Subscribe Us

ksk logo.jpg

GETARAN POLIGAMI





Oleh : Hamsinah Hamid

        Sepasang suami isteri yang bahagia. Begitulah, kesan pertama yang nampak ketika bersua dengan pasangan itu. Senyum sumringah yang selalu tersungging dari bibir mereka membuat yang memandangnya pun turut senang. Jika melihat aura kebahagiaan mereka, mungkin orang lain tidak percaya kalau mereka, Hamdan dan Miriam, sudah melewati ujian yang cukup berat sebelum pernikahan mereka.

        Hamdan dan Miriam kuliah di kampus yang sama. Namun berbeda fakultas, Hamdan di Fakultas Tehnik dan Miriam di Fakultas Ekonomi. Sebenarnya keluarga Hamdan bukanlah orang berada. Pada awalnya orang tua Hamdan tidak mengijinkannya kuliah di kota. Khawatir tidak bisa membiayai kuliah anak mereka. Namun, anak itu terus membujuk orang tuanya dan memperlihatkan kesungguhannya. Hamdan berjanji untuk giat belajar dan akan berupaya memperoleh beasiswa untuk membiayai kuliahnya.

        Melihat tekad anaknya yang setinggi langit, orang tua Hamdan akhirnya menyetujui keinginan anaknya itu melanjutkan kuliahnya di kota. Orang tua Hamdan pun sebenarnya punya keinginan menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Apalagi Hamdan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sejak ia bersekolah, setiap kenaikan kelas Hamdan seringkali juara kelas. Untuk mewujudkan keinginan anaknya itu, orang tua Hamdan akhirnya merelakan kebun peninggalan kakek Hamdan yang cukup luas di kampung.

        Berbeda dengan Hamdan, Miriam adalah anak seorang pengusaha yang cukup berhasil di kota Makassar. Miriam, seorang gadis yang cantik, lembut dan cukup cerdas. Kendati, ia anak orang kaya ia tidaklah angkuh. Dalam bergaul, ia tidak memilih-milih teman. Ia berteman dengan siapa saja. Oleh karena itu, ia disukai teman-temannya. Keinginannya untuk kuliah tidak memperoleh hambatan sama sekali. Dengan kecerdasannya, ia berhasil lolos seleksi di kampus idamannya.

        Hamdan dan Miriam punya hobi yang sama. Mereka senang berorganisasi. Hobi mereka itulah yang mempertemukan keduanya. Yah, Hamdan dan Miriam dipertemukan dalam suatu organisasi mahasiwa ekstern. Mereka menjadi pengurus aktif di komisariat masing-masing. Hamdan di Komisariat Teknik dan Miriam di Komisariat Ekonomi. Dalam banyak kegiatan, mereka sering berjumpa. Lantaran komisariat mereka bekerja sama melakukan suatu kegiatan.

        Kendati mereka sering bertemu, tidak serta-merta mereka punya perasaan terhadap satu sama lain. Semuanya berjalan seperti biasa. Setelah kepengurusan di komisariat berakhir, mereka kemudian menjadi pengurus cabang. Di penghujung kepengurusan, mereka dijodohkan oleh teman-teman sesama pengurus.

        Berawal dari perjodohan itu, mulai timbul ketertarikan antara keduanya. Namun mereka tidak berpacaran. Sebab pacaran merupakan sesuatu yang tabu dalam organisasi itu. Pun, mereka sudah paham tentang batas-batas pergaulan. Hamdan dan Miriam tetap menjaga jarak. Lagipula mereka berniat menyelesaikan kuliah mereka terlebih dahulu.

        Niat mereka untuk tidak melalui proses pacaran, suatu hal yang langka di jaman seperti ini. Dimana pacaran sudah dianggap suatu hal yang dianggap wajar dan lumrah. Kata sebagian orang, pacaran itu suatu proses ta’aruf. Untuk saling mengenal sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Namun, menurut Hamdan dan Miriam, ta’arufnya bisa setelah menikah saja. Pun, orang yang berpacaran bertahun-tahun lamanya tidak ada jaminan pernikahannya akan langgeng. Toh, selama ini sedikit banyak mereka sudah saling kenal satu sama lain.

