Subscribe Us

ksk logo.jpg

GERAK MENUJU TUHAN : SEBUAH PENDEKATAN (2)



 Oleh : Ust. Dr. Muhammad Adlani

Urgensi Argumen Rasional dalam Pembuktian Eksistensi Tuhan

Pada penjelasan-penjelasan berikutnya akan diungkapkan bahwa keyakinan kepada Tuhan merupakan keyakinan fitrah bagi semua manusia. Setiap manusia dengan melakukan perenungan mendalam tentang hakikat dirinya, akan menyadari bahwa hakikat wujudnya membutuhkan dan bergantung mutlak kepada wujud yang maha sempurna.

Kesadaran akan kebergantungan hakiki ini akan melahirkan kepercayaan terhadap kemutlakan dan kesempurnaan eksistensi Tuhan.
Muncul pertanyaan, apakah keyakinan tentang wujud Tuhan yang bersifat fitrah itu, tidak lagi membutuhkan argumentasi rasional?

Menurut para teolog, keyakinan terhadap eksistensi Tuhan yang bersifat fitrah tersebut tidak lagi membutuhkan argumentasi rasional dan filosofis. Dengan kata lain, wujud mutlak Tuhan itu tidak perlu dalil dan burhan, tetapi menegaskan eksistensi Tuhan bagi orang-orang yang skeptis dan ateis yang karena faktor-faktor eksternal tidak mendapatkan keyakinan terhadap Tuhan dan agama, adalah perkara yang sangat penting dan urgen.

Di samping itu, akal manusia harus terbebas dari segala bentuk keraguan yang tidak dapat dinafikan berkenaan dengan eksistensi Tuhan dan perkara-perkara yang terkait dengan-Nya, dengan demikian, tidak tersisa sedikit pun keraguan dalam diri manusia. Dan hal ini hanya dapat diselesaikan melalui pendekatan filsafat.

Apakah Eksistensi Tuhan Dapat Dibuktikan Secara Rasional?

Setelah dijelaskan tentang kemungkinan pengetahuan dan pengenalan terhadap eksistensi Tuhan, di bawah ini akan disebutkan tiga pandangan mengenai kemungkinan pembuktian dan penegasan eksistensi Tuhan secara rasional:

1.       Argumen pembuktian eksistensi Tuhan telah ditetapkan sebagai dalil yang kokoh dan memiliki kebenaran rasional.

2.       Eksistensi Tuhan dapat dibuktikan dengan dalil akal dan rasional. Pandangan ini mengklaim bahwa argumen yang dikonstruksi oleh para teolog dan filosof, secara logika tidak langsung dapat membuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar eksis.

Dari sisi lain, eksistensi Tuhan juga tidak dapat dinegasikan dan dinafikan. Oleh karena itu, tetap ada kemungkinan pembuktian eksistensi-Nya secara rasional dan kemungkinan ini bisa terwujud di masa akan datang dengan argumen yang sangat rasional sedemikian sehingga ekisitensi Tuhan benar-benar terbukti dan tidak dapat tertolak lagi.

Pandangan ini menjadi pilihan sebagian filosof Barat dan sebagian pemikir-pemikir lain yang mengklaim bahwa kita tidak boleh berbicara pada tataran Rasionalisme, tetapi kita harus berbicara pada tataran yang dapat diterima akal, serta mereka mengklaim bahwasanya kaidah-kaidah tradisional teologi dan filsafat atas pembuktian eksistensi Tuhan telah kehilangan validitasnya.

Merupakan sesuatu yang jelas bahwa kritikan terhadap dalil-dalil pembuktian eksistensi Tuhan tidaklah sama dengan menafikan eksistensi Tuhan itu sendiri. Sebab mungkin saja suatu teori dan statemen adalah benar dan sesuai dengan realitas luar, tapi pengusung dan pengikut teori itu, tidak mampu mengungkapkan argumentasi yang kokoh dan tidak goyah dengan kritikan.

Dari sisi ini argumentasi itu memang menerima kritikan, namun tidak berarti menghilangkan klaim dan statemennya tentang kenyataan yang ada. Berasaskan ini, jika diasumsikan bahwa kita menerima adanya kekurangan dalam bangunan argumen-argumen tentang pembuktian Tuhan dan argumen-argumen ini tidaklah meyakinkan serta sangat rapuh dalam kritikan kaum ateis, dari dimensi ini, tidaklah berarti kita segera mengambil konklusi bahwa Tuhan itu benar-benar tidak ada.

