Oleh : Ust. Dr. Muhammad Adlani
Urgensi Argumen Rasional dalam
Pembuktian Eksistensi Tuhan
Pada
penjelasan-penjelasan berikutnya akan diungkapkan bahwa keyakinan kepada Tuhan
merupakan keyakinan fitrah bagi semua manusia. Setiap manusia dengan melakukan
perenungan mendalam tentang hakikat dirinya, akan menyadari bahwa hakikat
wujudnya membutuhkan dan bergantung mutlak kepada wujud yang maha sempurna.
Kesadaran
akan kebergantungan hakiki ini akan melahirkan kepercayaan terhadap kemutlakan
dan kesempurnaan eksistensi Tuhan.
Muncul
pertanyaan, apakah keyakinan tentang wujud Tuhan yang bersifat fitrah itu,
tidak lagi membutuhkan argumentasi rasional?
Menurut
para teolog, keyakinan terhadap eksistensi Tuhan yang bersifat fitrah tersebut
tidak lagi membutuhkan argumentasi rasional dan filosofis. Dengan kata lain,
wujud mutlak Tuhan itu tidak perlu dalil dan burhan, tetapi menegaskan
eksistensi Tuhan bagi orang-orang yang skeptis dan ateis yang karena
faktor-faktor eksternal tidak mendapatkan keyakinan terhadap Tuhan dan agama,
adalah perkara yang sangat penting dan urgen.
Di
samping itu, akal manusia harus terbebas dari segala bentuk keraguan yang tidak
dapat dinafikan berkenaan dengan eksistensi Tuhan dan perkara-perkara yang
terkait dengan-Nya, dengan demikian, tidak tersisa sedikit pun keraguan dalam
diri manusia. Dan hal ini hanya dapat diselesaikan melalui pendekatan filsafat.
Apakah Eksistensi Tuhan Dapat
Dibuktikan Secara Rasional?
Setelah
dijelaskan tentang kemungkinan pengetahuan dan pengenalan terhadap eksistensi
Tuhan, di bawah ini akan disebutkan tiga pandangan mengenai kemungkinan
pembuktian dan penegasan eksistensi Tuhan secara rasional:
1.
Argumen pembuktian eksistensi Tuhan telah ditetapkan sebagai
dalil yang kokoh dan memiliki kebenaran rasional.
2.
Eksistensi Tuhan dapat dibuktikan dengan dalil akal dan
rasional. Pandangan ini mengklaim bahwa argumen yang dikonstruksi oleh para teolog
dan filosof, secara logika tidak langsung dapat membuktikan bahwa Tuhan itu
benar-benar eksis.
Dari sisi
lain, eksistensi Tuhan juga tidak dapat dinegasikan dan dinafikan. Oleh karena
itu, tetap ada kemungkinan pembuktian eksistensi-Nya secara rasional dan
kemungkinan ini bisa terwujud di masa akan datang dengan argumen yang sangat
rasional sedemikian sehingga ekisitensi Tuhan benar-benar terbukti dan tidak
dapat tertolak lagi.
Pandangan
ini menjadi pilihan sebagian filosof Barat dan sebagian pemikir-pemikir lain yang
mengklaim bahwa kita tidak boleh berbicara pada tataran Rasionalisme, tetapi
kita harus berbicara pada tataran yang dapat diterima akal, serta mereka
mengklaim bahwasanya kaidah-kaidah tradisional teologi dan filsafat atas
pembuktian eksistensi Tuhan telah kehilangan validitasnya.
Merupakan sesuatu yang jelas bahwa kritikan terhadap dalil-dalil pembuktian eksistensi Tuhan tidaklah sama dengan menafikan eksistensi Tuhan itu sendiri. Sebab mungkin saja suatu teori dan statemen adalah benar dan sesuai dengan realitas luar, tapi pengusung dan pengikut teori itu, tidak mampu mengungkapkan argumentasi yang kokoh dan tidak goyah dengan kritikan.
Dari sisi
ini argumentasi itu memang menerima kritikan, namun tidak berarti menghilangkan
klaim dan statemennya tentang kenyataan yang ada. Berasaskan ini, jika
diasumsikan bahwa kita menerima adanya kekurangan dalam bangunan
argumen-argumen tentang pembuktian Tuhan dan argumen-argumen ini tidaklah
meyakinkan serta sangat rapuh dalam kritikan kaum ateis, dari dimensi ini,
tidaklah berarti kita segera mengambil konklusi bahwa Tuhan itu benar-benar
tidak ada.
