Kekuatan apa yang telah menggerakkan sekelompok orang tua untuk setia bermajelis ilmu selama bertahun-tahun? Jika itu untuk kepentingan akademis, tidaklah terlalu mengherankan. Akan tetapi ini jauh dari target-target tersebut. Lantas apa sebenarnya yang mereka cari?
Dulu semasa zaman aktivis pergerakan ada slogan yang popular yakni universitas alternatif. Awalnya lahir karena kekecewaan terhadap dunia kampus sementara efek keranjingan belajar sedemikian besar. Meskipun saat itu tidak ada model pengkajian yang tuntas, tapi itulah yang telah mendorong perjalanan menuju etape pengembaraan yang sedemikian berat. Keingintahuan yang mendalam membuat semangat pencarian tidak pernah padam. Menjelajahi satu kajian ke kajian lain sampai harus ‘ber-passing over’, benar-benar masuk dan merasakan pengalaman keberagamaan pada setiap kelompok.
Pasca periode aktifis memasuki era kehidupan sebagai keluarga yang berjuang secara sosial ekonomis, api pencarian itu tetap tak padam. Mereka berkumpul kembali dengan slogan long life education (pendidikan seumur hidup). Perkembangan selanjutnya sudah menjurus kepada kajian yang lebih spesifik. Itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya Komunitas Sungai Kenabian (KSK).
Peranan sebuah perkumpulan memang sangat penting. Di satu sisi sebagai jejaring yang bisa menyelamatkan kita dari pusaran deras arus hidup materialisme yang bergaya hedonistik ini. Di sisi lain, hal itulah yang menjaga bara api pencarian itu tetap bersinar. Setelah proses internalisasi yang intens, maka menyebarlah wewanginya yang semerbak dan menjadi magnet perekat yang menyelamatkan.
Lantas apakah memang masih relevan model-model pembelajaran kajian ala mahasiswa ini ketika uban telah menyilaukan cahayanya? Apalagi seperti biasa tidak sedikit orang yang berteriak : sudah-sudahlah, jangan kajian terus, saatnya sekarang berkarya, gerakan sosial, berbuat praktis dan sebagainya. Lantas apakah model kajian bagi orang-orang beruban ini patut dihukumi bukan sebagai aksi nyata? Yang mana sebenarnya yang harus menjadi prioritas ?
Bagi orang-orang yang sudah merasa puas dengan dirinya, tentu akan sulit bertahan dalam model ini. Tapi tentu beda jika perasaan berkekurangan terus-menerus menerpa seseorang akibat badai 'pubertas kasyf sebagian'. Istilah terakhir ini adalah ciptaan penulis sendiri yang merujuk kepada sebuah kondisi batin yang menyaksikan dirinya fakir ilmu di tepi samudera pengetahuan yang mahaluas.
Ibarat seseorang calon penulis yang berdiri di dalam perpustakaan yang kiri kanannya di kelilingi oleh ribuan kitab berjilid-jilid, pasti akan terkulai lemas dan membuat pengakuan. “Oh apalagi yang harus aku tulis, bukankah semua sudah sangat memadai dan berlimpah kata-kata bijak, segala jenis pengetahuan dan hikmah dalam kitab-kitab ini? Tidakkah sebuah kemubadziran ketika aku harus menulis dan seakan memaksa orang lain membacanya?" Paling tepat yang harus dilakukannya hanyalah menulis sesuatu yang mendorong orang lain agar dapat menyelami lautan pengetahuan di perpustakaan tersebut.
Ibarat seseorang calon penulis yang berdiri di dalam perpustakaan yang kiri kanannya di kelilingi oleh ribuan kitab berjilid-jilid, pasti akan terkulai lemas dan membuat pengakuan. “Oh apalagi yang harus aku tulis, bukankah semua sudah sangat memadai dan berlimpah kata-kata bijak, segala jenis pengetahuan dan hikmah dalam kitab-kitab ini? Tidakkah sebuah kemubadziran ketika aku harus menulis dan seakan memaksa orang lain membacanya?" Paling tepat yang harus dilakukannya hanyalah menulis sesuatu yang mendorong orang lain agar dapat menyelami lautan pengetahuan di perpustakaan tersebut.
Sebuah riwayat dalam Kitab 40 Hadist (Telaah atas Hadist Ahlak dan Mistis) dari Abu Abdillah a.s bersabda, "Para penuntut ilmu ada tiga golongan, maka kenalilah mereka melalui kualitas dan karakteristik mereka. Satu golongan mencari ilmu demi kebodohan dan perselisihan. Golongan lain mencari ilmu demi menguasai (mendominasi) dan memperdaya. Golongan satunya lagi menuntut ilmu demi meningkatkan pengertian dan akal."
