Oleh : Rajab S. Daeng Mattayang
Sekali-kali
cobalah bertandang ke pemukiman orang-orang Makassar. Apalagi kalau memang
mukim di daerah-daerah yang didiami oleh mereka yang berbahasa Makassar. Coba
perhatikan nama-nama perempuan di antara mereka.
Anda
akan dengan mudah menemukan nama-nama seperti : Tima, Mima, Ati, Pati, Tati,
Patma, Ima, Sati, Patimang, Patimasang dan Fatima atau Patima.
Nyata
sekali bahwa nama-nama itu adalah adaptasi sekaligus variasi dari nama Bunda
Fatimah Zahra, Putri tersayang Nabiullah Muhammad sekaligus istri dari Baginda
Ali Bin Abi Thalib.
Pemberian
nama semacam itu, bagi orang Makassar, sadar atau tidak sadar, merupakan suatu
penghormatan terhadap Sayyidah Fatimah. Barangkali,
yang kurang, adalah mereka kurang mengenal siapa sejatinya Wanita Termulia Sejagat Raya tersebut.
Kalau
saja masyarakat Sulawesi Selatan lebih intim dengan wanita termulia sejagad
tersebut, bukan hanya sekadar pemberian nama saja yang sudah menjadi kelaziman,
tapi juga betul-betul dapat dijadikan teladan sempurna. Bukan hanya bagi
perempuan tapi juga laki-laki sekali pun. Teladan bagi setiap insan.
Yang
perlu disebarluaskan adalah keagungan Bunda Fatimah sebagai salah satu manusia
yang disucikan, sebagaimana dinyatakan dalam Alquran surah Al-Ahzab; 33. Sebenarnya
sangat banyak riwayat yang menceritakan tentang keutamaan tersebut.
Sebagian
kecil di antaranya adalah sabda Rasulullah “Adapun putriku Fathimah, dia adalah
penghulu wanita sejagat, baik dari kalangan orang-orang yang terdahulu maupun
orang yang kemudian”. Di riwayat lain disebutkan “Cukuplah wanita-wanita ini
sebagai panutan kalian, yaitu Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid,
Fatimah binti Muhammad dan Asiyah binti Muzahim (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Yang
menarik disimak adalah bahwa kedudukan perempuan betul-betul, dapat dianggap
sederajat dengan laki-laki dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Perempuan tidak
dimarjinalkan, sebagaimana di banyak masyarakat atau peradaban di berbagai
belahan dunia.
Bahkan
di jazirah Arab sekalipun, sebelum kedatangan Islam Muhammadi, betapa
perempuan tidak dihargai, bahkan kelahirannya terkadang dianggap sebagai aib
dan sebagai komoditas belaka, hingga banyak bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup. Jauh beda, ketika bayi laki-laki yang dilahirkan, yang disebut-sebut sebagai suatu keberuntungan.
Tingginya
kedudukan perempuan dalam masyarakat Sulawesi Selatan telah banyak dielaborasi.
Beberapa di antaranya seperti hasil kajian Raffles pada tahun 1817 (dalam
Pelras, 1985:160) bahwa di Sulawesi Selatan perempuan lebih percaya diri
daripada yang diharapkan dari peradaban negara-negara lain pada umumnya.
Perempuan tidak mengalamai penderitaan, kemelaratan atau pekerjaan yang
membatasi produktivitasnya sebagaimana di belahan dunia lain.
Crawfurd (History of Java, 1985) juga mencatat bahwa,
di Sulawesi Selatan perempuan tampaknya tidak memiliki skandal dalam
masyarakat. Dia berperan aktif dalam semua bisnis dalam kehidupan. Mereka
berkonsultasi dengan laki-laki untuk semua urusan publik, dan seringkali naik
tahta (menjadi raja), juga terlibat ketika pemilihan raja.