Sebab
semua itu hanyalah kritikan terhadap argumen itu sendiri yang memang memiliki
cacat dan kelemahan dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Hal ini bukanlah suatu
dalil dan argumen yang membuktikan ketiadaan eksistensi Tuhan. Dalam
membuktikan ketiadaan eksistensi Tuhan, mereka sendiri harus menyusun argumen
tersendiri yang kokoh dan kuat, dan hal ini belum terwujud hingga saat ini.
3.
Eksistensi Tuhan mustahil dapat dibuktikan dengan
dalil-dalil akal, rasional, dan filsafat, maka dari itu Tuhan tidak dapat
diketahui dan dikenali dengan jalan akal dan filsafat, tapi hanya dengan jalan
kalbu dan fitrah. Ada yg berkata, "Wujud Tuhan tidak dapat ditetapkan dengan
argumentasi akal.
Dan
keyakinan terhadap-Nya harus tanpa pertanyaan (sebab dan mengapa).” Di antara
filosof Barat, Kant termasuk dalam kelompok ini. Ia terpengaruh dengan aliran
filsafat Empirisisme Hume, karenanya ia mengingkari dalil dan burhan dalam
pembuktian eksistensi Tuhan dan memandang bahwa hanya hati nurani dan fitrah
yang dapat mengantar kepada penerimaan eksistensi Tuhan.
Kaum
ateis mengklaim bahwa Tuhan sama sekali tidak dapat ditetapkan keberadaan-Nya,
baik itu secara rasional, logikal, maupun dengan cara-cara yang lain, karena
Tuhan memang tidak ada. Mereka mengingkari dan menafikan secara mutlak
eksistensi Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Pengatur segala realitas.
Namun
kaum ateis ini hingga masa kini tidak pernah membuktikan klaimnya dengan
mengajukan dan mengkonstruksi dalil-dalil rasional demi menegaskan bahwa wujud
Tuhan atau konsep ketuhanan adalah sesuatu yang kontradiksi dan paradoks.
Filosof
tersohor ateis, Betrand Russel mengakui juga akan hal tersebut. Russel, dalam
menjawab pertanyaan Wait, apakah kamu yakin secara pasti bahwa tidak ada
sesuatu atau reaitas yang berposisi sebagai Tuhan, ia berkata: "Saya tidak
berpikir secara pasti bahwa sesuatu sebagai Tuhan (benar-benar) tidak ada. Saya
tidak dapat membuktikan jika itu sama sekali tidak ada."
Kaum Penentang Argumen Filsafat
1.
Kaum Skriptualis
Kelompok
yang muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah ini, ahli hadits dan secara
khusus Ahmad bin Hanbal, mencukupkan diri dengan aspek lahiriah ayat al-Quran
dan hadits dan melarang setiap bentuk pertanyaan dan penelitian yang bernuansa
rasionalitas terhadap doktrin-doktrin agama, mereka bahkan memandang bahwa
rasionalisasi ajaran-ajaran suci agama merupakan bid'ah.
Seorang
bertanya kepada Malik bin Anas tentang makna ayat "Yang Maha Rahman
bersemayam di atas arsy,” ia menjawab, “Bagaimana Dia bersemayam di atas arsy
tidak diketahui dan pertanyaan seperti ini adalah bid'ah.” Malik segera
memerintahkan si penanya itu dikeluarkan dari ruangan.
Ibnu Taimiyah (wafat 726 H) merupakan pendahulu Skripturalisme ini dan secara sengit menentang argumen-argumen rasional. Ia menganggap filosof sebagai makhluk paling bodoh tentang Tuhan dan mengklaim bahwa metode argumentasi al Quran dan para Nabi atas Tuhan adalah dengan mengingatkan tanda-tanda alam, bukan dengan argumentasi rasional dan logikal. Ia menegaskan bahwa pembuktian Tuhan lewat tanda-tanda alam sangat berbeda dengan argumenasi akal.
2. Kaum Empiris
Sebagian
pecinta ilmu-ilmu empiris berkeyakinan bahwa pengetahuan hakiki tentang
ketuhanan hanya diperoleh dengan mengkaji dan meneliti alam, pendekatan
empirisme, dan penginderaan lahiriah. Argumen akal dan filsafat murni merupakan
komprehensi dan konsep abstrak yang tidak dapat menyampaikan manusia pada
pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Mereka
yakin bahwa keimanan ilmuwan empirik - yang karena memiliki banyak informasi
tentang rahasia-rahasia dan keteraturan alam, lebih tinggi ketimbang keimanan
para fakih dan filosof.
Para
pemikir kontemporer, yang karena pengaruh filsafat empirisme Barat, hanya
mengenal tiga sumber pengetahuan, yaitu: pengalaman internal, sejarah, dan alam
natural. Oleh karena itu, mereka melancarkan penentangan terhadap filsafat
Yunani dan Islam. Dalil penentangan mereka tidak lain adalah karena filsafat
hanya menggunakan akal murni dan komprehensi dan konsep abstrak serta melupakan
perkara-perkara inderawi dan empirisitas.