        Tidak terasa, Hamdan dan Miriam sudah menjadi sarjana. Hamdan melamar pekerjaan di salah satu bengkel. Sambil menunggu pendaftaran CPNS. Hamdan pun diterima. Setelah bekerja beberapa bulan, Hamdan berniat melamar Miriam. Maksudnya itupun disampaikan kepada gadis itu. Miriam dengan senang hati menerima itikad baik Hamdan untuk melamarnya. Ia mempersilakan Hamdan menemui kedua orangtuanya.

        Malam itu, Hamdan bertandang ke rumah Miriam. Tak disangka, Papi Miriam menilik dari ujung rambut sampai ke ujung kaki calon menantunya itu. Hamdan merasa risih mendapat perlakuan seperti itu. Ia sedikit menyesali.  Kenapa ia tidak membeli pakaian yang pantas dipakai menemui calon mertuanya yang kaya itu? Bukankah ia baru gajian.  Atau mengapa ia tidak meminjam dulu pakaian bagus dari temannya? Tetapi, di sisi lain ia ingin tampil apa adanya di hadapan calon mertuanya.

        Acara silaturrahmi itu akhirnya menjadi terasa garing.  Alih-alih terjadi dialog yang hangat, ini malah lebih banyak diamnya.

        "Saya Hamdan, Pak. Maksud saya ke sini, mau melamar anak Bapak," ujar Hamdan memberanikan diri memulai percakapan.
        "Oh, iya, Nak. Miriam sudah kasi tau maksud kedatangan Nak Hamdan.  Ngomong-ngomong, Nak Hamdan kerja dimana?" tanya Papa Miriam sambil melanjutkan membaca koran yang dari tadi dibacanya.
        "Saya kerja di bengkel, Pak," jawab Hamdan.
        "Oh, di bengkel ya? Memangnya, dengan bekerja di bengkel, Kamu bisa membahagiakan anak saya!!?  ujar Papa Miriam.
        "Insya Allah, Pak. Kerja di bengkel hanya sementara saja. Tahun ini saya akan melamar jadi pegawai negeri," jawab Hamdan mencoba meyakinkan calon mertuanya itu.
        "Iya, kalau lolos. Kalau tidak, bagaimana coba? Melamar anak orang dengan modal dengkul, mana bisa!?" Gerutu Papa Miriam.

        Mendengar kata-kata Papa Miriam, Hamdan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Ia tidak menyangka Papa Miriam ternyata sangat berbeda dengan anaknya. Miriam tidak menilai seseorang dari kekayaannya. Ia pun pamit dan segera berlalu dari tempat itu.

        Setelah Hamdan pulang, Papa Miriam berpikir, bisakah pemuda seperti itu membahagiakan anaknya. Seorang pemuda yang hanya bekerja di bengkel. Papa Miriam tidak setuju Hamdan menikahi anaknya. Menurut Papa Miriam, Hamdan tidak akan bisa membahagiakan anaknya. Anak yang selalu terpenuhi segala kebutuhannya. Selama ini apapun yang Miriam minta akan dikabulkan. Maklum, Miriam itu anak satu-satunya.

        Mama Miriam berpikir lebih bijaksana.

        “Jangan lihat dari penampilan, Pa. Lihatl Loah itikad baiknya untuk melamar anak kita. Coba tanyakan kepada Miriam, kan ia yang mau menikah,” ujar Mama Miriam sambil melirik kepada Miriam.

        “Ah, tidak perlu. Tentu saja, Miriam setuju menikah dengannya. Tapi, ia belum tahu betapa kerasnya kehidupan ini. Pokoknya, Miriam, Engkau tidak kuijinkan menikah dengan pemuda itu!” tegas Papa Miriam. “Lagipula, sahabat Papa, Pak Irwan sudah lama menanyakan Engkau. Katanya, ia ingin menjodohkanmu dengan anaknya. Anaknya itu lulusan luar negeri, sudah kerja pula di perusahaan papanya.”
        “Papa, saya tidak mengenal anak sahabat Papa itu.  Bagaimana perilaku dan sifatnya. Kalau Hamdan, saya sudah kenal karena satu organisasi. Orangnya baik dan bertanggung jawab. Saya percaya ia bisa membahagiakanku, Pa!” ujar Miriam berusaha meyakinkan Papanya.