Kesimpulan
kedua pakar tersebut tidaklah mengherankan. Tentunya, dengan mencermati bagaimana
sejarah kebudayaan dan politik Makassar itu sendiri. Yang saya kira tidak jauh
berbeda dalam masyarakat Bugis, Mandar, dan Toraja yang memang serumpun.
Dalam
sejarahnya, perempuanlah yang menjadi juru damai terbesar dalam masyarakat Makassar,
yang menjadi jalan bagi berdirinya kerajaan Gowa-Tallo, atau juga dikenal
sebagai kerajaan Makassar.
To Manurung Bainea atau Putri yang turun dari
Kayangan adalah raja pertama Kerajaan Makassar. Tidak tanggung-tanggung, beliau
memerintah selama kurang lebih dua puluh lima tahun, 1320-1345 M.
Baine yang berarti perempuan, berasal
dari kata bine yang berarti benih
padi yang akan ditanam, atau juga bermakna cikal-bakal.
Dari
seorang perempuanlah, To Manurung Bainea, persatuan kerajaan Makassar dapat
tercapai. Dimana sebelumnya, seringkali terjadi peperangan dan pertikaian di antara
kerajaan-kerajaan kecil. Saat itu, Gowa masih terdiri dari 9 federasi kerajaan kecil yang disebut Kasuwing, yaitu
Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-Parang, Data, Agang Je’ne, Kalling dan Sero.
Paccallaya,
sebagai ketua federasi dari kesembilan kerajaan kecil tersebut, tidak mampu
mengatasi perang saudara yang kerap terjadi, karena fungsi Paccallaya hanya
sebagai lambang dan tidak memiliki otoritas kuat pada anggota persekutuan yang
masing-masing memiliki hak otonom.
Di
sinilah muncul To Manurung Bainea, yang kemudian diangkat sebagai raja oleh
kesembilan federasi tersebut. Tanah Gowa yang sebelumnya hiruk-pikuk dengan
peperangan dan pertikaian berubah menjadi sebuah kerajaan yang damai bahkan
kelak menjadi salah satu satu kerajaan tersbesar di nusantara, yang
kekuasaannya meliputi Sulawesi, sebagian Kalimantan, Nusa Tenggara hingga
Australia Utara.
Kontribusi
besar dari seorang raja perempuan tersebut, nampaknya, memiliki pengaruh besar
dalam menempatkan perempuan sebagai sosok yang istimewa dalam masyarakat
Makassar.
Bahkan
kelahiran anak perempuan, bagi orang Makassar, seringkali dianggap sebagai
suatu anugerah tersendiri. Apalagi bila dikaitkan dengan prasyarat uang panaik
ketika akan melangsungkan pernikahan dalam adat istiadat bangsa Makassar.
Dimana pihak laki-lakilah yang diwajibkan memberikan uang panaik kepada
mempelai perempuan, yang terkadang cukup besar jumlahnya. Kebiasaan ini,
tentunya, cukup menguntungkan bagi pihak perempuan kalau ditinjau dari segi
sosial ekonomi.
Dalam
pranata sosial, menurut adat istiadat Makassar, anak perempuan biasanya
dianggap sebagai pewaris rumah tempat ia tinggal bersama orang tuanya, bukan anak
laki-laki. Dulu, biasanya, hanya anak perempuanlah yang memiliki kamar pada
rumah-rumah orang Makassar. Anak lelaki dibiarkan tidur di mana saja. Apakah di
ruang tamu, atau teras rumah.
Dengan
menilik selintas sejarah di atas, kita tentunya sangat optimis bahwa
keteladanan Bunda Fatimah betul-betul dapat membumi di Sulawesi Selatan pada
umumnya, karena adanya dukungan historis yang memang sangat memuliakan wanita.
Yang
dibutuhkan ke depan adalah bagaimana membudayakan segenap aspek keteladanan
bunda Fathimah di setiap aspek kehidupan yang kompleks.
gambar : http://madinatulfata.dayah.web.id
0 Komentar