Mereka
menyebutkan bahwa pada dasarnya sumber pengetahuan manusia hanyalah pengalaman
internal, tapi kemudian al-Quran menambah dua sumber pengetahuan yang lain
yaitu sejarah dan alam natural. Dengan melakukan observasi dan penelitian
terhadap dua sumber pengetahuan ini, maka jiwa akan menjadi bercahaya dan
meraih pengetahuan hakiki.
Perlu
dikatakan bahwa mereka juga mengisyaratkan tentang argumentasi akal, tapi yang
dimaksudkannya adalah penggunaan akal induksi atau akal sebagai instrumen
pengetahuan saja, hal ini sebenarnya menjelaskan posisi panca indera dan
empirisme dalam kerangka akal.
Berkaitan dengan ketidakharmonisan Islam (al-Quran) dan filsafat, Hamu berkata, "Substansi al-Quran secara mendasar bertentangan dengan filsafat Yunani. Esensi al-Quran berkaitan dengan perkara-perkara yang nyata, sedangkan filsafat Yunani hanya berhubungan dengan hal-hal teoritis dan jauh dari persoalan-persoalan yang riil."
Bâzargâni di Iran, Ikhwan as-shafâ, Sayid Qutub, Muhammad Qutub, Abul Hasan Nadwi, dan Farid Wajdi di Mesir adalah para pendukung pandangan ini.
Pada
awal kesebelas Hijriah, Mulla Shadra menggolongkan sebagian ulama hadits dan
mufassir sebagai pengikut-pengikut Hambali yang pandangan mereka hanya terbatas
pada benda-benda materi dan meninggalkan kedalaman makna dari doktrin agama.
3. Kaum Sufi
Dua aliran sebelumnya cenderung mengkaji dan meneliti fenomena-fenomena alam natural guna meyakini eksistensi Tuhan. Adapun aliran ini tidak melakukan pengkajian empirik dan analisa akal, mereka ini mengklaim bahwa makrifat hakiki tentang Tuhan mustahil diraih dari komprehensi dan konsep rasional dan pengkajian inderawi, tetapi harus dengan pembersihan hati, pensucian jiwa, dan penyaksian (mukasyafah) batin.
Sebagian
kaum sufi merendahkan akal dan argumentasi rasional, mereka memandang bahwa
rasionalitas dan dalil akal tidaklah urgen dalam masalah-masalah metafisika.
Mereka mengkhususkan kerja akal terbatas pada alam natural.
Ainul Qudhâh Hamadâni dalam hal ini berkata, "Saya tidak mengingkari bahwa akal diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah penting dan sulit, tetapi saya tidak setuju dengan klaimnya yang telah melampaui batas dari hakikat ciptaannya dan telah keluar dari tingkatan alaminya."
Sementara
sebagian kaum sufi lainnya, memandang bahwa jalan mukasyafah dan pensucian jiwa
merupakan jalan terbaik untuk
mengenal dan memakrifati Tuhan, namun memerlukan suatu mukaddimah yang kokoh
dan kuat. Mereka menempatkan argumentasi rasional dan filsafat sebagai mukaddimah
bagi jalan mukasyafah dan pensucian jiwa.
Ibnu
Fâridh mengingatkan para sufi agar tidak mencukupkan diri dengan ilmu-ilmu
tekstual (al-Quran dan hadits) dan lalai dari ilmu-ilmu akal. Ibnu Turkah,
memposisikan ilmu berpikir (filsafat) dan argumentasi rasional sebagai
pendahuluan dalam irfan (tasawuf) sebagaimana posisi ilmu logika bagi filsafat.
Dalam
mengkritik kaum sufi ini, perlu dikatakan, jalan mukasyafah dan tasawuf tidak
untuk semua manusia, jalan ini hanya ditapaki oleh orang-orang khusus. Oleh
karena itu, orang-orang yang tidak melewati jalan itu harus menggunakan
jalan-jalan lain untuk memakrifati Tuhan seperti pengkajian alam natural bagi
kebanyakan manusia atau jalan argumentasi rasional bagi yang mempunyai
kemampuan akal di atas standar.
Pada
hakikatnya, banyaknya jalan makrifat kepada Tuhan merupakan suatu karunia
tersendiri bagi hamba-hamba-Nya. Keilmuan dan keimanan kepada Tuhan yang mereka
capai sesuai dengan potensi dan kemampuan yang berbeda-beda.
Bersambung...
gambar : .stjohnsmaindee.org.uk
gambar : .stjohnsmaindee.org.uk
0 Komentar