Sebab semua itu hanyalah kritikan terhadap argumen itu sendiri yang memang memiliki cacat dan kelemahan dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Hal ini bukanlah suatu dalil dan argumen yang membuktikan ketiadaan eksistensi Tuhan. Dalam membuktikan ketiadaan eksistensi Tuhan, mereka sendiri harus menyusun argumen tersendiri yang kokoh dan kuat, dan hal ini belum terwujud hingga saat ini.

3.        Eksistensi Tuhan mustahil dapat dibuktikan dengan dalil-dalil akal, rasional, dan filsafat, maka dari itu Tuhan tidak dapat diketahui dan dikenali dengan jalan akal dan filsafat, tapi hanya dengan jalan kalbu dan fitrah. Ada yg berkata, "Wujud Tuhan tidak dapat ditetapkan dengan argumentasi akal.

Dan keyakinan terhadap-Nya harus tanpa pertanyaan (sebab dan mengapa).” Di antara filosof Barat, Kant termasuk dalam kelompok ini. Ia terpengaruh dengan aliran filsafat Empirisisme Hume, karenanya ia mengingkari dalil dan burhan dalam pembuktian eksistensi Tuhan dan memandang bahwa hanya hati nurani dan fitrah yang dapat mengantar kepada penerimaan eksistensi Tuhan.

Kaum ateis mengklaim bahwa Tuhan sama sekali tidak dapat ditetapkan keberadaan-Nya, baik itu secara rasional, logikal, maupun dengan cara-cara yang lain, karena Tuhan memang tidak ada. Mereka mengingkari dan menafikan secara mutlak eksistensi Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Pengatur segala realitas.

Namun kaum ateis ini hingga masa kini tidak pernah membuktikan klaimnya dengan mengajukan dan mengkonstruksi dalil-dalil rasional demi menegaskan bahwa wujud Tuhan atau konsep ketuhanan adalah sesuatu yang kontradiksi dan paradoks.

Filosof tersohor ateis, Betrand Russel mengakui juga akan hal tersebut. Russel, dalam menjawab pertanyaan Wait, apakah kamu yakin secara pasti bahwa tidak ada sesuatu atau reaitas yang berposisi sebagai Tuhan, ia berkata: "Saya tidak berpikir secara pasti bahwa sesuatu sebagai Tuhan (benar-benar) tidak ada. Saya tidak dapat membuktikan jika itu sama sekali tidak ada."

Kaum Penentang Argumen Filsafat

1. Kaum Skriptualis

Kelompok yang muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah ini, ahli hadits dan secara khusus Ahmad bin Hanbal, mencukupkan diri dengan aspek lahiriah ayat al-Quran dan hadits dan melarang setiap bentuk pertanyaan dan penelitian yang bernuansa rasionalitas terhadap doktrin-doktrin agama, mereka bahkan memandang bahwa rasionalisasi ajaran-ajaran suci agama merupakan bid'ah.

Seorang bertanya kepada Malik bin Anas tentang makna ayat "Yang Maha Rahman bersemayam di atas arsy,” ia menjawab, “Bagaimana Dia bersemayam di atas arsy tidak diketahui dan pertanyaan seperti ini adalah bid'ah.” Malik segera memerintahkan si penanya itu dikeluarkan dari ruangan.

Ibnu Taimiyah (wafat 726 H) merupakan pendahulu Skripturalisme ini dan secara sengit menentang argumen-argumen rasional. Ia menganggap filosof sebagai makhluk paling bodoh tentang Tuhan dan mengklaim bahwa metode argumentasi al Quran dan para Nabi atas Tuhan adalah dengan mengingatkan tanda-tanda alam, bukan dengan argumentasi rasional dan logikal. Ia menegaskan bahwa pembuktian Tuhan lewat tanda-tanda alam sangat berbeda dengan argumenasi akal.

2. Kaum Empiris

Sebagian pecinta ilmu-ilmu empiris berkeyakinan bahwa pengetahuan hakiki tentang ketuhanan hanya diperoleh dengan mengkaji dan meneliti alam, pendekatan empirisme, dan penginderaan lahiriah. Argumen akal dan filsafat murni merupakan komprehensi dan konsep abstrak yang tidak dapat menyampaikan manusia pada pengetahuan hakiki tentang Tuhan.

Mereka yakin bahwa keimanan ilmuwan empirik - yang karena memiliki banyak informasi tentang rahasia-rahasia dan keteraturan alam, lebih tinggi ketimbang keimanan para fakih dan filosof.

Para pemikir kontemporer, yang karena pengaruh filsafat empirisme Barat, hanya mengenal tiga sumber pengetahuan, yaitu: pengalaman internal, sejarah, dan alam natural. Oleh karena itu, mereka melancarkan penentangan terhadap filsafat Yunani dan Islam. Dalil penentangan mereka tidak lain adalah karena filsafat hanya menggunakan akal murni dan komprehensi dan konsep abstrak serta melupakan perkara-perkara inderawi dan empirisitas.