        Mendengar perkataan Miriam, Papanya tidak menghiraukannya. Papa Miriam malah meninggalkan maryam menuju kamarnya. Ia takut berlama-lama di ruangan itu, khawatir penyakit jantungnya  kambuh. Sebenarnya ketidaksetujuannya akan pilihan Miriam itu karena ia ingin melihat anaknya bahagia.

        Papa Miriam melarang Miriam memikirkan Hamdan. Apalagi untuk berkomunikasi dengannya. Lantaran ia akan dijodohkan dengan anak sahabat Papa Miriam yang punya masa depan yang lebih cerah dibanding dengan Hamdan, pemuda miskin yang berasal dari kampung.

        Kenyataan itu membuat perasaan Miriam terguncang. Ia sama sekali tidak mau dijodohkan. Sebagai bentuk protesnya, ia mengurung diri di kamar. Ia tidak mau makan. Segala apa yang diantarkan ke kamarnya, tidak disentuhnya sama sekali. Akhirnya, Miriam jatuh sakit. Kondisi kesehatan Miriam setiap hari semakin menurun dan ia pun segera dilarikan ke rumah sakit.

        Melihat kondisi puterinya yang memprihatinkan, akhirnya Papa Miriam berubah pikiran. Ia akhirnya menyetujui pilihan puteri semata wayangnya. Keputusan itu ia ambil agar puterinya itu bisa pulih dan ceria kembali seperti dulu.

        “Miriam sayang, Papa minta maaf, Nak! Papa yang buat Miriam seperti ini. Saya setuju Engkau menikah dengan Hamdan,” bisik Papa Miriam ke telinga Miriam.
        “Betulkah itu, Papa? Papa setuju?” balas Miriam seperti tak percaya.
        “Iya, Nak. Papa setuju dengan pilihanmu, Nak!” Papa menegaskan.
        “Oh, syukurlah, Pa,” ujar Miriam memejamkan mata. 

        Perasaan lega menghinggapi kalbu Maryam. Bahagia terasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Sungguh luar biasa dampak kata-kata Papa Miriam. Miriam seperti mendapatkan kekuatan yang luar biasa. Setelah mengetahui perubahan sikap Papanya. Gairah hidupnya bangkit kembali.


*********

        Malam itu, setelah mengetahui  penolakan Papa Miriam.  Hamdan pulang dengan hati kecewa. Namun, ia pasrah dengan kenyataan itu. Faktanya, latar belakang ia dan Miriam memang jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi. Ia anak orang miskin sedangkan Miriam anak orang kaya. Sepertinya, tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi.

        Kendati niatnya tulus untuk menikah dengan Miriam. Demi membahagiakannya, ia rela bekerja keras. Namun, Papa Miriam tidak setuju ia menikah dengan puterinya. Dan, ia pun harus menerima kenyataan itu. Ia harus melupakan Miriam.

        Hamdan seorang pemuda yang tegar. Ia segera bangkit dari kekecewaannya. Ia bertekad bekerja lebih giat lagi agar ia bisa menjadi orang yang sukses. Hamdan pun bukan seorang pendendam, ia tidak membenci Papa Miriam. Kendati telah menolaknya menjadi seorang menantu.


**********

        Miriam berangsur pulih. Ia bermaksud memberitahu Hamdan tentang sikap papanya. Yang telah merestui niat mereka untuk menikah. Ia  menghubungi Hamdan via whattapps. Hamdan heran dengan perubahan sikap Papa Miriam. Kenapa tiba-tiba Papa Miriam berubah? Begitu pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Ia tidak mengetahui bahwa Miriam sebelum ini jatuh sakit. Harapannya muncul kembali untuk mempersunting gadis baik itu.