Menurut riwayat ini, golongan pertama itu berbahaya dan suka berselisih, gemar mengadu pendapat di majelis berbicara tentang ilmu dan menguraikan tentang kesabaran, mereka mengenakan pakaian kerendahan hati, meski mereka tidak shaleh. Akibatnya Allah mengancurkan hidung dan memotong pinggang mereka. Golongan kedua para pencari ilmu demi untuk mendominasi adalah ahli menipu dan memperdaya. Bersikap rendah hati terhadap orang kaya. Makanan lezat orang kaya ini mereka santap, sementara mereka menghancurkan iman mereka. Akibatnya Allah membutakan penglihatan mereka dan menghapus jejak-jejaknya dari pusaka orang-orang berilmu.
Adapun golongan ketiga, yang menuntut ilmu demi meningkatkan pemahaman dan akal, mereka itu berduka cita dan bangun di malam hari. Dengan mengikatkan pecinya dengan ujung surbannya. Mereka berdiri (shalat) di kegelapan malam. Dia beramal ragu-ragu bercampur takut. Sebagai tamu yang sangat terpesona, yang asyik beramal, dan mengenal orang-orang di zamannya. Dia prihatin terhadap saudaranya yang amat dipercayainya. Akibatnya Allah memperkuat dukungan-Nya, dan menganugerahinya ampunan pada hari kiamat.
Mencermati karakteristik ketiga golongan penuntut ilmu di atas, semoga Majelis KSK ini masuk dalam golongan ketiga. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa segala jerih payah selama ini merupakan sebuah pembuktian ke arah gerak menyempurna paling maksimal. Semangat pengkajian bukanlah didasari atas sebuah target ekspansi, seperti seorang pengkhotbah yang mengumpulkan referensi untuk berdiri garang di mimbar keesokan harinya.
Begitu pun pada era aktifis gemar baca buku dan kajian sebagai bekal keren untuk menjejali kader dengan pikiran terakhir. Tapi model pengkajian yang sekarang ini semata digerakkan oleh energi mikrokosmik kefaqiran dan ‘terbukanya hijab’ keegoan merasa tahu. Teguh dalam ‘maqam fakir ilmu’. Terminologi terakhir inilah yang layak diberikan sebagai sebentuk penghargaan kepada mereka-mereka yang istiqomah di jalan ini.
Proses pengkajian secara intens sejalan dengan hadist Rasulullah saw : “Tidak ada kehidupan yang baik bagi dua orang : orang berilmu yang pengetahuannya dijalankan dan bermanfaat, serta orang yang mau mendengarkan pelajaran.”
Begitu pun pada era aktifis gemar baca buku dan kajian sebagai bekal keren untuk menjejali kader dengan pikiran terakhir. Tapi model pengkajian yang sekarang ini semata digerakkan oleh energi mikrokosmik kefaqiran dan ‘terbukanya hijab’ keegoan merasa tahu. Teguh dalam ‘maqam fakir ilmu’. Terminologi terakhir inilah yang layak diberikan sebagai sebentuk penghargaan kepada mereka-mereka yang istiqomah di jalan ini.
Proses pengkajian secara intens sejalan dengan hadist Rasulullah saw : “Tidak ada kehidupan yang baik bagi dua orang : orang berilmu yang pengetahuannya dijalankan dan bermanfaat, serta orang yang mau mendengarkan pelajaran.”
Bukan lagi masanya untuk meledek kelompok ritualis dan para pengkaji seraya menganggap diri telah berbuat realistis. Ini adalah jebakan lingkaran setan yang tiada akhirnya. Bukankah gerakan sosial membuat lembaga pendidikan, pesantren dan lain-lain bertujuan untuk menghimpun orang untuk meningkatkan pengetahuan supaya kualitas ibadah mereka bisa lebih baik? Imam Ali telah memperingatkan tentang dua model yang sering dipertentangkan ini seperti yang termaktub dalam Ensiklopedi Mizanul Hikmah Jilid 3 Bab Ilmu (no. 4555) bahwa, “Ilmu tanpa pengamalan adalah sia-sia, dan pengamalan tanpa ilmu adalah sesat.” Justru hal yang harus diwaspadai sebagaimana peringatan Imam Ali (No.4663) “Apabila Allah SWT merendahkan seorang hamba maka Dia akan mencegah ilmu untuk (sampai pada)nya."
