan dirinya bahwa menjalin hubungan
dengan lelaki bukan mahrom itu, sesuatu yang tidak dibenarkan. Walaupun,
dirinya dan Ahmad menjalin hubungan hanya melalui surat.
Hati Rahmah merasa terganggu akan hal
itu, namun ia bimbang. Antara keinginan mengakhiri hubungan mereka atau
membiarkan saja. Toh, selama ini mereka hanya berkomunikasi lewat surat. Lagi
pula, tak pernah ada kata-kata mesra di antara mereka. Hanya sekadar
menginfokan keadaan masing-masing. Tak lebih dari itu.
Cukup lama Rahma mempertimbangkannya. Akhirnya,
Rahmah mengambil keputusan mengirim surat kepada Ahmad. Tentang niatnya untuk
tidak melanjutkan surat menyurat antara mereka. Jika Ahmad ingin terus
berhubungan dengannya, ia minta Ahmad untuk datang melamar Rahmah kepada kedua
orang tuanya.
Rahmah mengirimkan surat itu kepada
Ahmad, dengan perasaan tak menentu. Karena, sebenarnya ia terlanjur menyayangi
pemuda itu. Namun, ia tidak mau terus bergelimang dengan perasaan berdosa. Ia
takut telah terlibat dengan yang namanya zina hati.
Selang berapa hari kemudian, balasan
surat Ahmad datang. Dalam surat balasannya itu, Ahmad menyatakan kalau ia
mengerti tentang perasaan Rahmah. Melalui suratnya itu, Ahmad menyetujui niat gadis
itu. Dan mulai saat itu, ia mengakhiri hubungannya dengan Rahmah. Karena tidak
mungkin, saat ini ia melamar Rahmah. Karena ia masih sementara belajar di kampung
orang. Insya Allah, jika mereka memang berjodoh, mereka akan bertemu di saat
yang tepat.
Ketika menerima surat balasan dari
Ahmad, hati Rahmah merasa sedih sekaligus plong. Ia merasa sedih karena
hubungan dengan pemuda baik itu sudah putus. Tetapi, ia merasa plong. Karena,
ia bisa memperbaiki dan menata kehidupannya. Tanpa ada bayang-bayang maksiat
menyertainya.
Dalam perjalanan kehidupan
selanjutnya, Rahmah kemudian menikah dengan orang lain. Dan, ia bahagia dengan
pernikahannya itu. Ahmad pun menikah beberapa tahun setelahnya. Menjelang
detik-detik pernikahannya, Ahmad berkata kepada, Annisa, salah satu teman dekat
Rahmah, “Seandainya sahabatmu itu sabar menungguku, mungkin ia yang kutemani
bersanding saat ini.”
Annisa menyampaikan perkataan Ahmad
kepada Rahmah. Rahmah hanya tersenyum mendengarnya dan berkata, “Oh, begitu,
yah. Tapi, sayang…Kami tak berjodoh, yah. Aku doakan, semoga ia bahagia dengan
isterinya.”
Pagi ini, Rahmah kembali mendengar
kata-kata itu. Bukan
jodoh. Namun, ia tak menyangka, kata-kata itu berasal dari Ibu Asiyah,
calon mertuanya dulu. Kini, Ia dan Ahmad sudah sama-sama menikah. Masing-masing
sudah memiliki keturunan. Dan mereka sama-sama sudah berbahagia dengan kehidupan rumahtangga mereka. Kendati
mereka berjodoh dengan orang lain.
Sumber Foto : Mudanews.com
0 Komentar