        Hamdan pulang kampung untuk memberitahu orang tuanya tentang rencananya pernikahannya. Orangtua Hamdan senang mendengar kabar itu. Soalnya mereka sudah ingin menimang cucu. Direncanakanlah pesta pernikahan yang meriah oleh Papa Miriam. Dengan mengundang kaum kerabat, teman-teman Miriam dan juga teman-teman Papa dan Mama Miriam. Di kampung pun diadakan pesta untuk kedua mempelai tetapi hanya sebuah pesta kecil-kecilan.


                                      *********

        Beberapa tahun berlalu, Hamdan dan Miriam hidup berbahagia. Mereka dikaruniai buah hati yang sehat dan lucu. Sudah tiga orang anak mereka. Kehidupan ekonomi mereka terbilang bercukupan, lebih malah. Setelah menikah Hamdan membuka bengkel sendiri. Bengkel itu maju dan sukses. Sehingga ia membuka cabang di beberapa tempat.

        Miriam, seorang wanita yang cerdas namun memilih untuk tidak berkarier.  Ia memfokuskan waktunya merawat anak-anak yang masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya dan juga mengurus rumah tangganya.  Apalagi untuk urusan ekonomi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.


*********

        Suatu hari di tengah siang yang cerah, Hamdan bertemu dengan seorang teman lamanya, yang bernama Amran di salah satu bengkelnya. Amran ingin memperbaiki mobilnya yang lagi rusak. Hamdan sangat senang bertemu dengan karibnya itu. Mereka saling berpelukan melepas rasa kangen mereka.

        Mereka berbincang di kantor Hamdan yang mungil namun asri. Sesekali terdengar tawa kecil saat mereka mengenang kejadian tempo doeloe. Ketika mereka duduk di bangku SMA. Mereka sempat punya gebetan yang sama. Namun, gadis itu menolak  keduanya. Juga, kenangan ketika mereka mengerjai teman yang nampak cupu di mata mereka.

        Setelah lama berbincang, Amran bercerita bahwa ia mempunyai dua orang isteri. Namun, keduanya hidup rukun. Tak pernah ada cekcok antara dua isterinya itu. Mereka hidup bahagia.

        Bahkan kata Amran, isteri pertamanya itu yang mendorongnya menikah lagi. Soalnya, sekian lama mereka hidup berumah tangga belum dikaruniai momongan. Awalnya Amran tidak menggubris permintaan isterinya. Namun, lama-kelamaan Amran luluh juga mendengar permintaan isterinya. Ia pun menikah dengan seorang wanita yang dipilihkan oleh isterinya. Dan, akhirnya Amran memiliki keturunan lewat isteri keduanya itu. Kini anak mereka sudah lima orang.

        Menurut Amran, istri pertama dan keduanya, seperti laiknya kakak adik yang senantiasa saling membantu. Amran sangat bersyukur mempunyai dua orang bidadari dalam kehidupannya. Dan ia selalu berusaha untuk berlaku adil kepada kedua isterinya itu. Amran lalu mengatakan bahwa pendapat sebagian orang tentang praktek poligami tidak ada yang benar itu keliru. Tergantung siapa yang menjalaninya. Toh, sebagai pelaku poligami ia bisa berlaku adil kepada kedua isterinya. Buktinya, isterinya rukun-rukun saja.

         “Hamdan, Kamu tidak tertarik berpoligami juga?” tanya Amran. “Melihat usahamu yang lumayan sukses. Punya cabang di beberapa tempat, kamu kan mampu menafkahi dua bahkan tiga isteri.”
        “Hehehe...Boleh juga. Tapi, saya tidak mau menyakiti hati isteri saya,” jawab Hamdan sambil tersenyum.
        “Kalau memang isterimu paham agama, tentu ia mendukungmu, poligami kan sunnah nabi. Apalagi sekarang jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki,” ujar Amran memberi alasan.
        “Ah, sudahlah Amran, jangan kau ungkit masalah itu, saya tidak mau membahasnya,” tolak Hamdan.
        “Ok, kalau begitu, saya pamit dulu ya, bos. Saya mesti balik ke kantor dulu. Nanti kita ketemu lagi,” ujar Amran mengakhiri pembicaraan.