Bisa jadi pandangan sebelah mata atas kelompok para pengkaji adalah sebuah blok mental yang mencegah kita untuk memperoleh pengetahuan baru. Kalau ini yang terjadi, sungguh sebuah bencana yang teramat besar. Padahal, Masih kata Imam Ali (No. 4460), “Tidak ada simpanan yang lebih bermanfaat dari pada ilmu”. Bahkan paling ekstremnya seperti kata Imam Ja’far Shadiq as (4486), “Seandainya manusia mengetahui apa yang dicari dalam ilmu maka mereka akan mencarinya walau dengan pertumpahan darah dan berjalan di atas es (salju)."
Jangankan kita yang mengaku sebagai pengikut yang secara pasti fakir ilmu ini, bahkan salah satu kegembiraan para ruh suci ketika mereka memperoleh pengetahuan baru. Dalam tafsir Nur Tsaqalain 397/3 diriwayatkan terjadi percakapan antara Imam Ja’far Shadiq as dengan salah seorang sahabatnya. Imam Ja’far berkata, “Setiap malam Jumat, kami selalu merasakan kegembiraan dan kesenangan khusus.” Sahabat itu bertanya, “Semoga Allah menambah kesenangan itu wahai Imam, kesenangan apa itu ?” Imam menjawab, “Setiap malam Jumat tiba ruh suci Rasulullah saw dan para Imam Maksum, kami bersama-sama naik menuju Arsy Allah. Ruh kami tidak akan kembali ke tubuh, tetapi kami telah memperoleh pengetahuan baru. Seandainya tak terjadi, itu menunjukkan pengetahuan kami telah berakhir.” Diriwayat lain dalam Tafsir Majma Al Bayan pada keterangan tentang ayat 113-114 surat Thaha, Rasulullah saw bersabda : “Apabila hari yang kulalui tidak disertai penambahan ilmu untuk mendekatkan diriku kepada Allah, matahari yang terbit di hari itu tidak membawa keberkahan bagiku.”
Hal yang tidak kalah pentingnya dari semangat pengkajian ini adalah wujud pembuktian ketundukan dan penghargaan terhadap otoritas. Bahwa para Guru kita (sebuah sebutan yang mungkin hanya dimengerti pihak internal) yang telah mengorbankan diri mereka di jalan pengetahuan selama berpuluh tahun tentu mereka menempati maqam keilmuan yang sulit dibandingkan. Imam Ali dalam Ensiklopedi Mizanul Hikmah Jilid 3 (no.4530) memberikan sinyal bahwa, “Tidak akan terjaga ilmu kecuali bagi yang lama belajarnya." Apalagi jika kita mengetahui bahwa mereka menjalani tidak saja tempaan kognitif tapi sekaligus (secara otomatis) gemblengan suluk irfani.
Sesuatu yang sudah sepantasnya jika kita menurunkan sedikit level keegoan dengan datang bersimpuh meminta untuk ikut mereguk manisnya pengetahuan yang berhierarki-hierarki itu dari mereka. Imam Musa Kazhim as, masih dalam Mizanul Hikmah (no.4516) mengisyaratkan tips memilih guru : “Tidak ada ilmu melainkan dari seorang alim Rabbani, dan mengenal orang alim dengan akal." Secara aqliyah, tidaklah berlebihan kalau kita menyebut para guru-guru kita sebagai ulama. Bukan saja karena lamanya belajar, sebagaimana karakteristik Imam Ali (no. 4537) bahwa, “Orang alim adalah yang tidak bosan dari mempelajari ilmu." Terlebih lagi pada asas manfaat yang telah ditularkannya. Imam Muhammad Baqir a.s, (no. 4478) menyatakan, “Orang alim yang bermanfaat ilmunya lebih utama daripada tujuh puluh ribu ahli ibadah." Berkaitan dengan hal tersebut, lebih lanjut Rasulullah saw (no. 4476) ketika membahas lebih besarnya permusuhan iblis kepada orang alim dari abid, karena seorang abid beribadah untuk dirinya, sedangkan orang alim untuk selainnya. Bahkan dalam Ihtihaj Thabarsi disebutkan bahwa orang berilmu adalah penjaga nilai kebudayaan islam. Sebagaimana kata Imam Ja’far as-Shadiq as : “Orang-orang berilmu dari pengikut kami adalah para penjaga yang bertugas di perbatasan untuk mengantisipasi serangan tentara iblis dan menjaga orang-orang selain mereka yang tidak memiliki kekuatan cukup untuk melawan serangan Iblis terhadap mereka.”
Maka sangatlah layak jika proses pengkajian (majelis KSK) yang konsisten ini disebut sebagai wujud penghormatan kepada Guru. Sejalan dengan perkataan Imam Ali dalam Mizanul Hikmah (no. 4526), “Barangsiapa menghormati orang berilmu (alim) maka dia telah menghormati Tuhanku." Senada dengan itu, Rasulullah saw (no.4524) bersabda, “Barangsiapa yang menyambut (baik) ulama maka dia telah menyambutku. Barangsiapa yang menziarahi ulama maka dia telah menziarahiku, barangsiapa yang duduk bersama ulama maka dia telah duduk bersamaku dan barangsiapa yang duduk bersamaku maka dia telah duduk bersama Tuhanku.”