Mereka menyebutkan bahwa pada dasarnya sumber pengetahuan manusia hanyalah pengalaman internal, tapi kemudian al-Quran menambah dua sumber pengetahuan yang lain yaitu sejarah dan alam natural. Dengan melakukan observasi dan penelitian terhadap dua sumber pengetahuan ini, maka jiwa akan menjadi bercahaya dan meraih pengetahuan hakiki.

Perlu dikatakan bahwa mereka juga mengisyaratkan tentang argumentasi akal, tapi yang dimaksudkannya adalah penggunaan akal induksi atau akal sebagai instrumen pengetahuan saja, hal ini sebenarnya menjelaskan posisi panca indera dan empirisme dalam kerangka akal.

Berkaitan dengan ketidakharmonisan Islam (al-Quran) dan filsafat, Hamu berkata, "Substansi al-Quran secara mendasar bertentangan dengan filsafat Yunani. Esensi al-Quran berkaitan dengan perkara-perkara yang nyata, sedangkan filsafat Yunani hanya berhubungan dengan hal-hal teoritis dan jauh dari persoalan-persoalan yang riil."
Bâzargâni di Iran, Ikhwan as-shafâ, Sayid Qutub, Muhammad Qutub, Abul Hasan Nadwi, dan Farid Wajdi di Mesir adalah para pendukung pandangan ini.

Pada awal kesebelas Hijriah, Mulla Shadra menggolongkan sebagian ulama hadits dan mufassir sebagai pengikut-pengikut Hambali yang pandangan mereka hanya terbatas pada benda-benda materi dan meninggalkan kedalaman makna dari doktrin agama.

3. Kaum Sufi

Dua aliran sebelumnya cenderung mengkaji dan meneliti fenomena-fenomena alam natural guna meyakini eksistensi Tuhan. Adapun aliran ini tidak melakukan pengkajian empirik dan analisa akal, mereka ini mengklaim bahwa makrifat hakiki tentang Tuhan mustahil diraih dari komprehensi dan konsep rasional dan pengkajian inderawi, tetapi harus dengan pembersihan hati, pensucian jiwa, dan penyaksian (mukasyafah) batin.

Sebagian kaum sufi merendahkan akal dan argumentasi rasional, mereka memandang bahwa rasionalitas dan dalil akal tidaklah urgen dalam masalah-masalah metafisika. Mereka mengkhususkan kerja akal terbatas pada alam natural.

Ainul Qudhâh Hamadâni dalam hal ini berkata, "Saya tidak mengingkari bahwa akal diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah penting dan sulit, tetapi saya tidak setuju dengan klaimnya yang telah melampaui batas dari hakikat ciptaannya dan telah keluar dari tingkatan alaminya."

Sementara sebagian kaum sufi lainnya, memandang bahwa jalan mukasyafah dan pensucian jiwa merupakan jalan terbaik untuk mengenal dan memakrifati Tuhan, namun memerlukan suatu mukaddimah yang kokoh dan kuat. Mereka menempatkan argumentasi rasional dan filsafat sebagai mukaddimah bagi jalan mukasyafah dan pensucian jiwa.

Ibnu Fâridh mengingatkan para sufi agar tidak mencukupkan diri dengan ilmu-ilmu tekstual (al-Quran dan hadits) dan lalai dari ilmu-ilmu akal. Ibnu Turkah, memposisikan ilmu berpikir (filsafat) dan argumentasi rasional sebagai pendahuluan dalam irfan (tasawuf) sebagaimana posisi ilmu logika bagi filsafat.

Dalam mengkritik kaum sufi ini, perlu dikatakan, jalan mukasyafah dan tasawuf tidak untuk semua manusia, jalan ini hanya ditapaki oleh orang-orang khusus. Oleh karena itu, orang-orang yang tidak melewati jalan itu harus menggunakan jalan-jalan lain untuk memakrifati Tuhan seperti pengkajian alam natural bagi kebanyakan manusia atau jalan argumentasi rasional bagi yang mempunyai kemampuan akal di atas standar.

Pada hakikatnya, banyaknya jalan makrifat kepada Tuhan merupakan suatu karunia tersendiri bagi hamba-hamba-Nya. Keilmuan dan keimanan kepada Tuhan yang mereka capai sesuai dengan potensi dan kemampuan yang berbeda-beda.
Bersambung...

gambar : .stjohnsmaindee.org.uk
Top of Form

Posting Komentar

0 Komentar