        Mereka bersalaman dan berpelukan mengakhiri reuni mereka siang itu. Amran telah berlalu. Namun, kata-kata Amran menyisakan riak-riak kecil di hati Hamdan. Ia kagum dengan Amran. Jika  dua benar, ia memiliki dua isteri dan mereka rukun-rukun saja. Karena kebanyakan isteri tua dan muda itu tidak akur. Banyak berita via media sosial tentang hal itu. Pun, pernah menyaksikan sendiri. Pertengkaran hebat antara dua wanita dengan suami yang sama.

        Perkataan Amran tentang kelayakannya untuk berpoligami terngiang-ngiang di telinganya. Apakah aku layak berpoligami? Ah, tidak. Tepis batinnya. Tidak mungkin aku menikah lagi. Aku mencintai isteriku. Jika aku minta izin menikah lagi, apakah ia akan setuju? Ah, tidak mungkin, ia setuju. Jika aku tetap menikah lagi tanpa persetujuannya, apakah itu tidak membuatnya sakit hati dan menderita? Ah, tidak mungkin, aku menyakiti isteriku. Hamdan mengembuskan nafas pelahan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

        Miriam, seorang perempuan yang sudah menemaniku sejak awal. Dulu, ia lebih memilihku, seorang pemuda miskin daripada pemuda kaya pilihan papanya. Dan kini, ia sudah memberi kami anak-anak yang sehat dan lucu-lucu. Perempuan yang sudah rela dan mengikhlaskan waktunya untuk mengurus aku dan anak-anakku. Padahal, ia bisa saja berkarier dan menggaji seorang baby sitter untuk mengurus anak kami, sementara ia pergi bekerja. Tapi, Miriam tidak melakukan hal itu. Ia memilih untuk merawat dan mengurus anak-anaknya sendiri, buah hati kami.

        Begitulah, di dalam hati Hamdan berkelindan pertanyaan dan jawaban yang silih berganti. Tentang posisi Miriam di hati dan kehidupannya. Dan kesimpulannya, ia memilih untuk tetap setia pada perempuan yang telah menjadi pendamping hidupnya selama ini.

        Hamdan singgah di sebuah toko seusai menghadap sang khalik di masjid dekat kantornya.  Entah apa yang dibelinya. Barang itu dibungkus kertas kado yang indah. Pun, tak lupa ia membeli beberapa kuntum bunga mawar. Mawar putih yang indah.


**********

        Miriam kaget melihat kedatangan suaminya. Yang tersenyum-senyum tidak seperti biasanya. Anak-anak segera berlari menyambut kedatangan ayahnya.

        “Ah, ada apa itu, senyum-senyum begitu?” selidik Miriam.
         “Tidak ada apa-apa kok, sayang,” ujar Hamdan, “nih, ada sesuatu untuk isteriku tercinta."
         “Wah, bunga mawar putih…cantik sekali. Terima kasih sayang, tapi ulang tahunku kan masih lama,” ucap Miriam merasa heran. “Ini ada lagi satu, apa yah?”
        “Buka saja, lalu lihat apa isinya?” ujar Hamdan tersenyum simpul.

        Miriam membuka kado yang berbentuk kotak itu. Matanya membulat indah, ketika ia membuka sampul kado itu dan melihat ada dua buah buku best seller di dalamnya. Miriam memang sangat suka membaca. Dari dulu ia punya hobi membaca. Bahkan  dijuluki kutubuku oleh teman-temannya di sekolah.

        Miriam amat bahagia mendapat kejutan dari suaminya. Hadiah yang ia tidak tahu dalam rangka apa suaminya memberikannya. Namun, ia bersyukur mempunyai suami yang baik dan penuh perhatian. Ia tidak tahu. Siang tadi, terjadi dialog batin dalam diri suaminya yang tak pernah terbayangkan oleh Miriam.

Sumber Gambar: http//pinterest.com

Posting Komentar

0 Komentar