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah faktor validitas sanad (jalur periwayatan) sebuah ilmu. Dalam hal ini, kita mengenal Guru-guru kita yang telah berguru secara langsung di pusat peradaban primer ilmu dan hikmah. Dalam hal ini, Imam Ali a.s (No. 4589) mengisyaratkan, “Seandainya kalian mengambil ilmu dari tambangnya, meminum air dengan kesegarannya, menyimpan kebaikan dari tempatnya, mengambil jalan dari penjelasannya dan berjalan dari kebenaran metodenya, niscaya jalan-jalan akan terang bagi kalian dan akan tampak tanda-tanda bagi kalian.” Secara lebih mendetail, Imam Muhammad Baqir as menjelaskan jalan yang dimaksudkannya ketika berbicara kepada Salamah bin Kuhail dan Hakam bin Utaibah (no. 4590) bahwa, “Ke barat dan ke timurlah kalian berdua niscaya tidak akan mendapatkan ilmu yang benar melainkan yang keluar dari kami Ahlulbait.” Dalam riwayat yang lain, Imam Ja’far setelah membahas para nabi tidak mewariskan baik dinar maupun dirham melainkan hadist, beliau memperingatkan, “Perhatikanlah dari mana kamu memperoleh pengetahuanmu ini! Sesungguhnya sejumlah orang adil dari Ahlulbait ada di setiap masa. Ia menjaga ilmu dari tahrif yang dilakukan orang-orang yang melampaui batas, klaim yang tidak mendasar dan menyimpang, serta pemikiran dari orang-orang bodoh.”
Maka wahai Tuhan Yang Maha Tahu, persaksikanlah hamba-hambamu yang sudah separuh baya ini, yang sudah pada beruban ini. Sebagaimana dalam sabda-sabda dari orang-orang suci-Mu (Nomor dalam kurung menunjukkan rujukan riwayat dalam Ensiklopedia Mizanul Hikmah 3-Red), bahwa kami setia dalam majelis-majelis-Mu demi mendapatkan suluh bagi akal kami (4455), identitas paling tinggi (4457) dan sebagai petunjuk yang paling baik (4456) dan demi untuk meraih kemuliaan dengan ilmu (4461). Meskipun dalam terpaan badai ekonomi yang menggoyahkan. Tapi kami kami yakin sebagaimana sabda Nabimu (No.4491) “Barangsiapa yang mencari ilmu maka Allah SWT akan menjamin rezekinya."
Meskipun kami harus melintasi guyuran hujan dan petir yang menggetarkan, kami tetap setia karena yakin bahwa malaikat akan menghamparkan sayapnya dan memohonkan ampunan bagi kami (4493). Kami tetap setia bermajelis demi untuk mengenal-Mu dengan pengenalan maksimal yang bisa kami raih. Semoga kesetiaan menuntut ilmu ini dapat memastikan jalur kami tetap di jalan-Mu sampai kami kembali ke rumah (4489). Sekiranya pun ajal kami sudah dekat maka cabutlah ruh kami dalam keadaan menuntut ilmu agar kematian kami terhitung syahadah (4487).
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami waktu luang menuntut ilmu, karena seperti pesan Khidir as kepada Musa as (4527) bahwa sesungguhnya ilmu hanya bagi orang yang memiliki waktu yang luang. Sekiranyapun dalam proses ini kami memiliki keterbatasan pemahaman maka sempunakanlah hujjah-Mu kepada kami melalui jalur keilmuan utusan utusan suci-Mu, dan para wali-wali-Mu melalui lisan berkah para guru-guru kami. Aamiin.
1 Komentar
[10/2 06:53]: Sekarang qt bergerak semua sesuai dgn minat dan kemampuan dan mari qt berusaha tdk mengecilkan peran2 yang lainnya, meskipun dipandangan qt hal itu tdk terlalu berarti bagi gerakan besar TS. Sebab, banjir yang tercipta itu, pada hakikatnya tersusun dari butiran2 air hujan yang melimpah🙏🙏
BalasHapus[10/2 06:57]: (Kita) pernah mengalami fase Imam Zainal Abidin AS, fase kesendirian dan kesenyapan. Tatkala itu yang lebih banyak beliau perankan adalah do'a dan munajat, tapi dari do'a dan munajat itu qt bisa peroleh lautan ilmu serta kendaraan cepat untuk sampai kpd Allah SWT🙏🙏
(Petikan status uzt.Syamsunar)